tirto.id - “Tahun ini buruh migran lebih beruntung, karena hari lebaran akan jatuh pada hari minggu (25 Juni). Dengan begitu, akan lebih banyak buruh migran yang bisa mengikuti salat Id bersama di Victoria Park.”
Abu Mufakhir bicara tentang pengalaman puasa di Hongkong, bersama buruh-buruh migran Indonesia (BMI). Tiga bulan terakhir, aktivis perburuhan asal Jakarta ini bekerja sebagai peneliti di AMRC (Asia Monitor Resource Centre), sebuah organisasi yg fokus pada gerakan buruh di Asia.
Dari paparan yang dikirim Abu via email ke redaksi Tirto, suasana jelang berbuka di Victoria Park terasa guyub. Pada minggu sore, para pekerja asal Indonesia membentuk lingkaran-lingkaran kecil untuk tadarus atau menyimak pengajian yang disampaikan penceramah.
“Beberapa organisasi yang melakukan tausyiah menjelang berbuka di lapangan terbuka. Sambil ada yang berkeliling menjajakan minuman dingin, takjil, dan nasi bungkus. Suasananya ramai dan riang sekali. Orang-orang saling berbagi makanan bersama.”
Beberapa tahun belakangan, Victoria Park yang terhampar sejak 1950 di distrik Causeway Bay, menjadi titik temu pekerja migran Indonesia, khususnya tiap akhir pekan. Di sekitar lapangan, terdapat kios-kios penjual barang-barang asal Indonesia. Jarak konsulat Indonesia tak jauh dari situ. Aktivitas bermusik, olahraga, piknik, hingga dakwah terlihat dalam lingkaran-lingkaran kecil.
Toko pakaian Indonesia lebih ramai pada bulan puasa. “Banyak yang beli baju baru. Paling laris baju muslimah,” tutur Abu yang mengatakan pasokan baju berasal dari Tanah Abang.
Wajah Indonesia di Hongkong
Dari sebuah survei pada 2016 yang dikutip majalah Forbes, 10 persen (336 ribu orang) penduduk Hongkong (total 7,2 juta, 2016) adalah pekerja rumah tangga yang didatangkan dari luar negeri. Rasio initertinggi di dunia. Survei yang dirilis Justice Center Hongkong, lembaga nirlaba hak asasi manusia, mengambil sampel 1000 orang, menunjukkan asal pekerja rumah tangga itu 51 persen dari Filipina, 46 persen dari Indonesia.
Menurut statistik pemerintah yang dikutip sumber yang sama, jam pekerja rumah tangga melampaui jam kerja normal di Hongkong (40-50 jam). Jumlah kerja pekerja rumah tangga dalam seminggu rata-rata adalah 71,4 jam (11,9 jam per hari), akibat harus bekerja di rumah majikan. Batas antara kerja dan istirahat pun kabur. Yang mengenaskan, hanya 5,4 persen dari keseluruhan pekerja tamu yang tidak menunjukkan tanda-tanda dieksploitasi.
Upah minimum untuk pekerja rumah tangga adalah HK$4.210 (Rp7,1 juta). Artinya, mereka digaji HK$14,39 (Rp24.533) per jam, kurang dari separuh upah minimum Hongkong yang sebesar HK $32,50 (Rp55.409,65) pada 2016.
Menurut data BPS pada April 2017, Hongkong menempati peringkat keempat sebagai negeri sasaran penempatan TKI. Pada bulan yang sama, BNP2TKI mencatat 6.345 TKI asal Indonesia, kebanyakan perempuan, ditempatkan di Hongkong. Sedangkan menurut data Kantor Konsul Tenaga Kerja KJRI Hong Kong yang dikutip Antara, jumlah TKI di Hong Kong hingga Juli 2015 tercatat 150.544 (jumlah ini baru pekerja perempuan, belum termasuk laki-laki dan pekerja yang tidak terdokumentasikan). Kondisi kerja yang tidak manusiawi juga dialami oleh buruh migran Indonesia yang merupakan mayoritas pekerja rumah tangga di Hongkong.
Kondisi tersebut salah satunya dimungkinkan oleh sikap pemerintah Indonesia yang menyerahkan nasib pekerja tamu ke agen-agen penyalur yang tak jarang berperilaku tak manusiawi. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Hongkong. Korban jiwa juga telah jatuh di Saudi dan Malaysia selama bertahun-tahun.
Baru pada Februari 2017 pemerintah meluncurkan Kode Etik Agen Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan Hongkong sebagai proyek percontohan. Kode Etik ini disusun guna mendisiplinkan agen-agen tersebut.
Satu kasus yang mendunia terjadi pada 2014, ketika berita tentang penyiksaan Erwiana oleh majikannya di Hongkong diliput media-media internasional. Erwiana (waktu itu berusia 21 tahun) dikirim pulang ke Indonesia oleh majikannya yang telah mempekerjakannya selama 21 jam/hari.
Selama delapan bulan, ia disiksa oleh perkakas rumah tangga dan tak mendapat perawatan medis. Ekspos yang besar terhadap kasus ini dan kecaman organisasi-organisasi HAM internasional atas regulasi pekerja rumah tangga di Hongkong dan kebijakan pemerintah Indonesia membuat majalah Time memasukkan Erwiana ke dalam daftar “100 Most Powerful Persons” pada 2014.
Banyak lagi yang nasibnya lebih nahas dari Erwiana. Elis salah satunya. Buruh buruh migran berusia 33 tahun asal Bandung tewas tertimpa tertimpa bongkahan beton penyangga AC seberat 60 kg. Ketika itu, janda beranak dua ini tengah tinggal di penampungan milik Sun Light Employment di Hongkong, agen penyalur TKI yang mengurus kontrak Elis.
Seperti diceritakan situs Buruh Migran, Elis diberangkatkan oleh Sun Light Employment Agency. Ketika pindah kerja, ia diminta menunggu sementara di penampungan 2 bulan sampai bayi majikan barunya lahir. Aturan pemerintah yang mewajibkan buruh memproses kontrak melalui agen telah membelenggu buruh. Larangan memproses kontrak secara mandiri berakibat pada perampasan paspor, pemotongan upah, bahkan PHK oleh agen.
“Setiap kali proses kontrak [mereka] dipaksa menempati rumah-rumah kumuh yang sering tidak layak huni sembari menunggu proses,” tulis laporan tersebut.
Meja Makan Besar
Aktivitas Abu di Hongkong tak terinterupsi puasa. Ia tetap bekerja senin hingga jumat. “Di sini saya jarang sekali sahur, itupun kalau sahur hanya makan roti dan minum susu kemasan,” Abu menceritakan sulitnya menemukan rumah makan yang buka pada saat sahur.
Abu tinggal di distrik Sham Sui Po, yang berjarak 10 km dari Victoria Park. “Kontrakan saya juga kecil, hanya 1 x 2 meter dan tidak diperbolehkan masak. Harga kontrakan di Hongkong adalah salah satu yang paling mahal di dunia.”
Bagi para pekerja rumah tangga, berpuasa di Hongkong mengandung suka-duka tersendiri. Kebanyakan majikan tak tahu mereka berpuasa. “Ketika makan siang dan ditawari makan oleh majikan, mereka akan bilang ‘nanti, belum lapar’, dan seterusnya.”
Bukan karena sentimen agama, lanjut Abu. “Mayoritas penduduk Hongkong tidak mengenal tradisi berpuasa sambil bekerja.”
Soal ibadah berjamaah, para pekerja rumah tangga umumnya beribadah sendiri-sendiri di rumah majikan. “Saya dengar NU Hongkong mengadakan salat tarawih berjamaah di Mushola mereka di Causeway Bay setiap hari, sayangnya saya tidak pernah bisa datang.”
Di Hongkong terdapat lima masjid besar. Namun, tak semua warga muslim asal Indonesia punya waktu untuk menunaikan ibadah berjamaah di masjid. “Tentu buruh migran yang bekerja sebagai PRT (Pekerja Rumah Tangga) nyaris tidak bisa ikut kegiatan tersebut.” Lagi-lagi, jadwal kerja yang panjang adalah faktor utama.
Abu membandingkan Hongkong dengan Eropa. Kebanyakan orang Indonesia ke Eropa untuk belajar, sehingga waktu luangnya lebih banyak ketimbang buruh migran di Hongkong. “Di sini sulit, dan hampir seluruh teman Indonesia saya di sini adalah buruh migran atau pengurus serikat buruh migran. Mereka hampir seluruhnya tinggal di rumah majikan.”
Bagaimana dengan buka puasa dan sahur? Abu mengakui mencari makanan yang bersertifikat halal memang sulit dan mahal. Di Hongkong, makanan bersertifikat halal umumnya ditemui di restoran India dan Bangladesh. Namun para pekerja Hongkong sangat terbantu oleh warung-warung Indonesia yang buka maksimal sampai pukul 7 malam. Sebagian besar pembelinya adalah pekerja Indonesia yang harus kembali ke rumah majikan menjelang malam.
“Di sinilah suasana puasa baru terasa,” komentar Abu tentang suasana di warteg, satu titik temu lain bagi orang-orang Indonesia di Hongkong.
Buat Abu, nampaknya tak ada yang menggantikan Victoria Park dalam hal guyub dan akrab,. “Ada soto ayam, nasi campur, ikan asin, ayam penyet, tempe, bahkan kolak.” Peluh selama seminggu di rumah majikan pun akhirnya kering di taman yang tiba-tiba jadi meja makan raksasa.
Pembaruan: data TKW di Hong Kong dalam tulisan ini telah diperbaharui pada Jumat, 9 Juni 2017, 16:16, berdasarkan laporan dari Kantor Konsul Tenaga Kerja KJRI Hong Kong.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani