Menuju konten utama

Bagaimana Ilmuwan Akhirnya Bisa Memotret Black Hole?

Hasil visual yang ditampilkan oleh ilmuwan tentang black hole berasal dari proses rekonstruksi spektrum gelombang.

ilustrasi Black hole. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 1915, Albert Einstein melahirkan teori relativitas umum. Ia menegaskan gravitasi tercipta bukan karena gaya, tetapi merupakan manifestasi interaksi antara materi dengan ruang-waktu.

“Materi memberitahu ruang-waktu bagaimana cara melengkung, dan ruang-waktu memberitahu materi bagaimana bergerak,” tegas John Wheeler, fisikawan asal Johns Hopkins University, menjelaskan secara sederhana bagaimana relativitas umum Einstein tentang gravitasi.

Bagaimana bila terdapat materi super, misalnya bintang mati dan kepadatannya terkonsentrasi di satu titik volume (singularitas), berpengaruh pada ruang-waktu?

Jawabannya, ruang-waktu kemungkinan meluruh, dan lebih dari itu, apapun yang berada di sekitar materi tersebut akan terhisap, sekalipun cahaya. Selain itu, jika materi berputar cukup kencang, akan tercipta worm hole atau lubang cacing dalam ruang-waktu atau kini dikenal dengan istilah black hole.

Istilah black hole atau lubang hitam muncul pada 1967, jauh setelah kematian Einstein pada 1955. Namun, semasa hidup, Einstein sempat meragukan teorinya sendiri. Daniel Kennefick, penulis “An Einstein Encyclopedia” mengatakan pada 1920-an, melalui korespondensi dengan fisikawan Perancis, Einstein mengatakan bahwa ia ragu ada materi yang bisa mencapai titik kepadatan tanpa batas dan kemudian bisa menjebak cahaya.

Einstein bahkan menegaskan keraguannya itu dalam paper berjudul “On a Stationary System With Spherical Symmetry Consisting of Many Gravitating Masses,” yang menyatakan bahwa materi demikian “tidak meyakinkan” dan “tidak mungkin ada di dunia nyata.” Namun, keraguan Einstein justru dijawab oleh para ilmuwan setelahnya.

Pada 1930-an, sebagaimana dilansir Bloomberg, Subrahmanyan Chandrasekhar menemukan adanya bintang yang berukuran cukup besar yang dapat runtuh tanpa batas. Hingga dekade 1990-an, ilmuwan mendeteksi adanya bintang yang terjebak materi tak terlihat. Teleskop Hubble, menemukan keberadaan black hole supermasif yang terakumulasi di pusat-pusat galaksi, termasuk Bima Sakti.

Namun, secara visual kebaradaan black hole masih membuat penasaran para ilmuwan. Sampai pada akhirnya keberadaan black hole dipertegas dengan bantuan Event Horizon Telescope yang mampu memotret black hole. Hasilnya merupakan foto event horizon, jarak minimum dari black hole di mana cahaya masih bisa lepas dan direpresentasikan melalui cincin berwarna jingga terang, dan dipublikasikan pada pekan ini.

“Ini adalah sains yang benar-benar aneh, dan kini kita melihatnya,” kata Andrew Strominger, astrofisikawan asal Harvard University.

Infografik Black Hole

Infografik Black Hole. tirto.id/Sabit

Memotret “Donat”

Black hole yang sukses dipotret Event Horizon Telescope berada di pusat galaksi Messier 87 (M87), galaksi yang berjarak sekitar 54 juta tahun cahaya dari Bumi. Ukuran black hole galaksi itu kira-kira, sekitar 6,5 miliar kali massa Bintang Matahari. Ukuran black hole sama dengan sistem tata-surya Bima Sakti. Namun, karena jaraknya yang jauh itu, memotret black hole di pusat M87 tersebut sama seperti memotret sebuah donat yang berada di Bulan dari lokasi di Bumi, hanya berukuran 50 microarcseconds lebarnya jika dilihat dari Bumi.

Untuk dapat memotret objek yang begitu kecil, ilmuwan menggunakan delapan teleskop yang berada di lima benua. Dengan teknik khusus, ke-delapan teleskop itu seakan-akan menciptakan satu teleskop besar, seukuran Bumi.

“Coba tempatkan antena di manapun di Bumi. Misalnya, satu di California dan satunya lagi di West Verginia,” kata Jim Braatz, ahli astronomi dari National radio Astronomy Observatory. “Dengan kombinasi dua antena itu, kamu bisa mensimulasikan atau meniru satu antena berukuran satu negara,” jelasnya.

Memotret black hole tidaklah sama seperti memotret secara visual benda atau massa di Bumi. Teleskop yang memotret black hole hanya menangkap gelombang radio, memanfaatkan sinar-X, infrared, hingga radio, dengan teknik bernama "astronomical interferometry". Dengan teknik itu, gelombang radio dari black hole, yang hanya berukuran 1,3 milimeter, ditangkap dan diubah menjadi sinyal elektronik.

Cahaya yang ditangkap sensor kamera seperti CCD atau CMOS, memiliki gelombang radio, antara 400 hingga 700 nanometer atau 4.00 × 10-7 to 7.00 × 10-7 m. Gelombang itu berada di antara kemampuan infrared dan ultraviolet. Artinya, memotret dengan mendeteksi cahaya ataupun menangkap gelombang, sama saja.

Untuk memotret black hole yang berada di pusat galaksi M87 itu, ilmuwan melakukannya selama satu minggu penuh selama April 2017. Hasil potretannya bukan berupa file berekstensi .JPEG atau .RAW, melainkan data gelombang radio yang, menurut Dan Marrone, ahli astronomi Event Horizon Telescope, “berukuran setara dengan 5.000 tahun file .mp3.”

Selepas data diperoleh, data diproses untuk menciptakan foto black hole. Sebelum dipublikasikan, sebagaimana sebuah jurnal, dilakukan peer-review dari ahli black hole untuk memutuskan apakah foto yang dihasilkan benar-benar merepresentasikan salah satu misteri terbesar alam semesta.

“Black hole adalah objek paling misterius di alam semesta,” kata Sheperd Doeleman, Project Director Event Horizon Telescope.

Objek paling misterius itu akhirnya sukses dilihat manusia selepas usaha para ilmuwan selama dua dekade terakhir. Avery Broderick, ilmuwan Event Horizon Telescope, kemudian mengatakan bahwa "hari ini relativitas umum Einstein telah melewati tes paling krusialnya".

Baca juga artikel terkait BLACK HOLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra