Menuju konten utama

Blunder Pep Mengatur Strategi Jadi Biang Kekalahan City dari Spurs

Tottenham Hotspur berhasil mengalahkan Manchester City 1-0. Salah satu penyebab utamanya adalah keputusan janggal Pep Guardiola

Blunder Pep Mengatur Strategi Jadi Biang Kekalahan City dari Spurs
Pep Guardiola. FOTO/REUTERS

tirto.id - Pada pertandingan leg pertama babak perempat-final Liga Champions Eropa 2018-2019 yang digelar di Tottenham Hotspur Stadium, Rabu (10/4/2019) dini hari tadi, Tottenham Hotspur berhasil mengalahkan Manchester City 1-0. Gol kemenangan Spurs tercipta melalui tendangan kaki kiri Son Heung-min pada menit ke-78.

Tanda-tanda City akan kalah, sebenarnya sudah terlihat bahkan sebelum Bjorn Kuiper, wasit yang memimpin jalannya pertandingan itu, meniup peluit tanda dimulainya pertandingan. Dan, alasannya pun menarik: Pep Guardiola, pelatih City, salah mengambil keputusan.

Henry Winter, jurnalis The Times yang menonton langsung pertandingan antara Spurs dan City di Tottenham Hotspur Stadium, menilai banyak kesalahan pengambilan keputusan yang terjadi di sepanjang pertandingan.

Menurutnya, keputusan Bjorn Kuiper–yang dibantu VAR [Video Assitant Refeere]--saat memberikan penalti untuk City sangat kontroversial. Penalti City juga seharusnya diulang, serta Harry Kane tak akan mengalami cedera engkel jika ia tak berbuat nekat. Namun, dari banyaknya kesalahan pengambilan keputusan yang terjadi di dalam pertandingan itu, kesalahan Pep Guardiola jelas paling kentara.

Winter menulis, "[Kemenangan] Spurs dibantu oleh keputusan membingungkan Guardiola yang memilih menyimpan Kevin De Bruyne dan Leroy Sane di bangku cadangan hingga menit ke-89. Keputusan memainkan Riyad Mahrez daripada Sane [dan memastikan bahwa Raheem Sterling bermain di kiri] juga menjadi bukti sebuah kesalahan. Itu adalah penampilan aneh dari City, hampir tampak hati-hati, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Guardiola."

Untuk mengantisipasi permainan agresif yang diterapkan Spurs, City memulai pertandingan dengan formasi 4-2-3-1. Mengingat keunggulan fisik yang dimiliki pemain-pemain tengah Tottenham, pilihan Pep tersebut tentu tak keliru. Namun, Winter benar: Pep keliru dalam memilih komposisi pemain serta menerapkan pendekatan permainan.

Dalam pertandingan itu, City justru memilih bertahan agak dalam daripada melakukan pressing. Saat fase bertahan, dengan jarak antarlini dan antarpemain yang sangat rapat, formasi mereka akan berubah menjadi 4-4-2: David Silva, pemain nomor 10 City, akan berdiri sejajar dengan Kun Aguero, sementara dua pemain sayap City, Riyad Mahrez dan Raheem Sterling, langsung merapat dengan Ilkay Gudogan serta Fernandinho, dua gelandang tengah City.

Dari situ, peran yang dimainkan Sterling dan Mahrez dalam bertahan tentu menimbulkan pertanyaan. Sebelumnya City tak pernah sekonservatif itu. Meski dua pemain sayap mereka seringkali terlibat aktif dalam bertahan, mereka tak pernah bertahan sedalam pada pertandingan tersebut.

Alhasil, terutama pada babak pertama, Spurs pun dapat mengontrol jalannya pertandingan, sementara City tak mampu melancarkan serangan berbahaya. Setidaknya catatan statistik bisa menjadi bukti.

Menurut hitung-hitungan Whoscored, City hanya 4 kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang di sepanjang babak pertama. Dan dari 4 percobaan itu, hanya satu tembakan yang mengarah tepat sasaran. Itu pun dari penalti gagal yang dilakukan Aguero. Bandingkan dengan yang dilakukan Spurs: anak asuh Pochettino itu 8 kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang, dan 2 di antaranya mampu mengarah tepat sasaran.

Yang menarik, buruknya pendekatan taktik Guardiola itu lantas ditambah dengan pemilihan pemain yang tak tepat.

Saat City ingin bermain direct, Guardiola justru menepikan Kevin de Bruyne dan Leroy Sane, padahal dua pemain ini dapat mendukung pendekatan taktiknya itu? Lantas, saat City ingin bertahan secara mendalam, mengapa ia memilih memainkan Fabian Delph, seorang gelandang tengah, di sektor kiri pertahanan?

Sekitar satu hari sebelum pertandingan, melalui sebuah analisisnya di Unibite, Jonathan Wilson menilai bahwa De Bruyne akan menjadi pemain kunci City saat menghadapi Spurs. Alasan Wilson, tidak ada pemain yang lebih kreatif daripada De Bruyne dalam permainan direct. Untuk memperkuat penilaiannya itu, ia kemudian menyertakan pandangan Hein Vanhaezbrouck, mantan pelatih De Bryune di Belgia.

"Kevin," kata Vanhaezbrouck, "ialah seorang pemain yang dapat melihat keseluruhan lapangan, yang dapat menerima bola di mana saja lantas mengirimkan umpan sejauh 50 meter ke daerah pertahanan lawan... Kevin menyerupai Cruijff, yang benar-benar mampu melihat segalanya. Ia dapat mendistribusikan bola, memainkan bola dari lini belakang, hingga mengirim umpan panjang ke depan."

Menyoal kemampuan De Bruyne, Wilson tentu tidak sedang berjualan kecap. Tetapi, Pep Guardiola justru mempunyai pendapat lain. Dalam pertandingan itu, ia lebih memilih memainkan Ilkay Gundogan daripada De Bryune. Meski Gundogan tidak bermain buruk, tanpa De Bruyne, City pun akhirnya kesulitan untuk mengirimkan umpan ke depan.

Selain mencadangkan De Bruyne, kesalahan fatal Guardiola lainnya adalah memilih Mahrez sebagai pengganti Bernardo Silva. Tidak seperti Silva yang meledak-ledak, Mahrez adalah tipe pemain berbeda: ia terbiasa menjadi pusat permain dan jarang melakukan penetrasi untuk membuka ruang bagi rekan-rekannya. Maka, ia jelas tak cocok dengan permain direct yang diinginkan Pep Guardiola.

Statistik lantas bisa memberi bukti bahwa Pep Guardiola seharusnya memilih memainkan Leroy Sane daripada Mahrez: menurut catatan Stats Zone, Mahrez hanya tujuh kali mengirimkan umpan di daerah sepertiga akhir, menciptakan satu peluang, dan tidak sekalipun melakukan tembakan ke arah gawang.

Bagaimana dengan Fabian Delph?

Dalam analisisnya menjelang pertandingan, Tom Clarke, analis sepakbola dari The Times, menilai bahwa Spurs akan mengincar sisi kiri pertahanan City. Alasannya, di sektor tersebut, City tidak mempunyai full-back kiri yang bagus dalam menyerang maupun bertahan: Benjamin Mendy hanya bagus dalam menyerang; Fabian Delph, Zinchenko, Delp dan Danilo bukan full-back kiri murni; dan Laporte hanya bagus dalam bertahan.

Dengan pendekatan taktik yang diterapakan Guardiola, Laporte seharusnya menjadi pilihan paling aman di sektor kiri. Namun, Guardiola justru memilih memainkan Delph di sektor tersebut. Dan Son, yang sengaja dimainkan di sebelah kanan oleh Pochettinho, lantas mengganjar kesalahan Guardiola itu dengan sebuah gol kemenangan.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih