tirto.id - Serial Twilight yang mengisahkan cinta terlarang antara vampir dan manusia pernah mencetak rekor sebagai novel terlaris di seluruh dunia pada 2008. Merujuk Forbes, film 365 Days yang rilis di tengah pandemi corona menjadi salah satu film yang paling banyak disaksikan di Netflix. 365 Days dengan cepat mengalahkan berbagai film lain yang sebelumnya menduduki peringkat 10 teratas dan telah rilis lebih awal. Sedangkan Fifty Shades of Grey dan Beauty and The Beast menjadi film dengan trailer yang paling banyak disaksikan.
Film-film ini tidak jarang mendapatkan respon positif dari penontonnya. Twilight misalnya, yang banyak mendapat tanggapan positif di situs web Rotten Tomatoes. Twilight mendapat rating sebesar 73% dari audiens. Artinya, setidaknya 60% pengguna memberikan rating bintang 3,5/5 atau lebih tinggi pada film atau acara TV. Twilight juga menuai banyak pujian dari penontonnya. Sedangkan Beauty and The Beast mendapat rating sebesar 80% dari audiens.
Jika ditelisik lebih dalam, film-film di atas menyuguhkan gambaran yang problematis: karakter laki-laki mendominasi karakter perempuan yang menerima dominasi tersebut. Representasi dominasi itu tak jarang juga ditunjukkan melalui tindak kekerasan—dengan kata lain, abusive relationship. Laki-laki umumnya digambarkan merasa berkuasa atas tubuh perempuan. Sementara perempuan terepresi berkat kultur yang menempatkan laki-laki selalu sebagai pihak yang lebih kuat.
Pornografi seringkali ditunjuk sebagai biang kekerasan seksual. Demikian pula film-film dengan adegan kekerasan fisik yang mengumbar kesadisan. Kekerasan dan seks yang dipertontonkan di hadapan public memang selalu mengundang perdebatan yang tiada habisnya. Orang terus membicarakannya dalam kerangka moral, agama, kepatutan sosial, hingga politik. Bagi film-film ini berlaku sistem rating sehingga anak hingga usia sekian dan sekian dilarang menonton film tertentu.
Tapi bagaimana dengan film-film arus utama yang tidak selalu menjual seks dan kekerasan, alih-alih romantika?
Normalisasi Kekerasan
Kekerasan bisa terjadi secara fisik maupun emosional. Kekerasan secara fisik terjadi ketika seseorang melukai tubuh atau fisik pasangannya secara sengaja. Di Indonesia, merujuk pada Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Pasal 6 Tentang PKDRT, kekerasan fisik didefinisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik dirasakan langsung oleh fisik, misalnya pukulan atau pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikis atau emosional disebutkan dalam Pasal 7 UU Tentang PKDRT sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Encyclopedia of Applied Psychology, Volume 1 yang disunting oleh Charles Spielberger (2004) menjelaskan kekerasan fisik sebagai perbuatan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, cedera, dan/atau gangguaan. Sedangkan kekerasan psikis merupakan kekerasan yang bisa terjadi karena isolasi, serangan verbal, ancaman yang menyebabkan ketakutan, penghinaan, dan lain sebagainya. Kekerasan psikis juga bisa terkait dengan pelecehan fisik, yaitu berupa efek yang harus dihadapi oleh korban karena pernah menerima kekerasan secara fisik.
Kekerasan bisa terjadi dalam berbagai ranah, salah satunya adalah dalam sebuah hubungan. Kekerasan dalam hubungan, termasuk hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang di dalamnya, tak jarang direpresentasikan oleh film. Bukan salah film jika memang demikian kenyataan sosial yang hendak dipotret. Yang bermasalah adalah ketika kekerasan itu dinormalisasi dan korbannya digambarkan menerima situasi tersebut. Kedua, posisi perempuan dalam banyak masyarakat di dunia masih dinomorduakan dalam kehidupan publik. Perempuan juga paling banyak menjadi korban kekerasan seksual.
Tapi, mari kembali ke film. Normalisasi kekerasan di film rupanya tentu tak hanya terkait isu gender. Pada 2015, sutradara D.W. Griffith merilis The Birth of A Nation, sebuah film rasis berlatar belakang Perang Sipil Amerika (1861-1865). Selain menggambarkan orang kulit hitam sebagai sosok kriminal, haus seks, dan kejam, The Birth of A Nation merayakan Ku Klux Klan, sebuah ormas rasis yang dikenal memusuhi warga Afrika-Amerika, Yahudi, dan Katolik. Pemutaran film itu menuai protes dan kericuhan di beberapa kota. Ketika film itu dirilis, perbudakan di AS telah berakhir selama 50 tahun. Namun, orang kulit hitam masih mengalami diskriminasi, khususnya di negara-negara bagian selatan yang menerapkan kebijakan segregasi antara kulit putih dan kulit berwarna. Terlepas dari terobosan teknis dan artistiknya,The Birth of A Nation adalah satu contoh normalisasi atas rasisme.Jika Anda menonton The Birth of the Nation pada September 2020, Anda akan menyaksikan bahwa pada masa yang tidak terlalu jauh tidak semua manusia mengutuk perbudakan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Bagaimana dengan film-film romantis hari ini?
Mari kita ambil contoh Fifty Shades of Grey. Anastasia Steele si perempuan naif dan polos, introvert, dengan kepercayaan diri yang rendah, dikisahkan bertemu Christian Grey, laki-laki yang super kaya, pebisnis yang sangat berkuasa dan pernah mengalami kekerasan di masa kecil. Mereka kemudian menjalani hubungan BDSM (Bondage, Domination, Sado-Masochism). Dalam rangka memenuhi semua keinginan Christian, Ana diminta untuk menandatangani sebuah perjanjian kontrak yang rinci dan panjang, diantaranya mengharuskan dia berolahraga empat hari seminggu dengan pelatih yang disediakan Christian (dan yang akan melapor kepada Christian tentang kemajuannya). Ia hanya menyantap makanan berdasarkan daftar yang disediakan Christian untuknya. Ia juga tidur delapan jam dalam sehari, seperti yang dijadwalkan Christian.
Ana yang polos dan belum pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya, menerima semua keinginan Christian hanya dengan sedikit negosiasi. Kuasa Christian atas Ana semakin menjadi-jadi. Ketika teman Ana memotret dirinya untuk pameran fotografi, Christian membeli semua foto Ana karena ia tidak ingin orang lain melihat Ana. Christian membeli perusahaan tempat Ana bekerja demi memastikan Ana bekerja dengan aman. Christian juga memaksa Ana untuk mengubah namanya menjadi “Anastasia Grey”, agar semua orang tahu bahwa Ana adalah milik Christian.
Ana selalu ingin membuat Christian senang, termasuk dengan menundukkan dirinya pada kekerasan verbal dan emosional sampai maut memisahkan. Karena setiap kali Ana mencoba untuk melawan, Christian akan melakukan kekerasan verbal kepadanya, menjebaknya dengan rasa bersalah, sampai Ana meminta maaf dan tunduk padanya.
Kontrol yang Christian lakukan terhadap Ana bukanlah cinta alih-alih penaklukkan. Christian tidak pernah memandang Ana sebagai pribadi, apalagi perempuan mandiri. Dia ingin Ana mematuhinya, meskipun Ana menolak untuk memasukkan kepatuhan ke dalam sumpah pernikahannya. Ana dalam hubungan ini bukan hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga emosional dan seksual. Namun, pasangan Anastasia Steele dan Christian Grey tetap digambarkan sebagai pasangan ideal yang hidup bahagia selamanya.
Perilaku kekerasan dalam hubungan ini juga terepresentasikan dalam film dengan klasifikasi semua umur, yang artinya boleh ditonton anak-anak. Beauty and The Beast adalah salah satu contohnya. Film ini bercerita tentang Belle (Beauty) yang akhirnya jatuh cinta kepada Beast (si buruk rupa) yang telah mencuri kebebasan Belle dengan memenjarakan Belle di istananya. Masih sangat banyak film maupun serial yang memiliki alur serupa dengan film-film di atas, contohnya Vampire Diary, Pretty Little Liars, The Notebook, Suicide Squads, dan lain sebagainya.
Robin Norwood dalam buku Women Who Love Too Much (1985) menyebutkan bagaimana film Beauty and The Beast meromantisasi tindak kekerasan. “Dalam dongeng, Beauty (Belle) tidak membutuhkan Beast untuk berubah. Belle menilai Beast secara realistis dan menerimanya apa adanya…. Karena sikap penerimanya itu, Beast dibebaskan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Bahwa diri Beast yang sebenarnya kebetulan adalah seorang pangeran tampan (dan pasangan yang sempurna untuk Belle) menunjukkan secara simbolis bahwa Belle akan mendapatkan imbalan yang besar ketika Belle mempraktikkan penerimaan,” ungkap Norwood.
Film sejenis di Indonesia diwakili salah satunya oleh Dilan 1990 (2018) menjadi salah satu contohnya. Ini terlihat, misalnya, dari bagaimana Dilan sebagai “panglima geng motor” dan “anak tentara” tidak akan ragu menghadapi siapapun yang dianggapnya Milea. Dari awal Dilan nampaknya juga sudah menguntit Milea sehingga bisa mengetahui hari ulang tahun hingga nomor telepon Milea. Ia bahkan datang ke rumah Milea tanpa izin. Milea pun dengan senang hati menyambut perilaku Dilan yang dianggapnya “romantis” itu. Milea berperan sebagai perempuan baik yang diharapkan bisa mengubah sifat Dilan yang notabene seorang bad boy agar menjadi lebih baik. Milea mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Dilan. Bedanya, dalam film ini, pasangan Dilan dan Milea tidak berakhir dengan cerita mereka menikah dan bahagia bersama selamanya.
Kritikus film Tirto, Indira Ardanareswari menyebut pola cerita bad boy yang menarik hati good girl ini memang sudah ada sejak tahun 1970-an. Beberapa contohnya seperti Berandal-berandal Metropolitan (1971) dan Ali Topan Anak Jalanan (1974). Pola cerita seperti itu tidak terlepas dari kebangkitan novel remaja pada 1970-an. Sebagian besar film yang diproduksi pada dekade itu memang diangkat dari novel. Pada 1990-an sendiri, pola film romantis bergeser ke film-film seks.
Film-film romantis ini menciptakan narasi yang nyaris sama: ketika perempuan menerima sikap dan perilaku laki-laki yang melakukan kekerasan kepadanya, maka laki-laki tersebut akan berubah menjadi lebih baik dan menjadi cinta sejatinya. Ketika perempuan tersebut ingin melepaskan diri, ia akan dimanipulasi secara emosional, misalnya dengan dibuat merasa istimewa. Para pelaku kekerasan membuat korbannya seolah-olah adalah hal terbaik yang ada di dunia, bahwa hanya si korban yang bisa mengubah si pelaku menjadi pribadi yang lebih baik, namun tentu saja korban harus tetap menerima dan mematuhi apa yang diinginkan oleh pelaku. Semua perilaku kasar tersebut dinilai sebagai gestur kasih sayang dan korban akan mendapat imbalan berupa hidup bahagia dengan si pelaku kekerasan.
Kekerasan dalam hubungan diceritakan sebagai tindakan yang romantis. Tindakan menguntit misalnya, dipandang sebagai hal yang wajar sebagai cara untuk semakin dekat dengan orang yang disukai. Perilaku ini diromantisasi dalam film dengan menjadikan korban dan pelaku sebagai pasangan ideal yang hidup bahagia.
Gambaran seperti inilah yang rentan diinternalisasi oleh penonton. Julia R. Lippman—seorang dosen di jurusan Komunikasi Universitas Michigan—pernah melakukan riset bersama timnya yang ditulis dalam artikel berjudul “Isn’t It Romantic? Differential Associations Between Romantic Screen Media Genres and Romantic Beliefs” (2014). Mereka meneliti 93 film RTST (bertema atau sub-tema romantis), 17 film komedi situasi yang menampilkan hubungan romantis, dan 4 reality show bertema pernikahan. Sebanyak 625 mahasiswa menjadi responden survey. Mereka menyimpulkan siaran film dan televisi dapat mempengaruhi pandangan seseorang soal percintaan dan bisamengubah perilaku seseorang dalam hubungan romantis.
Lippman, dalam studinya yang lain, “I Did It Because I never Stop Loving You: The Effects of Media Potrayals of Persistent Persuit on Beliefs About Stalking” (2015) juga menyebut soal bagaimana aktivitas mengkonsumsi media—dalam hal ini, menonton film—dapat memengaruhi keyakinan perempuan tentang perilaku menguntit. Penelitian dilakukan dengan memilih 6 film (2 film untuk setiap kategori), untuk ditonton 462 responden perempuan—dengan secara acak menjadikan 142 perempuan untuk setiap kategori film (mengontrol, menguntit dengan cara yang menakutkan, dan menguntit dengan cara yang romantis). Hasil didapat dengan menggunakan berbagai parameter penilaian. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa responden cenderung menilai perilaku menguntit sebagai hal yang biasa dilakukan, tergantung jenis film apa yang disaksikan.
Hasil riset Lippman menjadi penting jika diiringi dengan laporan-laporan kekerasan dalam hubungan.
Di Amerika Serikat, tempat Lippman meneliti, menurut data yang diunggah oleh CDC's Youth Risk Behavior Survey dan National Intimate Partner and Sexual Violence Survey (PDF) menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran biasa terjadi pada remaja setiap tahunnya. Hampir 1 dari 11 perempuan dan sekitar 1 dari 15 siswa sekolah menengah atas melaporkan mengalami kekerasan fisik dalam pacaran dalam setahun terakhir.
Sekitar 1 dari 9 perempuan dan 1 dari 36 siswa SMA laki-laki melaporkan mengalami kekerasan seksual ketika pacaran dalam setahun terakhir. 26% perempuan dan 15% laki-laki yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran sebelum mereka berusia 18 tahun.
Di Indonesia, merujuk catatan Komnas Perempuan, angka kekerasan dalam pacaran meningkat dan cukup besar, yaitu sebanyak 2.073 kasus pada 2018. Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap menempati peringkat pertama yakni 5.114 kasus. Di ranah privat/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.951 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.988 kasus), kekerasan psikis 17% (1.638 kasus) dan kekerasan ekonomi 11% (1.060 kasus).
Editor: Windu Jusuf