Menuju konten utama
Makin Kaya Kala Pandemi

Bisnisnya Menggurita, Eddy Sariaatmadja Makin Tajir Kala Pandemi

Eddy Kusnadi Sariaatmadja menduduki peringkat 20 dalam jajaran orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Ditopang gurita bisnis Emtek di berbagai bidang.

Bisnisnya Menggurita, Eddy Sariaatmadja Makin Tajir Kala Pandemi
Eddy Kusnadi Sariaatmadja. FOTO/emtek.co.id/

tirto.id - Pada pengujung 2020, Forbes merilis daftar 50 pengusaha dengan kekayaan kolektif tertinggi di Indonesia. Selain menyorot para penghuni peringkat atas macam Hartono bersaudara, keluarga Widjaja, hingga Prajogo Pangestu, Forbes juga menyinggung beberapa nama yang mengalami kenaikan harta signifikan di tengah pandemi COVID-19. Satu di antara nama tersebut adalah Eddy Kusnadi Sariaatmadja.

Sepanjang 2020, menurut hitung-hitungan Forbes, kekayaan kolektif Eddy mengalami kenaikan hampir 80 persen. Tepatnya, dari US$800 juta menjadi US$1,4 miliar atau setara Rp19,89 triliun.

Kenaikan kekayaan itu mengantarkan Eddy ke peringkat 20 dalam jajaran orang terkaya di Indonesia. Itu sebuah lompatan besar karena dia menduduki peringkat 41 pada tahun sebelumnya. Posisi kekayaan Eddy pun menyalip nama-nama macam Mochtar Riady, Sukanto Tanoto, hingga Keluarga Ciputra yang terlempar dari peringkat 20 teratas.

Rapor hijau Eddy tak lepas dari capaian PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (Emtek), grup konglomerasi rintisannya yang kini menaungi perusahaan-perusahaan media seperti SCTV, Indosiar, O Channel, Kapanlagi Network hingga Vidio.

Sepanjang 2020, saham Emtek yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode EMTK tercatat mengalami akumulasi penguatan 147,7 persen, dari posisi Rp5.650 per saham pada awal tahun menjadi Rp14.000 di akhir tahun. Lonjakan itu tak pelak bikin nilai kekayaan Eddy di perusahaan ikut mengembang.

Porsi saham EMTK yang saat ini masih dimiliki Eddy secara pribadi berkisar 24,9 persen alias 1.405.156.497 lembar. Dengan asumsi harga akhir tahun, saham milik Eddy bernilai Rp19,67 triliun atau setara 98 persen dari kekayaan kolektif Eddy versi Forbes.

Naiknya daya pikat Emtek di lantai bursa terjadi seiring kemampuan perusahaan bertahan di tengah pandemi. Mengacu laporan keuangannya di BEI, Emtek mampu mengantongi pendapatan sekitar Rp8,51 triliun sepanjang sembilan bulan awal 2020. Angka ini naik dibandingkan capaian Rp8,11 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Kinerja apik itu kemudian bikin Emtek mendulang laba bersih Rp476,57 miliar hingga 30 September 2020, berbalik dari posisi rugi Rp959,44 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Rumus Bisnis Baru

Di atas kertas, bisnis media sebenarnya merupakan salah satu lini yang mengalami pukulan telak sejak meledaknya pandemi COVID-19. Terbatasnya acara-acara off air membuat kue iklan ikut tergerus. Ini terlihat dari data Nielsen Indonesia yang salah satunya menyimpulkan bahwa slot iklan cenderung mengalami penurunan hingga pengujung kuartal II/2020 dan baru berangsur normal setelah bulan Juli.

Di minggu terakhir Mei drop lagi. Padahal itu minggu lebaran, 24 Mei. Kita lihat drop banget,” kata Direktur Eksekutif Nielsen Media Hellen Katherina seperti dilansir Liputan6.

Dampak kondisi itu juga dirasakan Emtek. Seturut laporan keuangan perusahaan di BEI (PDF, hlm. 130), sepanjang sembilan bulan awal 2020, pemasukan iklan Emtek dari bisnis-bisnis medianya susut 20,7 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Tepatnya, dari Rp4,17 triliun menjadi Rp3,30 triliun.

Meski ditopang kinerja anak usaha di sektor produksi dan agregator konten, seperti Sinemart dan Screenplay, pendapatan dari segmen operasi keseluruhan Emtek dari lini media cuma mentok di Rp3,61 triliun. Angka ini berjarak jauh ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya, ketika perseroan mampu mendulang pemasukan hingga Rp4,19 triliun (hlm. 133).

Namun, tekanan itu seolah tak mengganggu neraca keuangan lantaran Emtek mampu menggenjot pendapatan mereka dari bisnis-bisnis lain.

Selain berbisnis media, Emtek memang memiliki sejumlah anak usaha di beberapa sektor. Mulai dari jasa kesehatan dan rumah sakit, jasa layanan transaksi, VSAT, hingga penjualan barang dan jasa lainnya. Kinerja segmen-segmen ini terbukti mampu menjadi penopang pemasukan perusahaan di tengah tekanan yang dialami sebagian besar bisnis media.

Pendapatan Emtek dari bisnis penjualan barang, misalnya, naik paling pesat dari Rp3,44 triliun pada sembilan bulan awal 2019 menjadi Rp4,51 triliun pada sembilan bulan awal 2020 (hlm. 130).

Kemudian di jasa kesehatan dan rumah sakit, Emtek yang menaungi jaringan Rumah Sakit EMC mampu mengeruk pendapatan Rp189,53 miliar hingga akhir kuartal III/2020. Catatan ini naik 23,4 persen dari posisi Rp153,47 miliar secara year over year.

Sementara itu, pendapatan Emtek dari jasa layanan transaksi, naik dari Rp78,7 miliar menjadi Rp93,45 miliar. Kenaikan ini terjadi seiring kian kuatnya posisi tawar PT Espay Debit Indonesia Koe (EDIK).

EDIK merupakan perusahaan yang menaungi platform dompet digital DANA. Perusahaan ini berdiri atas kerja sama antara Emtek dan Ant Financial—entitas yang dikendalikan Grup Alibaba rintisan orang terkaya China Jack Ma.

Emtek dan Ant Financial mendirikan EDIK pada medio 2018. Laporan kinerja Emtek menunjukkan bahwa jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) alias dana simpanan para pengguna DANA berada di angka Rp487,86 miliar per 30 September 2020. Jumlah ini naik signifikan dibandingkan total DPK DANA yang masih di kisaran Rp384 miliar per 30 September 2019.

Infografik gurita bisnis Eddy Sariaatmadja

Infografik gurita bisnis Eddy Sariaatmadja. tirto.id/Fuad

Akankah Terus Naik?

Menariknya, penguatan bisnis Emtek yang mengerek kekayaan Eddy tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Ini setidaknya terindikasi dari manuver Emtek yang makin agresif untuk melebarkan bisnisnya.

Salah satu langkah itu, misalnya, tampak dari keberanian perusahaan mengakuisisi saham mayoritas PT Sarana Metropolitan Tbk. (SAME). SAME adalah emiten yang mengendalikan jaringan rumah sakit internasional Omni. Emtek mencaplok 71,88 persen saham jaringan RS Omni yang bernilai Rp581 miliar lebih.

Padahal, bisnis Omni sedang tak bagus-bagus amat. Ini setidaknya tampak dari penurunan pendapatan dan laba perusahaan hingga akhir kuartal III/2020. Meski demikian, Emtek optimistis bisa membenahi kinerja perusahaan tersebut. Akuisisi jaringan RS Omni juga dimaksudkan untuk menopang kinerja jaringan RS EMC yang sudah lebih dulu dimiliki Emtek.

Emtek bermaksud untuk memperluas dan memperkuat lini usaha eksisting di bidang jasa pelayanan kesehatan. Akuisisi ini akan menjadikan Grup Emtek menjadi perusahaan lebih besar,” tulis pihak Emtek dalam keterangan resminya (PDF).

Dalam beberapa tahun terakhir, Emtek juga makin agresif mencaplok saham sejumlah perusahaan dan start-up lewat anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK). Berdiri sejak 2012, KMK kini tercatat memiliki 50 persen saham anak usaha Kalbe Farma PT Medika Komunika Teknologi; 50 persen saham perusahaan riset media PT Home Tester Indonesia; 50 persen saham perusahaan agensi PT Suitmedia Kreasi Indonesi.

Di lini start-up, Emtek juga telah memiliki 50 persen saham PT Nusa Satu Inti Artha yang mengelola platform dompet digital DOKU, serta 34,88 persen saham platform e-commerce PT Bukalapak.com (PDF, hlm. 90).

Untuk nama perusahaan terakhir, KMK berinvestasi lewat putaran pendanaan bersama Ant Financial yang juga mitra mereka dalam membangun platform DANA.

Sejauh ini, kepemilikan saham di berbagai platform itu memang belum menguntungkan secara finansial. Namun, dari waktu ke waktu, KMK dan Emtek semakin mampu memangkas kerugiannya. Sepanjang sembilan bulan awal 2020, misalnya, KMK membukukan kerugian periode berjalan Rp613,25 miliar. Itu membaik dari kerugian periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp795,19 miliar (hlm. 126).

Kekayaan Eddy juga berpotensi terus meningkat lantaran kinerja Emtek pada 2021 akan ditopang potensi pemulihan pendapatan iklan yang notabene kontributor terbesar neraca perusahaan.

Mirae Asset Sekuritas, misalnya, memproyeksikan PT Surya Citra Media Tbk. (SCTV) akan mengalami penguatan laba hingga kisaran Rp5,49 triliun, naik dari torehan pada akhir 2020 yang mereka perkirakan cuma mentok di kisaran Rp5,06 triliun.

Tambahan pendapatan pelanggan dari platform Vidio juga akan memperkuat pulihnya kinerja Emtek dan SCTV. Terutama, karena hak siar liga sepak bola Indonesia (Liga 1) yang dimiliki platform SVOD tersebut. Faktor hak siar ini juga akan mengerek kinerja anak usaha Emtek lainnya, seperti Indosiar dan O Channel yang juga kebagian jatah hak siar.

Dengan Liga 1 diperkirakan bisa dimulai Februari [2021], ini tentu akan mempengaruhi penguatan pendapatan dari pelanggan langsung,” tulis analis Mirae Asset Christine Nataysa dalam publikasi risetnya.

Pada pemeringkatan terakhir Forbes, kekayaan Eddy memang masih jauh di bawah bila dibandingkan dengan harta Hartono bersaudara yang mencapai US$38,8 miliar atau keluarga Widjaja yang mencapai US$11,9 miliar. Namun, Eddy hanya berjarak tipis dengan nama-nama kondang penghuni 20 besar lain, seperti T.P. Rachmat (peringkat 16 dengan kekayaan US$1,6 miliar) atau Garibaldi Thohir (peringkat 15, dengan kekayaan US$1,65 miliar).

Maka, patut dinanti sampai sejauh mana Eddy dan gurita bisnisnya di Emtek akan mampu bikin kejutan lanjutan.

Baca juga artikel terkait EMTEK GRUP atau tulisan lainnya dari Ahmad Fauzan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ahmad Fauzan
Editor: Fadrik Aziz Firdausi