tirto.id - Alkisah Namrud, raja dari Babilonia berjuluk Pemburu yang Perkasa, merasa sudah memiliki semuanya di dunia. Maka, dengan kejemawaan ala raja besar, dia memerintahkan para budak untuk membangun Menara Babel di kawasan Shinar, Mesopotamia, yang di dunia modern berada di Irak, Kuwait, Suriah bagian timur, Turki bagian tenggara, dan perbatasan antara Irak dan Iran. Menurut Namrud, menara itu akan mencapai surga, dan akan digunakan sebagai tangga menuju surga, tempat Namrud akan bertahta dan menjadi Tuhan.
Tapi tentu saja Tuhan tak tinggal diam. Dengan kekuatan yang maha besar, dia merobohkan menara yang menurut Book of Jubilees setinggi 2.484 meter, atau tiga kali tinggi gedung tertinggi di dunia saat ini, Burj Khalifa. Namrud gagal jadi Tuhan. Namanya dikenang sebagai simbol penentang Tuhan.
Hitung maju beberapa ribu tahun kemudian, tiga orang lelaki Arab Saudi memakai nama raja pemberontak itu sebagai nama band black metal: Al-Namrood. Nama band ini nyaris tak pernah terdengar sebelumnya, hingga Vice memuat wawancara via chatting dengan personel mereka, Memphisto, pada April 2015. Wawancara ini bukan perkenalan Al-Namrood yang pertama. Sekitar tiga tahun sebelumnya, situs Orthodox Black Metal (OBM) juga mewawancara Memphisto.
"Al Namrood dimulai oleh dua orang. Yakni vokalis Mukadars dan Ostron yang tertarik untuk membuat band oriental metal dengan lirik Arab. Awalnya musik mereka oriental. Tapi kemudian aku bergabung dan menambahkan pengaruh black metal," tulis Memphisto dalam wawancara bersama OBM.
Mereka merilis album perdana pada 2008. Judulnya adalah Atba'a Al Namrood. Secara harfiah dapat diartikan sebagai Pengikut Namrud. Saat itu pula mereka menjalin kontrak dengan Shaytan, sebuah label independen dari Kanada. Setelahnya mereka merilis sekitar lima album lagi. Yakni Astfhl Al Tha’ar (Vengeance Intensified, 2009), Estorat Taghoot (A Legend of Tyarnny, 2010), Kitab Al Awthan (Book of Idols, 2012), Heen Yadhar Al Gashq (Harming the Twilight, 2014), Diaji Al Joor (Diaji Injustice, 2015).
Sebagai band black metal yang mengambil pengaruh folk metal, mereka banyak berkisah tentang dongeng-dongeng era pagan. Mereka banyak menggali kisah tentang Babilonia, Nebuchadnezzar. Begitu pula narasi-narasi tentang Arab kuno. Konsep tentang iblis, juga hubungannya dengan kehidupan masyarakat Arab. Memphisto mencontohkan banyak lagu di album Kitab yang berkisah tentang kepercayaan kuno di tanah Arab.
"Seperti ribuan iblis, jin, manusia setengah dewa, dan dewa yang melambangkan kebudayaan politeis di Arab, sebelum kemunculan Islam."
Sekilas, kisah yang dituturkan Memphisto tampak biasa. Seperti orang-orang Norwegia mengisahkan tentang para dewa tanah Nordik melalui band-band black metal. Tapi, bermain musik metal di Timur Tengah, apalagi Arab Saudi, mengandung risiko yang tak main-main. Di Arab Saudi, musik metal dilarang. Apalagi black metal seperti Al Namrood yang dari namanya saja sudah merupakan simbol pemberontakan terhadap tuhan yang esa.
"Membuat musik dilarang oleh hukum Islam di Arab Saudi. Hukumannya bisa berupa 100 cambukan, atau bahkan hukuman mati kalau musiknya terbukti anti-agama. Jadi metal dianggap tabu, kejahatan, dan hasil karya iblis. Metal tidak disambut di negara kami," kata Memphisto.
Apa yang dikatakan oleh Memphisto, sama dengan apa yang dikisahkan oleh Sam Dunn dan Scot McFadyen dalam film dokumenter Global Metal. Di film yang dirilis pada 2007 ini, Sam dan tim produksinya berkeliling ke 7 negara. Mulai dari Brasil, Jepang, India, Cina, Indonesia, Israel, dan Dubai (karena mereka gagal mendapat visa Iran).
Film itu dibuat oleh Sam untuk menunjukkan bahwa metal sudah menyebar ke seluruh dunia. Bahkan ke tempat-tempat yang tak terduga. Di Indonesia, misalkan. Negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini punya skena musik metal yang gegap gempita. Bahkan termasuk yang terbesar di Asia. Begitu pula di Timur Tengah, walaupun di sana musik metal tidak dimainkan dan dirayakan sebebas di Indonesia.
"Di banyak kawasan Timur Tengah, pemerintah yang konservatif dan otoritas keagamaan berulang kali menyensor dan melarang musik metal," ujar Sam dalam Global Metal.
Di Iran, misalkan. Armin, seorang penggemar metal dari Iran, mengatakan bahwa akses ke musik metal amat terbatas. Tak ada yang menjual CD. Begitu pula kaus band metal. "Bahkan dulu celana jeans saja dilarang," kata Armin.
Dia kemudian menceritakan soal konser band metal di Iran yang amat jarang. Sekitar 2002 atau 2003, ada sebuah band bernama SDS yang manggung membawakan lagu-lagu dari Morbid Angel dan Slayer. Tapi tak boleh ada suara vokal, dengan alasan lirik yang terlalu kasar dan agresif. Penonton pun harus duduk. Setelah konser itu, pemerintah melarang semua pertunjukan metal.
Tak hanya soal akses ke musik yang amat terbatas, bahkan penampilan pun bisa jadi masalah besar. Jika kamu berambut gondrong dan memakai kaus hitam dengan logo band kesayanganmu, siap-siap saja menghadapi masalah. Ini terjadi tidak hanya di Arab Saudi, tapi juga di beberapa negara Timur Tengah seperti Iran dan Lebanon. Ali, seorang musisi metal Iran, pernah digelandang oleh polisi hanya karena berambut gondrong.
"Kenapa rambutmu gondrong? Apa kamu memuja setan? Atau kamu bergabung dalam band black metal?" kata Ali menirukan interogasi polisi.
Sedangkan Maher, seorang musisi metal Arab Saudi ditangkap karena memakai kaos Slayer dan berambut gondrong. Abed, penggemar metal dari Lebanon, menceritakan beberapa orang kawannya dipenjara karena berambut panjang. Di sana, mereka digunduli dan dipukuli karena para polisi menganggap metalhead itu benar-benar pemuja setan.
"Para petugas itu menganggap metal sebagai musik amoral," kata Armin.
Melarang Metal Tak Akan Pernah Berhasil
Yang harus dipahami oleh para penguasa, ataupun otoritas keagamaan di negara-negara yang memberangus metal: larangan tidak pernah efektif, dan tidak akan pernah efektif. Apalagi di era internet seperti ini. Perlawanan selalu ada. Walau hanya letupan kecil berupa postingan blog, unggahan video di Youtube, atau coretan di tembok kota.
Di Iran, seperti ditunjukkan oleh Global Metal, ada beberapa coretan Slayer di dinding kota. Para anggota otoritas keagamaan di Iran yang tidak paham metal tentu tak tahu apa itu dan siapa itu Slayer. Kalau saja mereka tahu Slayer dan lagu-lagunya, mereka bisa kena serangan jantung.
Sam Dunn, lulusan Antropologi dari Universitas Victoria, paham betul apa nilai-nilai yang dibawa oleh metal, dan kenapa musik ini bisa berkembang di banyak negara otoriter. Di negara seperti Arab Saudi, Iran, Lebanon, bahkan China, kebebasan tak mudah didapat. Pemerintah punya centang yang siap menggebuk kalau ada warganya yang terbukti melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Entah itu mendengarkan musik yang menentang agama, ataupun hanya berpenampilan tidak biasa. Sistem seperti ini tentu akan melahirkan perlawanan, yang didorong oleh dahaga akan kebebasan.
"Musik metal memang tidak pernah lepas dari kontroversi. Musik ini selalu memberontak melawan penguasa, dan berani melawan dogma," ujar Sam.
Perlawanan terhadap dogma ini yang kemudian diusung oleh Al Namrood. "Kami tumbuh di tengah rezim Islam radikal. Kami sudah menyaksikan brutal dan kejamnya hukum Islam melalui eksekusi dan penyiksaan di depan umum. Kami dicuci otak tiap hari di sekolah. Para guru mengajarkan kami harus membenci non-muslim, jangan berbuat baik pada mereka, dan selalu mendukung jihad," kata Memphisto.
Apa yang dilakukan Al Namrood sepertinya lumayan berpengaruh bagi banyak musisi di Arab Saudi untuk membuat band metal. Jika pada 2012, Al Namrood dianggap sebagai satu-satunya band black metal di sana, kini tidak lagi.
Merujuk situs Metal Archive, setidaknya ada 11 band metal lain di Arab Saudi. Misalkan Deathless Anguish, band asal Dammam yang memainkan death metal. Atau Grieving Age dari Jeddah yan gmemainkan doom dan death metal. Ada pula Immortal Seth dari Riyadh, yang turut memainkan black metal. Yang memainkan grindcore juga ada, yakni Creative Waste dari Qatif. Mereka juga pernah diulas oleh The Atlantic sebagai satu-satunya band grindcore di Arab Saudi.
Fawaz Al Shawaf, vokalis Creative Waste, menceritakan bahwa Arab Saudi sempat punya kancah musik metal yang dinamis. Mulai dari Dammam di bagian timur, ke ibu kota Riyadh yang merupakan pusat Wahabi, hingga ke Jeddah yang dianggap lebih liberal. Setidaknya, seingat Fawaz, ada sekitar 30 band metal di pertengahan 2000-an. Hingga pada 2009, ada kerusuhan saat konser metal di Riyadh. Dua orang penyelenggara ditangkap. Satu orang dari Suriah yang langsung dideportasi. Dan satu lagi warga Arab Saudi, yang dihukum penjara selama setahun. Setelah itu, tak ada lagi konser metal ataupun rock. Hingga sekarang.
Band-band metal Saudi kemudian banyak memilih untuk mengerjakan musiknya di luar negaranya. Creative Waste, misalkan. Mereka mengontak promotor musik di New York dan berhasil manggung di Manhattan dan Maryland pada 2010 dan 2011. Mereka juga pernah manggung di Dubai, hingga di festival Obscene Extreme, Meksiko. Berbagi panggung dengan legenda grindcore, Napalm Death. Sedangkan Al Namrood merekam albumnya secara sembunyi-sembunyi di Saudi, dan pernah juga di Bahrain.
Mereka juga memanfaatkan internet dengan membuat situs band, lengkap dengan unggahan video mereka di Youtube dan tautan untuk mengunduh album mereka secara gratis. Tahun ini mereka akan merilis album yang diberi judul Enkar. Dan mereka masih melawan dengan musik black metal.
Tapi selama bertahun-tahun memainkan musik black metal, Memphisto dan Al Namrood sadar bahwa perlawanan yang mereka suarakan, tak akan pernah bisa-bisa menggerakan warga Arab Saudi. "Ya karena mereka lahir di sini dan menganggap semuanya wajar belaka." Menurutnya, mayoritas warga Saudi merasa baik-baik saja dengan hidup mereka dan tak perlu memberontak. Atau belum?
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS