Menuju konten utama

Biografi Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad

Perjalanan hidup Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad.

Biografi Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad
Pintu masuk pemakaman Mbah Priok. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad atau yang disapa dengan Mbah Priok merupakan salah seorang ulama terkemuka di Indonesia dan terkenal zuhud, karena memiliki karomah yang luar biasa.

Dikutip dari Pustaka Pejaten, Mbah Priok lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa hidupnya Habib Hasan turut aktif dalam usaha penyebaran agama Islam di pulau Jawa, terutama pada abad ke-18.

Lantas, bagaimana perjalanan hidup Mbah Priok?

Biografi Mbah Priok

Semasa kecil Mbah Priok hanya belajar ilmu agama dari ayah dan kakeknya. Ia pun tumbuh menjadi pribadi yang religius sekaligus cakap dalam berbagai ilmu kehidupan.

Setelah memasuki usia remaja, Habib Hasan memantapkan diri hijrah ke Yaman (Hadramaut) untuk menuntut ilmu pengetahuan Islam yang lebih banyak lagi.

Di sana, Habib Hasan tidak hanya mendalami ilmu agama Islam. Ia juga menelusuri jejak-jejak leluhurnya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad.

Setelah kurang lebih 10 tahun menimba ilmu di Yaman, ia akhirnya kembali ke Indonesia pada usia 29 tahun dan turut serta menyebarkan Islam di Jawa.

Di Pulau Jawa ia ditemani adik kandungnya, Al-Arif billah Al-Habib Ali Al-Haddad bersama tiga orang ajudan. Perlu diketahui, pada saat itu Indonesia (Nusantara) juga sedang dijajah oleh Belanda. Hal ini yang menyebabkan Habib Hasan bersama adiknya mengalami banyak rintangan dalam menyebarkan Islam.

Disebutkan bahwa, selama mengarungi lautan mereka selalu dikejar dan ditembaki meriam oleh tentara Belanda. Akan tetapi, semua upaya Belanda gagal dan mereka berhasil memasuki Jawa setelah kurang lebih dua bulan perjalanan.

Akhir Hayat Mbah Priok

Perjalanan panjang mengarungi lautan membuat Habib Hasan sakit dan lemah. Habib Hasan bersama adik dan pengikutnya terkena hantaman badai besar dua kali.

Hantaman badai yang pertama membuat perahu terguncang dan semua perbekalan tumpah ke laut. Untung saja, saat itu masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras yang dapat digunakan untuk menanak nasi dengan bantuan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar.

Setelah merasa cukup istirahat, mereka melanjutkan kembali perjalanan. Namun, di perjalanan mereka kembali terkena hantaman badai yang lebih besar dari sebelumnya.

Badai tersebut mengakibatkan perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu.

Kondisi tersebut membuat Habib Hasan melemah. Setelah 10 hari tidak makan dan berjuang hidup di lautan, Habib Hasan sakit dan kemudian meninggal. Sementara itu, Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan.

Perahu terbawa ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, hingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan.

Lokasi Makam Habib Hasan pada awalnya di pantai utara Jakarta, namun Belanda meminta untuk memindahkan makam tersebut. Sekarang, makam Habib Hasan terletak di wilayah Tanjung Priok dan dijadikan sebagai makam keramat.

Baca juga artikel terkait PROFIL atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Dipna Videlia Putsanra