tirto.id - Bank Mandiri menargetkan pendapatan non bunga (fee based income) hingga akhir tahun ini berkisar 15-20 persen. Hal tersebut dikemukakan oleh Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmojo. Kartika sendiri mengakui target tersebut memang cukup ambisius.
Adapun pada Juni 2017 lalu tinggi rasio pendapatan non bunga Bank Mandiri terhadap total pendapatan adalah 30 persen.
Kartika pun sempat mengatakan sejumlah sumber yang dinilainya bisa menyumbangkan pendapatan non bunga untuk Bank Mandiri.
“Yang di whole sale, kita cukup dominan untuk Forex. Jenis Forex kita cukup bagus, karena memang setahun terakhir ekspor mineral mulai bagus,” ujar Kartika di Jakarta pada Selasa (19/9/2017) siang.
Selain itu, Kartika juga menyebutkan Bank Mandiri banyak memperoleh pendapatan non bunga dari transaksi kartu kredit nasabah dan pengumpulan lewat hapus buku yang dilakukan Bank Mandiri dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.
“Kita termasuk yang pertumbuhannya paling kencang,” kata Kartika lagi.
Lebih lanjut, Kartika pun membeberkan interchange fee yang harus dibayarkan Bank Mandiri kepada pihak Visa dan MasterCard setiap tahunnya. Menurut Kartika, jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah.
“Setiap kali menggesek kartu kredit berlogo Visa atau MasterCard, kami harus bayar. Jadi bank itu nggak gratis, karena setiap nasabah gesek kita mesti bayar ke belakang juga,” ungkap Kartika.
Sebelum ini, Kartika mengklaim merchant adalah pihak yang menanggung interchange fee tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kesepakatan pun berubah sehingga pihak perbankan adalah yang harus menanggung beban interchange fee kepada vendor EDC.
“Idealnya (dikenakan pada) merchant ya. Karena nasabah pasti nggak mau terpotong. Saya paham juga,” ujar Kartika lagi.
Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengaku tidak menyiapkan strategi khusus guna mendorong pendapatan non bunga dari BCA hingga akhir tahun. Tak hanya itu, Jahja mengaku tidak menetapkan target untuk rasio pendapatan non bunga terhadap pendapatan keseluruhan.
“Strategi fee based income itu asal nutup ongkos. Kami nggak cari untung dari fee based,” ucap Jahja.
Berdasarkan hitungan Jahja, setiap tahunnya BCA memperoleh keuntungan dari endapan dana sekitar Rp218 miliar. Dari besaran angka tersebut, hanya sekitar Rp15 miliar yang dianggarkan untuk memelihara mesin pembayaran uang elektronik.
“Untuk mesin EDC (electronic data capture), biaya per bulannya Rp80 miliar. Setiap tahun cuma dapat Rp15 miliar dari situ. Tapi untuk layanan tidak apa-apa lah, mau dikasih gratis juga boleh,” jelas Jahja lagi.
Kemudian saat disinggung mengenai kesiapan BCA dalam menyongsong elektronifikasi jalan tol, Jahja mengaku Flazz (uang elektronik produk BCA) sudah bisa digunakan di sejumlah gerbang tol.
“Tapi kami belum berani promosi, karena belum bisa di semua gerbang tol. Untuk gerbang tolnya, perlu didatangi satu-satu oleh tim,” ungkap Jahja.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yandri Daniel Damaledo