Menuju konten utama

Belajar Normal 2021: Corona Masih Tinggi, Guru & Sekolah Tak Siap

Sekolah tatap muka diizinkan lagi tahun depan, ketika Corona mungkin masih tinggi dan sekolah serta guru tak siap.

Belajar Normal 2021: Corona Masih Tinggi, Guru & Sekolah Tak Siap
Sejumlah siswa mengikuti belajar tatap muka pertama di SDN-1 Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/11/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makariem memperbolehkan sekolah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka pada Januari 2021. Aturan tersebut mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun ajaran 2020/2021.

Eks bos Gojek itu mempersilakan pemerintah daerah atau Kementerian Agama memberikan izin secara bertahap dan izin pamungkas oleh satuan pendidikan serta orang tua murid. Nadiem meminta pemerintah daerah mempertimbangkan sejumlah faktor saat memberikan izin, antara lain: tingkat risiko wilayah, kesiapan fasilitas kesehatan dan pendidikan, akses dan kemudahan belajar dari rumah, serta kondisi psikososial murid.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan pembukaan sekolah memang harus mempertimbangkan banyak faktor. Meski sejumlah faktor itu terpenuhi, akan tetapi ia tetap ragu kebijakan ini tidak memberikan dampak buruk apa-apa sebab persentase kasus positif (positivity rate) Indonesia masih tinggi. “Masih di atas 10 persen,” ujar Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020).

WHO menyatakan untuk pelaksanaan kegiatan masyarakat, positivity rate harus kurang dari 5 persen dalam dua pekan berturut-turut. Ini belum terpenuhi dan melihat tren yang ada, Dicky juga pesimistis itu terpenuhi pada awal tahun depan. Persoalannya pemerintah pusat dan daerah belum optimal mengupayakan penurunan jumlah kasus positif tersebut. Pemerintah harus gencar membuat peta dan perbaikan strategi 3T (testing, tracing, dan treatment).

Ketika persentase masih tinggi, anak-anak tingkat SD hingga SMA tetap berpotensi terinfeksi virus. Begitu juga dengan para guru, orang tua, dan semua yang terlibat dalam lingkungan satuan pendidikan.

COVID-19 yang merupakan penyakit baru juga membuat Dicky khawatir akan memberikan efek jangka panjang terhadap anak-anak yang terdampak. “Sejauh ini secara data, Indonesia memiliki 11 persen kasus COVID-19 anak. Ini sinyal warning kebijakan sekolah harus dilihat per kasus,” ujarnya.

Pembukaan sekolah pada Januari juga riskan karena berdekatan dengan potensi kerumunan orang di masa Pilkada 2020 dan liburan.

Lost generation karena masa belajar tidak efektif jangan diganti dengan lost generation karena kerusakan kesehatan; jangan memecahkan masalah dengan menciptakan masalah,” tandasnya.

Masalah yang ia maksud adalah pembelajaran jarak jauh itu sendiri selama pandemi. Tak terhitung berapa banyak siswa yang tidak efektif belajarnya karena persoalan ketimpangan akses terhadap teknologi.

Jika pemerintah bersikeras membuka sekolah pada awal 2021, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menyarankan mereka membuat panduan komprehensif yang dibagian untuk masing-masing instansi berwenang. Tanpa panduan, dikhawatirkan pemerintah daerah dan satuan pendidikan akan gagap apabila ada kasus positif.

Isi panduan, misalnya, bagaimana melaksanakan KBM pada masing-masing zona penyebaran kasus per wilayah dan berapa persen kapasitas maksimal kelas. Lalu, kata Miko kepada reporter Tirto, Selasa, “Kalau tes sebelum buka kemudian banyak yang reaktif, apa yang dilakukan.”

Pelaksanaan KBM tatap muka tanpa upaya pencegahan yang serius sama saja mengundang klaster sekolah, kata Miko.

Selain itu, menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga Laura Navila Yamani, pemerintah juga perlu menjamin warga dalam wilayah satuan pendidikan memiliki pembekalan protokol kesehatan mumpuni. Jika bertekad membuka sekolah, pemerintah harus konsisten memantau kasus COVID-19 dan intensif memeriksa kesehatan warga satuan pendidikan secara berkala. Semua dilakukan agar menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua orang, termasuk wali murid.

Terlepas dari segala upaya pencegahan, Laura mengingatkan tentang kesadaran semua pihak menerima konsekuensi penyebaran virus di lingkungan sekolah. “Sekolah harus siap jika terjadi kenaikan kasus maka akan ditutup sementara sampai terkendali. Orang tua juga demikian jika anak-anak kembali sekolah online,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Keraguan Para Guru, Ketidaksiapan Sekolah

Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim tidak sepakat dengan opsi pembukaan sekolah dengan situasi seperti sekarang. Ia menyarankan agar KBM secara daring diteruskan sampai berakhirnya masa tahun ajaran 2020/2021. Salah satunya karena kekhawatiran terhadap kemampuan sekolah untuk melaksanakan KBM dengan menerapkan protokol kesehatan.

“Pada intinya meminta kepada kepala daerah agar sekolah jangan dibuka sampai vaksin COVID-19 sudah diproduksi dan terbukti aman dan halal,” ujar Satriwan kepada reporter Tirto, Selasa.

Lagipula menurutnya sekolah yang dibuka lagi di masa pandemi bakal membuat KBM tidak akan optimal karena sejumlah kegiatan murid dibatasi. Ini menyebabkan situasi yang tidak jauh berbeda dengan pembelajaran daring. “Guru juga tidak akan bisa mengawasi aktivitas siswa. Ini juga potensi penyebaran COVID-19 yang kami khawatirkan,” ujarnya.

Kekhawatiran Satriwan soal kesiapan sekolah wajar mengingat kebijakan serupa sempat membuat orang-orang terpapar Corona, dari mulai siswa, guru, hingga pegawai sekolah.

Ketika itu Satriwan mengkritik dengan mengatakan hak hidup dan hak sehat bagi anak, guru, dan orang tua adalah yang utama di atas segalanya.

Situasi beberapa bulan lalu itu nampaknya tak berubah. Buktinya, baru sedikit dari mereka yang mengirimkan formulir daftar periksa kesiapan, yang merupakan salah satu syarat pembukaan sekolah. Hingga beberapa hari lalu, sebanyak 57,52 persen dari 532 ribu satuan pendidikan belum mengisi formulir tersebut.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang mengawasi persiapan belajar tatap muka pada 15 Juni-19 November 2020, juga menemukan hal serupa. Dari 48 sekolah yang didatangi, hanya SMKN 11 Kota Bandung dan SMPN 4 Kota Solo yang mereka nilai mumpuni melaksanakan KBM tatap muka. Enam sekolah: SMKN 1 Manonjaya kabupaten Tasikmalaya, SMKN 63 Jakarta Selatan, SMPN 1 Kota Magelang, SMPN 7 Kota Bogor, SDN Pekayon Jaya 06 Kota Bekasi, dan SMPN 1 Kota Madiun, dianggap sudah siap namun memerlukan SOP adaptasi kebiasaan baru (AKB).

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan KPAI menyarankan pemerintah pusat dan daerah fokus memenuhi infrastruktur sekolah dan mengalokasikan dana, mengingat biaya AKB tidak sedikit. “Butuh dukungan dana dari pemerintah,” ujar Retno.

Kemudian, ia menekankan: “Kalau daerah belum siap, maka tunda dulu buka sekolah meskipun di daerah itu zonanya hijau.”

Baca juga artikel terkait BELAJAR TATAP MUKA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino