tirto.id - Beberapa terakhir muncul polemik Cak Budi. Pria dengan nama asli Budi Nur Iksan diberitakan lantaran pengakuannya yang membeli iPhone 7 dan Toyota Fortuner dengan memakai uang donasi yang ia terima.
Melalui akun pribadinya di instagram @cakbudi_ dia berkilah pembelian barang-barang mewah itu untuk menunjang operasional kerja-kerja sosialnya menggalang dana bagi kaum duafa. Penggalangan dana yang disoal adalah kampanyenya di situs KitaBisa.com.
"Terkait HP, betul bahwa Cak Budi menggunakan uang donasi untuk tukar tambah HP lama dengan iPhone 7 yang Cak Budi gunakan untuk mengambil foto & video dari para penerima hak dan lokasi yang dikunjungi (bukti terlampir)," tulis Budi dalam klarifikasinya yang diposting, pada Senin (1/5/2017).
Tak tahan dicaci. Cak Budi kemudian menjual barang-barang yang jadi kontroversial tersebut. Hasil penjualan barang dan uang yang mengendap di kasnya kemudian dia serahkan lembaga sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Total dana yang diserahkan ke ACT mencapai Rp1,77 miliar. Rinciannya donasi netizen yang ia terima melalui rekening pribadinya sebesar Rp560 juta, penyaluran dana lewat situs Kitabisa.com Rp814 juta, dan hasil penjualan mobil Rp 400 juta. Atas ketidaknyamanannya, kemudian Cak Budi meminta maaf karena dianggap telah mengecewakan berbagai pihak.
Kasus ini membuat Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa angkat bicara. Cak Budi pun dipanggil ke Kemensos Kamis (4/5/2017). Kepada wartawan dia menjelaskan alasannya memakai uang donasi itu untuk membeli mobil Fortuner. Dia berkilah bahwa mobil sport SUV itu diperlukannya untuk menjangkau daerah pedalaman yang sulit kondisi medannya menantang.
Jika merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 1980 pasal 2 tentang pelaksanaan pengumpulan barang dan uang, pengumpulan sumbangan yang dilakukan Cak Budi mestinya meminta izin kepada pemerintah. Dia abai soal hal ini.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menegur Cak Budi untuk melembagakan kegiatan sosialnya sehingga sesuai dengan aturan dan memenuhi standar transparansi. "Mudah-mudahan Cak Budi segera buat lembaga karena dengan niat yang baik kita apresiasi semoga bisa terkontrol dengan baik," kata Mensos usai bertemu dengan Cak Budi.
Dalam UU No 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Dana dan Barang menyebutkan pemerintah pusat, pemkab, pemkot boleh mengumpulkan uang, barang atau surat berharga untuk penanganan fakir miskin. Sedangkan usaha pengumpulan uang untuk usaha kesejahteraan itu melibatkan donasi dilingkup Kabupaten/kota maka izinnya cukup dari pemkab atau pemkot.
Jika donasi meliputi lintas Kabupaten/kota maka izinnya ke pemprov sementara jika pengumpulan donasi lintas provinsi maka izinnya ke Kementerian Sosial. Lebih lanjut Khofifah mengatakan, pengumpulan dana untuk penyelenggaraan sosial yang dilakukan pemerintah pusat maka harus dilaporkan tiga bulan sekali ke Kementerian Keuangan dan BPK.
Keterlibatan organisasi masyarakat atau organisasi sosial terbuka ruang dengan mengajukan izin kepada pemkab atau pemko jika donasinya meliputi Kabupaten/kota. Pada kesempatan itu, Khofifah memberikan apresiasi yang luar biasa kepada seluruh elemen baik secara kelembagaan maupun personal yang sudah mendedikasikan diri dan kepedulian untuk memberikan layanan kesejahteraan sosial.
"Kementerian Sosial juga mengajak kepada semua pihak agar memberikan kepercayaan kepada yang memberikan amanah yang sudah mendonasikan. Tolong dijaga amanahnya, kepercayaannya dengan mekanisme yang memungkinkan tingkat akuntabilitas yang terjaga," kata Khofifah.
Mensos mengatakan, hikmah dari kejadian tersebut ia ingin mengajak kepada donatur untuk mendonasikan ke lembaga yang terdaftar. "Dari hikmah ini tolong seluruh regulasi yg sudah disepakati baik UU PP tolong diikuti," katanya.
Sebetulnya jika berkaca pada kasus-kasus lain penyalahgunaan yang dilakukan oleh Cak Budi rentan dijerat dalam kasus pencucian uang. Masalah inilah seperti yang menimpa Ketum GNPF-MUI, Bachtiar Natsir. Dia ditengarai menyalahgunakan sumbangan massa aksi 212 dan 414 untuk peruntukan lain, misal seperti donasi ke Aceh, Sumbawa dan Suriah. Meski sama-sama konteksnya donasi, polisi mempermasalahkan hal ini.
Bachtiar terjerat dalam UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam UU Ini, pelaku pencucian uang diancam dengan hukuman berat penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menuturkan jika pengumpul donasi tidak meneruskan sumbangan yang dikumpulkan maka si pengumpul sudah melanggar hukum, etika dan moral.
Pasal yang dijerat adalah pembohongan dan penipuan terhadap publik. Para penyumbang dapat melaporkan si pengumpul dan menjeratnya dengan KUHP pasal 372 dan 378 soal tindak pidana penipuan dan penggelapan.
Terkait dengan Cak Budi, Abdul menilai dia memang salah. "Pada dasarnya pengumpulan uang dari masyarakat untuk kegiatan sosial harus mendapatkan izin dari Kementerian atau Dinas Sosial, karena itu dilakukan tanpa izin maka ada sanksinya yaitu dihentikan," katanya.
Terkait pengunaan kepentingan sendiri, Abdul menyarankan agar Dinas Sosial merampasnya dan memberikannya kepada lembaga yang resmi untukk disalurkan sebagaimana mestinya. "Secara etis pengumpul yang mengambil keuntungan pribadi dengn alasan operasional adalah perbuatan yang tidak etis, jika ia tergabung dlm satu komunitas profesi maka ia akan dikeluarkan keanggotaannya, dan ini sudah dilakukan oleh komunitas kitabisa.com," kata dia.
Lalu bagaimana dengan jerat pasal pencucian uang? Apakah Cak Budi bisa dijerat seperti apa yang ditimpakan kepada Bachtiar Natsir? Abdul mengaku dia tidak sependapat dengan argumen itu." Pencucian uang itu ada predicate crime-nya kejahatan utamanya untuk memperoleh uang. Karena itu saya tidak sependapat Bahtiar itu terjerat pasal pencucian uang, polisi terlalu gegabah," ucapnya.
Terkait dengan pengumpulan donasi yang dilakukan Cak Budi, Abdul menjelaskan bahwa mjadi pengumpul itu bukan melakukan kejahatan, akan jadi masalah kalau memang ada penyelewengan.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan