Menuju konten utama

Banyak Masalah Pemilu di Papua: Salah Kelola dan Perencanaan

Di Papua, pemilu tak berjalan mulus. Ada logistik yang terlambat, hingga--menurut keterangan polisi--surat suara direbut kelompok bersenjata.

Banyak Masalah Pemilu di Papua: Salah Kelola dan Perencanaan
Petugas KPPS menghitung jumlah surat suara sebelum pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2019 di TPS 13 Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (17/4/2019). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/aww.

tirto.id - Beberapa bulan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2019, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan Papua adalah daerah rawan. Pernyataan serupa pernah dikatakan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.

Alasan disebut daerah rawan itu beragam, mulai dari faktor geografis, politik uang, hingga keberadaan kelompok bersenjata.

Apa yang dikhawatirkan mereka menjadi nyata. Setidaknya, empat masalah muncul sebelum, saat, dan sesudah waktu pencoblosan normal, 17 April.

Sebelum pencoblosan, tepatnya pada 16 April, ada masyarakat yang ingin menggunakan sistem noken saja, meski mereka tinggal di luar 12 daerah yang diperbolehkan menggunakan sistem itu. Mereka tersebar di enam kabupaten/kota.

Sistem noken sederhananya adalah sistem perwakilan. Jadi yang mencoblos hanya kepala suku atau tetua yang mewakili kelompok. Jumlah suaranya dihitung berdasarkan berapa banyak orang yang datang ke TPS.

Komisioner Bawaslu Provinsi Papua Ronal Michael Manoa menegaskan bahwa beberapa daerah dilarang pakai sistem noken karena wilayah itu adalah "barometer wajah demokrasi di Papua." Misalnya di Kota Jayapura.

"Kami sudah tegaskan bahwa di Kota Jayapura tidak boleh ada TPS yang menggunakan sistem noken," kata Ronal, dikutip dari Antara.

Kemudian masalah lain adalah soal terlambatnya distribusi logistik. Hingga H-1 pencoblosan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak juga bisa membawa logistik ke Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Mimika, dan Tolikara.

Keterlambatan ini disebabkan masalah cuaca. Cuaca di Papua, sangat menentukan bisa atau tidaknya pengiriman karena logistik dibawa menggunakan pesawat berbadan kecil.

Hingga 17 April pukul 10.00 pagi, logistik juga belum tersedia di TPS 043 Kelurahan Argapura Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura. Bahkan sampai 12.00 siang, TPS di distrik Jayapura Selatan dan Abepura belum melaksanakan pencoblosan.

Di TPS ini pula, Gubernur Papua Luka Enembe semestinya mencoblos. Dia juga terkena imbas keterlambatan dan mengaku kecewa.

Pembakaran Surat Suara

Permasalahan lain pun muncul: pembakaran surat suara yang terjadi di dua wilayah berbeda: Tingginambut dan Nduga.

Pada 24 April 2019, beredar video pembakaran logistik Pemilu yang tersebar melalui media sosial dan aplikasi WhatsApp. Perekam menyebut lokasi pembakaran ada di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.

Dalam video itu terdengar suara seorang pria yang menyebut Pilpres 2019 adalah pilpres terburuk sepanjang sejarah. Dia mengatakan seluruh surat suara diikat dan diberikan kepada paslon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Tidak ada pilpres di desa-desa, di distrik-distrik. Semuanya surat suara diikat jadi satu oleh seorang Bupati, dikasihkan ke Bapak Joko Widodo," kata pria itu.

Namun Kasubdit Penerangan Masyarakat Polda Papua AKBP Suryadi Diaz mengatakan kepada reporter Tirto kalau yang dibakar itu adalah sisa surat yang tidak terpakai, karena penggunaan sistem noken. Jadi sama sekali tak bisa disebut kerusuhan.

"Yang tidak terpakai yang sudah terbakar itu," katanya.

Pembakaran, menurut Komisioner KPU Ilham Saputra, dilakukan panwascam dan disaksikan petugas keamanan. Dan itu legal sebagaimana diatur dalam Surat Edaran KPU RI No 667/PP.10.5/SD/07/KPU/IV/2019.

Sedangkan di Nduga, Kepala Kepolisian Resor Jayawijaya AKBP Tonny Ananda Swadaya mengatakan pada 22 April, ada kelompok bersenjata laras panjang merampas dan lantas membakar logistik pemilu.

"Mereka meminta tidak boleh ada pelaksanaan pemilu di Distrik Mebarok," katanya, mengutip Antara. "Kami masih melakukan penyelidikan," tambahnya.

Manajemen yang Buruk

Namun bagi Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi, khusus soal keterlambatan logistik, KPU tak bisa lagi beralasan karena faktor geografis atau cuaca. Baginya ini karena manajemen yang buruk.

"Wilayah Papua untuk sekarang ini bukan soal geografis lagi. Seperti Yahukimo dan beberapa daerah pegunungan, sejak 2009 lalu selalu terlambat. Bahkan 2019 ini bukan hanya wilayah pegunungan tapi juga di tengah kota seperti Jayapura. Artinya ini problemnya bukan soal geografi, tapi sudah manajemen pemilunya," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (25/4/2019) sore.

"Mesti ada perlakuan khusus untuk wilayah yang sulit diakses," tambahnya.

Komisioner KPU Ilham Saputra menyanggah kritik tersebut. Ia mengaku sudah mendahulukan pengiriman logistik ke Papua. Namun faktanya, keterlambatan masih terjadi.

Ilham pun mengaku segera mengirim tim untuk mengetahui apa yang sebetulnya terjadi.

"Kejadian Jayapura, akan kami kirimkan pengawasan," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (26/4/2019) pagi.

Ilham juga mengatakan kalau KPU sadar banyak kekurangan dari pemilu tahun ini, terutama terkait pileg dan pilpres yang diselenggarakan serentak. Yang paling menonjol tentu saja kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang hingga Kamis malam mencapai 225 orang.

"Semua aspek pemilu serentak kali ini perlu dievaluasi. Begitu, ya. Thanks," balasnya, singkat.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino