tirto.id - Cina semakin ganas, dan persaingan antarnegara di Laut Cina Selatan pun memanas. Setelah mereklamasi terumbu karang menjadi pulau-pulau, Reuters (17/2) melaporkan bahwa Cina mengerahkan rudal darat ke udara di perairan yang disengketakan itu.
Menurut David Lo, Menteri Pertahanan Taiwan, Cina telah menyiapkan baterai rudal di Pulau Woody. Pulau ini merupakan bagian dari rantai (Kepulauan) Paracel, yang berada di bawah kontrol Cina selama lebih dari 40 tahun, tetapi juga diklaim oleh Taiwan dan Vietnam.
Perkembangan ini menghentak suasana yang cukup tenang pada pekan ini. Pemimpin-pemimpin ASEAN pada KTT AS-ASEAN pada 15-16 Februari, sudah menyatakan bertekad untuk menyelesaikan sengketa teritorial dengan jalan damai.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menyatakan fasilitas pertahanan-diri di Pulau Woody sesuai dengan kebijakan perlindungan-diri negaranya dan hukum internasional. Wang Yi melihat pemberitaan tentang rudal itu hanyalah sensasi media Barat.
Agresivitas Cina
Bukan tanpa alasan jika Cina semakin agresif di Laut Cina Selatan. Kawasan perairan ini memang strategis. Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan sentral ekspor-impor. Reuters menyebut alur perdagangan di kawasan perairan tersebut mencapai USD 5 triliun per tahun. Selain Cina, tak heran jika Filipina, Brunei Darusalam, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan saling klaim di kawasan itu.
Geliat Cina memuncak setelah mereklamasi terumbu karang yang diubah jadi 10 pulau di Kepulauan Spratly. Menurut investigasi Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), pulau-pulau ini nantinya akan dijadikan pangkalan militer.
Foto satelit terbaru terumbu Fiery Cross Reef menggambarkan adanya landasan pesawat sepanjang 3 km. Dengan landasan sepanjang itu, pesawat militer dimungkinkan mendarat. Foto-foto pembangunan menunjukkan di sana akan dibangun barak batalion infanteri dan kavaleri.
Menurut AMTI, pembangunan di terumbu karang ini mencakup fasilitas pertahanan udara, radar, helipad, dan mercusuar. Sebelumnya, Cina membangun fasilitas serupa di Pulau Aba yang berada di wilayah utara pada 2012 lalu. Belum lagi, sejak awal 2015, negara ini agresif mereklamasi Pulau Subi yang jaraknya hanya 25 km dari Pulau Thitu (Filipina). Nantinya pulau ini akan jadi pangkalan milik Cina paling utara di Kepulauan Spratly.
Dengan perkembangan gerakan Cina ini, sebagian besar negara-negara ASEAN berupaya menambah kekuatan militernya di matra laut dan udara. Kelemahan militer Cina mengantisipasi peperangan bawah laut membuat produk kapal selam pun makin diminati di Asia Tenggara.
Tren pertambahan Anggaran Militer
Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) terbaru yang dirilis akhir 2015 memperlihatkan pertumbuhan nominal yang signifikan untuk belanja militer negara-negara ASEAN.
Dalam kurun waktu 2010-2014, rata-rata peningkatan belanja militer ASEAN mencapai 37,6 persen dalam dolar AS dan 44 persen dalam mata uang lokal. Vietnam memimpin dengan kenaikan 59,1 persen, diikuti oleh Kamboja sebesar 56,2 persen, lalu Indonesia sebanyak 50,6 persen.
Secara nominal, belanja militer memang naik signifikan. Namun, jika dilihat dari persentase belanja militer ASEAN terhadap jumlah total PDB, rata-rata pertumbuhannya hanya 2,2 persen. Dari tujuh negara di kawasan Laut Cina Selatan, hanya Vietnam, Brunei, dan Filipina yang mengalami kenaikan persentase belanja militer terhadap PDB. Untuk Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, trennya justru menurun.
Lain lagi jika dilihat dari belanja militer terhadap APBN. Jika perbandingan persentase pengeluaran militer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini dijadikan tolok ukur, maka Singapura adalah negara paling siaga. Meski luas wilayahnya paling kecil, jumlah belanja militernya menjuarai klasemen ASEAN. Padahal, secara keseluruhan, ASEAN bisa disebut salah satu kawasan paling siaga secara militer. Rerata persentase belanja militernya lebih tinggi dibanding kawasan lain seperti Amerika Selatan dan Eropa Timur yang notabene potensi konfliknya lebih besar.
Sikap Cina yang semakin agresif mendorong negara-negara ASEAN yang terlibat di Laut Cina Selatan untuk menambah anggaran pertahanan dalam 10 tahun terakhir, khususnya di sektor angkatan laut. Laporan IHS Jane's Fighting Ships pada 2015 memaparkan kenaikan anggaran untuk sektor angkatan laut di ASEAN berkisar 150 persen dibanding 2008.
Hal ini diamini pengamat militer dari Nanyang University Singapore, Richard A. Bitzinger.
Dalam jurnal singkatnya, Bitzinger menyimpulkan bahwa pertahanan kemaritiman di ASEAN telah bertransformasi dari pasukan sederhana yang berorientasi pada pertahanan pesisir (brown water), menjadi armada yang lebih modern (green water). Armada modern ini mampu memproyeksikan senjata yang diperlukan untuk bisa berekspansi ribuan mil sampai perairan terluar dari perairan regional.
Alat pertahanan pada level green water identik dengan jenis-jenis kapal korvet, fregat, atau yang lebih besar dari itu, termasuk kapal selam. Modernisasi ini dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan dan semakin gencar dilakukan sejak 2008.
Malaysia, misalnya, mendapatkan dua kapal fregat dari Inggris dan enam Gowindclass korvet dari Perancis. Begitu pula Singapura yang mendatangkan enam kapal fregat kelas Formidable dengan desain Lafayette dari Perancis.
Vietnam yang 1974 silam sempat berperang dengan Cina, pada 2011 lalu menambah dua fregat Gepard tipe 3.9 buatan Rusia. Seperti dilansir Sputniknews, 2016 ini Rusia juga akan membantu Vietnam meningkatkan sistem pertahanan misil angkatan lautnya.
Selain Vietnam, Filipina juga termasuk negara yang paling agresif. Dalam lima tahun terakhir ini, Filipina berhasil mendatangkan belasan kapal fregat dan korvet dari Amerika Serikat, Italia, dan Jepang, meski semuanya merupakan armada bekas.
Thailand yang saat ini mengantongi delapan korvet dan tujuh fregat sedang melakukan pendekatan dengan Amerika Serikat guna menambah dan meningkatkan armada kerajaan Thai yang didominasi kapal-kapal lawas.
Ben Moores, peneliti senior di IHS Janes, pada CNBC mengatakan alutsista dari Amerika Serikat khususnya yang terkait kemaritiman sudah tidak diminati di ASEAN. Vietnam misalnya, yang sejak 2010 hampir 72 persen pengadaan persenjataannya didapat dari Rusia. Untuk Indonesia dan Malaysia, kontrak dengan AS hanya berkisar masing-masing 9,7 persen dan 3,3 persen dari keseluruhan total pembelian.
Filipina yang relatif dekat dengan Amerika dan menjadi negara paling terancam oleh eksistensi Cina di Laut Cina Selatan, hanya menyediakan slot 30 persen bagi industri militer AS. Untuk Singapura, persentase belanja militer pada AS memang mencapai 40 persen.
Tapi itupun tidak didominasi penguatan angkatan laut, melainkan penambahan skuadron pesawat tempur F-15E, F-16E, dan helicopter Apache. Moores melihat pemasok alustsista seperti Perancis, Inggris, Spanyol, Korea Selatan, Jepang, dan Brazil lebih menarik tinimbang Amerika.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Data Global Firepower menunjukkan kekuatan TNI AL yang aktif saat ini adalah enam fregat, 26 korvet, serta dua kapal selam. Sayangnya, hampir 70 persen alutsista kita saat ini berumur lebih dari seperempat abad. Modernisasi dilakukan, namun relatif lambat.
Dibanding dengan negara-negara lain yang bersiaga di kawasan Laut Cina Selatan, Indonesia belum memiliki pertahanan kemaritiman cukup baik di Kepulauan Natuna. Lain halnya dengan Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang sudah lebih dulu membangun bandara dan pelabuhan besar di pulau-pulau kecil di sana. Selama ini, landasan pacu Natuna tidak dapat digunakan oleh pesawat tempur. Hanya pesawat angkut yang bisa mengakses landasan itu.
“Selain landasannya yang tak bisa dipakai pesawat tempur, Natuna juga tidak punya banyak prajurit bersenjata, hanya beberapa marinir. Kami akan menambah pasukan udara, laut, dan darat di sana,” demikian pernyataan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu yang dikutip Antara.
Akhirnya dalam APBN 2016 ini, Komisi I DPR RI menyetujui dana segar Rp 450 miliar untuk membangun landasan baru dan pangkalan batalion infanteri.
Memanfaatkan Kelemahan Cina dalam Pertahanan Kapal Selam
Besarnya kekhawatiran akan potensi konflik di Laut Cina Selatan bisa dilihat dari ekspansi besar-besaran dalam kekuatan kapal selam. Tren membeli kapal selam meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Padahal, 15-20 tahun lalu banyak negara ASEAN tak punya armada kapal selam.
Singapura misalnya yang 2010 lalu membeli enam kapal selam tipe RSS Archer dari Swedia. Pada 2014, dua merek baru jenis 218S didatangkan dari Jerman. Di tahun yang sama, Malaysia menerima dua kapal selam dari Prancis tipe Scorpene. Kabar mengejutkan datang dari Vietnam yang berhasil membeli enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Hal sama juga dilakukan Indonesia. TNI berencana mendatangkan 12 kapal selam tipe Kilo dari Rusia yang datang secara bertahap hingga 2020 nanti.
Felix Chang, peneliti The Foreign Policy Research Institute, menganalisis pengunaan kapal selam akan lebih efektif untuk mengamankan teritori Laut Cina Selatan. Sifat kapal selam yang seperti siluman dan mampu menyerang secara mengejutkan menjadi nilai lebihnya.
“Perkembangan (teknologi) rudal kapal selam memungkinkan tembakannya bisa dengan mudah menenggelamkan kapal perang besar seperti kapal perusak,” kata Chang.
Menurutnya, pengunaan kapal patrol sangat tidak cocok untuk memantau perairan Laut Cina Selatan, apalagi jika harus berhadapan dengan angkatan laut Cina. Berpaling ke kapal selam sebagai platform untuk patroli sangat cocok. Selain pengunaan torpedo, kapal selam juga mampu meluncurkan rudal jelajah anti-kapal.
Menurut lembaga analisis Stratfor, kemampuan pertahanan anti-kapal selam Cina tertinggal jauh di belakang kompetensi tempur angkatan laut lainnya. Wajar jika beberapa angkatan laut di ASEAN melihat kapal selam sebagai cara mengakali kelemahan Cina itu.
“Bagaimanapun, Cina tidak memiliki kemampuan melawan kekuatan kapal selam, baik itu (produksi) AS maupun kekuatan pesaing terdekat seperti Jepang dan Korea Selatan,” tulis Stratfor.
Cina tidak memiliki peralatan, pelatihan, dan pengetahuan kelembagaan yang efektif untuk lepas dari ancaman kapal selam. Sampai saat ini, mereka masih mengandalkan kapal pemburu tipe 037 yang hanya dipersenjatai lambung sonar dan roket anti-kapal selam.
Kapal ini hanya akan efektif mengatasi kapal selam yang menyelam dangkal atau berada di pesisir. Untuk menghadang kapal selam bertenaga nuklir yang cepat dan dalam, Cina akan sangat kesulitan.
Cina memang mampu memproduksi kapal selam berkarakter conventionally-powered attack submarines lewat tipe Yuan, Song, dan Ming. Namun, ketidakpercayaan mereka terhadap produk sendiri terlihat dari keputusan Beijing yang membeli kapal selam tipe Kilo dari Rusia.
Tak Mudah Menghadang Cina
Akan tetapi, kelemahan Cina dalam teknologi kapal selam tak membuat negara ini mudah takluk di Laut Cina Selatan. Dari segi jumlah pun semua pengadaan kapal selam di Asia Tenggara tak akan mampu menghadang kekuatan Cina. Sejak 2009, negara ini menambah 14 kapal selam baru dan 21 kapal surface combatant.
Total kekuatan tempur angkatan laut Cina saat ini mencapai satu kapal induk, 47 kapal fregat, 25 kapal perusak, 23 kapal korvet, dan 67 kapal selam. Ini belum ditambah ketangguhan angkatan udaranya yang diperkuat 1066 pesawat tempur.
Melihat gelagat unjuk kekuatan Cina di Laut Cina Selatan itu, Amerika Serikat tak tinggal diam. Pada pembukaan KTT AS-ASEAN, 15 Februari 2016, Barack Obama seperti dikutip The Straits Time (16/2) menyampaikan pesan agar sengketa di perairan ini diselesaikan dengan cara-cara damai dan sesuai hukum. Meski tak menyebut-nyebut Cina, secara diplomatis Obama menyatakan Amerika Serikat berada bersama para sekutunya di ASEAN.
“Dalam beberapa tahun ini, Amerika Serikat meningkatkan bantuan keamanan maritim untuk sekutu dan mitra kami di wilayah ini, meningkatkan kekuatan bersama untuk melindungi perdagangan sah dan merespons krisis kemanusiaan,” tandas Obama seperti dikutip The Straits Time.
Negara-negara ASEAN tentu boleh sedikit lega mendengar pernyataan presiden negara yang tergabung dalam kerjasama ekonomi Trans-Pasific Partnership (TPP) itu. Namun, data kepemilikan armada militer tetap menunjukkan keunggulan kekuatan de facto Cina dibandingkan negara-negara di ASEAN ini.
Untuk menghadang penguasa baru di Laut Cina Selatan, ASEAN perlu bersatu. Ikatan ASEAN yang hanya berupa konfederasi yang longgar, bukan proto-aliansi seperti NATO, perlu dinegosiasikan lagi. Aliansi kuat akan meningkatkan posisi tawar dalam perundingan multilateral. Dengan atau tanpa AS, negara-negara ASEAN harus berhitung tenaga dan siasat dalam menghadapi Cina.