tirto.id - Empat tahun lalu pengusaha Tomy Winata berambisi membangun gedung pencakar langit tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara, bahkan tertinggi kelima dunia. Proyek bernama Signature Tower setinggi 638 meter dengan 111 lantai hendak dibangun di kawasan SCBD, Jakarta. Rekor gedung tertinggi di Indonesia sebelumnya dipegang oleh Wisma BNI 46 yang memiliki ketinggian 262 meter. Namun, rekor itu baru saja dipecahkan oleh Cemindo Tower yang memiliki 63 lantai dengan panjang 289 meter.
Awalnya, Signature Tower akan dibangun oleh Artha Graha pada 2012. Beberapa tahun berlalu, tak ada kabar kelanjutan pembangunan megaproyek itu. Kelesuan ekonomi diduga menjadi penyebab maju mundurnya proyek properti multifungsi tersebut. Memasuki 2016, Tomy Winata akhirnya memastikan proyek senilai USD 1 miliar itu akan kembali digarap.
“Jadi dibangun. Sekarang ada penyempurnaan desain dan peningkatan kualitas agar masuk kelas kategori bintang 7 dan penyempurnaan art culture karakter Indonesia-nya. Insya Allah tahun ini bisa mulai,” kata pemilik Artha Graha Group, Tomy Winata kepada Tirto.id, Kamis (24/3/2016)
Signature Tower belum terealisasi di Indonesia. Secara mengejutkan, Kamboja mengumumkan rencana pembangunan proyek gedung kembar pencakar langit setinggi 500 meter dengan 133 lantai pada Maret 2016.
Terungkapnya proyek besar Kamboja ini cukup mengagetkan karena selama ini negara tersebut sering dipandang sebelah mata. Berbicara tentang ASEAN, orang biasanya lebih tertuju pada Vietnam ataupun Thailand yang dianggap pertumbuhannya paling pesat. Padahal jika menilik dari data statistik Kamboja, angkanya cukup fantastis.
Bersaing Tinggi
Jika terealisasi, maka Thai Bon Roong Twin Tower Trade Center Kamboja akan menjadi gedung tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini, gedung tertinggi di Asia Tenggara masih dipegang oleh Menara Kembar Petronas (Malaysia) setinggi 452 meter dengan 88 lantai, Menara Telekom Towers (Malaysia) setinggi 310 meter mencakup 55 lantai.
Vietnam juga punya gedung tertinggi kedua di kawasan setinggi 345 meter dengan 77 lantai. Gedung dengan nama Keangnam Hanoi Landmark Tower di Hanoi itu rampung digarap sejak 2011. Sementara Thailand memiliki Baiyoke Tower II setinggi 304 meter dengan 84 lantai di Bangkok.
Kemampuan membangun gedung pencakar langit negara-negara Asia Tenggara memang belum bisa menandingi empat gedung maha jangkung dunia seperti Burj Khalifa setinggi 828 meter di Dubai. Selain itu ada juga Shanghai Tower di Cina 632 meter, Makkah Royal Clock Tower Hotel 601 meter, dan Taipei 101 setinggi 509 meter. Meski demikian, sejumlah negara Asia diam-diam menyiapkan gedung pencakar langit lain untuk menyainginya.
Pada 2014, Thailand mengumumkan sebuah proyek properti ambisius di Bangkok dengan nama Rama IX Super Tower. Gedung ini dirancang setinggi 615 meter dengan 125 lantai. Calon gedung tertinggi yang akan menjadi maskot baru Thailand itu digadang-gadang masuk dalam daftar sepuluh besar gedung tertinggi di dunia. Proyek yang dikerjakan oleh pengembang lokal Grand Canal Land ini targetnya bisa rampung dalam 6 tahun.
Malaysia juga punya proyek serupa. Tak puas dengan Menara Kembar Petronas, Malaysia menyiapkan proyek gedung pencakar langit yang diberi nama Merdeka PNB118. Gedung yang disiapkan sebagai ikon baru Malaysia dirancang hingga 118 lantai dengan ketinggian hingga 630 meter. Bila jadi, gedung ini hanya lebih rendah 8 meter dari rencana Signature Tower di Jakarta. Perusahaan investasi pemerintah Malaysia, Permodalan Nasional Berhad (PNB) menjadi pelaksana proyek ini.
Geliat Kamboja
Gedung pencakar langit Thai Bon Roong Twin Tower Trade CenterKamboja rencananya mulai dibangun 2016, selesai 2019. Gedung dengan tinggi 500 meter ini akan berlokasi di kawasan premium di Phnom Penh seluas 5 hektare. Lokasinya berseberangan dengan pusat perjudian Naga World Casino. Dalam rancangannya, gedung ini akan berfungsi sebagai tempat perkantoran, komersial, dan perhotelan. Pembangunannya akan dilakukan oleh perusahaan asal Kamboja, Thai Bon Roong Co dan perusahaan asal Cina, Kia Nip Group.
Thai Bon Roong Twin Tower Trade Center akan menjadi gedung tertinggi di Phnom Penh. Namun, ini bukan proyek terbesar di Kamboja. Pada 2010, Perdana Menteri, Hun Sen mengumumkan proyek Diamond Tower setinggi 555 meter. Sayangnya, tidak ada kejelasan nasib proyek yang kabarnya menelan dana hingga USD 900 juta itu. Padahal, rencana semula proyek itu dijadwalkan selesai 2017.
Menurut Cambodia Daily, gedung tertinggi di Kamboja saat ini masih dipegang oleh menara Vattanac Capital. Gedung dengan tinggi 188 meter itu selesai dibangun pada 2014, dan saat ini memiliki tingkat okupansi hanya 30 persen.
Niat Kamboja membangun gedung pencakar langit bisa jadi merupakan sebuah simbol dari perbaikan ekonomi negara tersebut. Kondisi ekonomi makro Kamboja beberapa tahun terakhir memang sedang menggeliat tinggi. Meski kekuatan ekonominya masih salah satu yang terlemah di Asia Tenggara, tetapi pertumbuhan ekonomi negara pasca konflik ini sangat pesat. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan ekonomi Kamboja tahun ini tumbuh hingga 7,5 persen.
Sementara berdasarkan data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Kamboja dalam rentang 2001 hingga 2014 menggeliat 6-13 persen. PDB Kamboja terus naik dari paling rendah USD 3,9 miliar hingga USD 16,7 miliar. Puncaknya terjadi pada 2005 saat ekonomi mereka tumbuh 13,3 persen. Kamboja sempat mengalami perlambatan ekonomi yang cukup dalam dengan pertumbuhan hanya 6 persen di 2008. Namun, angkanya loncat lagi menjadi 10 persen di 2009.
Geliat ekonomi ditandai dengan munculnya proyek pencakar langit. Tidak hanya Kamboja, sejumlah negara juga mengalaminya. Malaysia misalnya, memulai pembangunan proyek Menara Kembar Petronas pada 1993. Saat itu, ekonomi Malaysia sedang tumbuh pesat, dalam periode 1990-1993, mengalami pertumbuhan 8,9-9,9 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada 1995, saat gagasan proyek Menara Jakarta 558 meter pertama kali muncul, ekonomi Indonesia sedang menggeliat tumbuh 8,4 persen, dari tahun sebelumnya hanya 7 persen. Proyek Menara Jakarta akhirnya terabaikan akibat diterpa krisis moneter 1998. Pada 2011, ketika ekonomi Indonesia tumbuh mencapai puncaknya hingga 6,2 persen, muncul rencana proyek Signature Tower setinggi 638 meter yang digagas oleh Tomy Winata. Sayangnya, Signature Tower juga tenggelam seiring lesunya perekonomian.
Membangun gedung-gedung tertinggi memang sebuah gengsi bagi negara dan pengembang swasta yang membangunnya. Geliat ekonomi sering menjadi latar belakang hadirnya rencana-rencana mimpi membangun pencakar langit tertinggi. Sayangnya, Kondisi ekonomi yang tiba-tiba mengguncang suatu negara rentan terhadap sebuah proyek bergengsi ini. Mimpi membangun gedung tinggi sesuatu yang mudah. Namun, yang sulit adalah merealisasikannya jika tanpa hitung-hitungan yang jelas.