tirto.id - Setelah meraih gelar Clausura pada 1992 silam, Boca Juniors mulai menapaki tangga yang menurun curam. Salah satu klub paling besar di Argentina itu bisa jadi tinggal puing-puing jika tidak diselamatkan oleh Mauricio Macri pada 1995 lalu. Saat itu Boca dililit utang, lemari tropi mereka lebih banyak mengumpulkan debu daripada piala, dan La Bambonera [markas Boca] bukan lagi tempat angker bagi lawan-lawan mereka.
Segera setelah menjabat sebagai presiden anyar Boca, Macri langsung melakukan revolusi dari dua sisi yang berbeda. Di luar lapangan, Macri ingin klub asal Buenos Aires tersebut mempunyai rencana bisnis yang matang. Ia mulai melakukan inovasi seperti memperkenalkan pusat layanan telepon klub, memberlakukan sistem penjualan tiket terdesentralisasi, serta mulai menyediakan tempat kosong di stadion agar bisa disewa perusahaan-perusahaan yang ingin memasang iklan.
Sementara itu, di dalam lapangan, Macri mempunyai prinsip bahwa “satu-satunya cara klub Argentina bisa bertahan hidup adalah menerima posisi mereka sebagai tempat mengembangkan pemain-pemain yang nantinya bisa menjadi bintang klub-klub besar Eropa berkantong tebal.” Soal ini, dalam bukunya yang berjudul Angels With Dirty Faces [2017], Jonathan Wilson menegaskan prinsip Macri:
“Di bawah Macri, Boca memprioritaskan akedemi mereka. Mereka mulai mengumpulkan pemain-pemain muda potensial dari seluruh Argentina, juga merekrut pemain-pemain terbaik dari klub Argentina lainnya yang nantinya bisa memiliki nilai jual tinggi di Eropa.”
Pendekatan Macri tersebut lantas membuat Boca bangkit dari keterpurukan. Pelan-pelan, mereka mulai bisa lepas dari jeratan utang. Dan, setelah merekrut Carlos Bianchi pada 1998, usaha Macri ternyata mampu menghasilkan sesuatu yang sebelumnya dianggap mimpi siang bolong oleh para penggemar Boca: mampu meraih gelar Apertura dan Clausura 1998-1999, menggondol gelar Copa Libertadores 2000, dan puncaknya, menjadi juara Piala Interkontinental 2000 [saat ini Piala Dunia antar Klub] setelah menggebuk Real Madrid 2-1 di Tokyo, Jepang.
Carlito’s Way
Carlos Bianchi ialah seorang pelatih yang memiliki nama besar di Argentina. Ia pernah membawa Veles Sarsfield meraih segalanya, dari gelar Clausura, Apertura, hingga Piala Interkontinental. Namun, jika ia tidak datang pada waktu yang tepat, ia barangkali tidak akan mampu mengulangi prestasinya itu bersama Boca Juniors.
Ketika Bianchi datang, proyek Boca arahan Marci sudah mencapai kulminasi. Saat itu, pemain-pemain jebolan akedemi Boca sudah siap untuk unjuk gigi, sedangkan sebagian besar pemain senior juga sedang berada di puncak penampilannya. Dari sana Bianchi lantas memadukan mereka untuk menjadi kekuatan utama Boca: sisi muda diwaliki oleh Juan Roman Riquelme, Martin Palermo, dan Walter Samuel, sementara sisi pemain senior diwakili oleh Guillermo Schelotto, Oscar Cordoba, dan Rodolfo Arruabarrena.
Kombinasi itu lantas dilengkapi dengan pendekatan taktik yang tak biasa dari Bainchi. Ia memainkan formasi 4-4-2 berlian yang bersumbu pada dua hal berlawanan: la nuestra dan pragmatisme.
Sementara pragmatisme berorientasi terhadap hasil, la nuestra , menurut Jonathan Wilson, ialah “pandangan romantis Argentina tentang permainan indah.” Ia tidak mengedepankan kemenangan, lebih menonjolkan permainan individu daripada kolektivitas, dan biasanya tidak peduli dengan pertahanan. Jika dalam pragmatisme sistem permainan menjadi kunci, para pemain dengan talenta luar biasa adalah senjata utama la nuestra.
Pendekatan taktik tak wajar Bianchi tersebut pertama kali disadari oleh Ezequiel Fernandez Moores, seorang penulis sepakbola asal Argentina. Menurutnya, sisi pragmatis Bianchi dapat dilihat ketika Boca tidak menguasai bola. Dalam fase tersebut, Boca tampak bertahan dengan formasi 7-1-2: selain empat pemain belakang mereka, tiga gelandang mereka juga berperan sebagai pemain bertahan tambahan.
Yang menarik, dengan cara bertahan semacam itu, bukan berarti Boca hanya menunggu kesalahan lawan untuk melakukan serangan balasan. Saat bola berada di kaki mereka, Boca ternyata tak jarang memperlihatkan permainan indah yang mampu memanjakan mata para penonton. Ada la pausa [sebuah seni untuk menghentikan waktu sementara sebelum menciptakan mahakarya], ada umpan-umpan ajaib, ada dribel-dribel di luar akal sehat, dan semua itu ternyata hanya berpusat pada satu orang pemain saja: Juan Roman Riqulme.
Moores kemudian menyebut gaya nyentrik Boca sebagai “la suya” atau “Carlito’s Way”, merujuk pada salah satu film Al Pacino. Dalam film itu, Al Pacino berperan sebagai pensiunan mafia Puerto Rico yang ingin menatap masa depan dengan lebih baik. Namun, ia ternyata kembali terseret ke dalam dunia hitam karena urusan yang tak terduga: ia seperti Riquelme yang terjebak dalam gaya pragmatis Boca.
“Riquelme dengan kemampuan olah bolanya adalah la nuestra, tetapi Boca tidak. Mereka sangat berhati-hati, dan saat Anda berpikir tim Anda lebih Inferior dibanding tim lawan, Anda hanya akan bertahan dan menunggu kesalahan lawan,” tutur Moore.
Dengan pendekatan taktik tersebut, Boca lantas bisa melibas siapa saja. Di Apertura, mereka berhasil meraih gelar tanpa tersentuh kekalahan: 19 kali main, 13 kali menang, dan 6 kali bermain imbang. Sementara saat menjadi juara Clausura mereka hanya sekali menelan kekalahan, dalam partai puncak Copa Libertadores 2000 mereka mampu mengalahkan Palmeiras, wakil Brasil, yang sedang tampil bagus-bagusnya. Setelah itu, giliran Real Madrid, Sang Raja Eropa, dihantam dengan skor 2-1 dalam laga Piala Interkontinental.
Dan, sebagaimana penampilan ciamik pertahanan Boca dalam setiap raihan prestasi tersebut, peran Juan Roman Riquelme jelas tak bisa dikesampingkan.
Tak sedikit pengamat sepakbola pernah memberikan pujian setinggi langit kepada Riquelme. Namun, pujian dari Jorge Valdano-lah yang paling mengena.
“Jika kami harus melakukan perjalanan dari A ke B, semua orang akan masuk tol dan ingin sampai ke tempat tujuan secepat mungkin, kecuali Riquelme. Ia akan memilih jalan berkelok-kelok di pegunungan yang akan menghabiskan waktu enam jam lamanya. Tapi karena itulah kami bisa melihat pemandangan serba indah selama perjalanan," ujarnya.
Singkat kata, menurut Valdano, imajinasi Riquelme masih membuat sepakbola tampak "misterius". Dan ia jelas tidak asal kecap: ketika lawan-lawan Boca sadar bahwa Riquelme adalah roda penggerak permainan Boca, mengapa mereka tetap gagal menang meskipun sudah berusaha sekuat tenaga untuk mematikan pemain andalan Boca itu?
Dalam perjalanan meraih gelar Apertura dan Clausara 1998-1999, Copa Libertadores 2000, serta Piala Interkontinental 2000, Riquelme tidak hanya satu-dua kali menciptakan momen ajaib yang membikin Boca lolos dari lubang jarum. Bahkan, gelandang serang Boca tersebut mampu melakukannya pada saat-saat krusial. Setidaknya, penampilan Riquelme saat Boca berhasil mengalahkan River Plate pada pertandingan leg kedua babak perempat-final Copa Libertadores 2000 serta dalam laga Piala Interkontinental melawan Real Madrid bisa menjadi contoh.
Saat Boca menang 3-0 atas River Plate, Riquelme terlibat dalam seluruh gol yang diciptakan Boca. Pertama, setelah melewati dua orang pemain River Plate di sisi kanan pertahanan River Plate, ia berhasil mengirimkan umpan silang terukur yang berhasil diselesaikan oleh Marcelo Delgado. Kedua, ia berhasil mencetak gol melalui titik putih. Dan terkahir, gol ketiga Boca yang dicetak oleh Martin Palermo juga berasal dari pergerakannya di sisi kanan pertahanan River Plate.
Sementara itu, saat Boca mengalahkan Madrid 2-1, selain menciptakan satu assist, Riquelme juga berhasil mengacak-ngacak pertahanan Madrid sendirian, membuat Vicente Del Bosque, pelatih Madrid hanya bisa geleng-geleng kepala: Claude Makelele, gelandang bertahan Madrid, terpaksa diganti karena kelelahan menjaga Riquelme dan Geremi, full-back kanan Madrid, hanya bisa menghentikan Riquelme dengan melakukan pelanggaran.
Untuk semua itu, dari cara Mauricio Macri membangun ulang Boca, taktik nyentrik Carlos Bianchi, hingga peran Juan Roman Riquelme, kesuksesan Boca Juniors pada tahun 1998-2000 jelas patut dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sepakbola dunia.
Editor: Nuran Wibisono