Menuju konten utama

AS Bekukan Aset Teroris Asal Indonesia dan Australia

AS berupaya memutus jaringan kelompok teroris internasional di Asia Tenggara dan Australia dengan membekukan aset milik para teroris.

AS Bekukan Aset Teroris Asal Indonesia dan Australia
Tragedi teror di kawasan Sarinah, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Departemen Luar Negeri dan Keuangan AS mengatakan pihaknya telah menetapkan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berkomplot dengan ISIS sebagai kelompok teroris. AS juga telah melarang warganya yang terlibat dengan jaringan tersebut dan membekukan setiap aset mereka di AS.

JAD diyakini berada di balik serangan teror di kawasan MH Thamrin Jakarta Januari 2016 lalu yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku, demikian dilansir dari ABC News, Selasa (10/1/2017).

Langkah AS itu ditempuh sebagai upaya memutus jaringan perekrutan ISIS dari Australia dan Asia Tenggara.

Pengumuman Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan itu keluar setelah polisi di Australia dan Indonesia menggagalkan rencana serangan teror yang akan dilancarkan pada musim liburan di berbagai negara. Sebagaimana diketahui Densus 88 Antiteror telah melakukan serangkaian penangkapan terhadap terduga teroris di berbagai daerah sejak 12 Desember lalu.

Departemen Keuangan mengumumkan telah memberikan sanksi terhadap dua warga Australia, baik yang sebelumnya diyakini tewas di Timur Tengah, dan dua orang Indonesia, salah satunya saat ini dipenjara di Indonesia.

Mereka di antaranya dua warga Australia; Neil Christopher Prakash alias Khaled Al-Cambodi, yang merupakan perekrut senior ISIS dan Khaled Sharrouf, petempur ISIS di Suriah dan Irak sejak 2014.

Sementara warga Indonesia, Bahrum Syah juga disebut telah mengirimkan dana untuk militan di Indonesia dari Suriah. Satu lagi Aman Abdurrahman, yang saat ini di penjara, diketahui bertugas merekrut militan ISIS.

Namun pengumuman itu tidak menyebutkan aset-aset apa saja yang dimiliki empat orang tersebut di wilayah hukum AS. Kendati demikian, langkah-langkah tersebut menunjukkan komitmen AS terhadap upaya lanjutan program anti-teror di Australia dan Indonesia.

Seperti diketahui, AS dan Australia berperan dalam meningkatkan kemampuan kontra-terorisme Indonesia menyusul pemboman tahun 2002 di pulau wisata Bali yang menewaskan 202 orang, sebagian besar orang asing.

Jaringan Teror Indonesia-Australia

Laporan AS itu sejalan dengan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia. Pada September 2016 silam, PPATK menemukan adanya aliran dana sebesar Rp88,5 miliar dari Australia ke Indonesia. Dana tersebut diduga kuat untuk membiayai aksi teror di berbagai negara.

"Negara yang pernah kirim dana ke Indonesia paling banyak dari Australia," kata Ketua PPATK M Yusuf saat rapat bersama Panitia Khusus revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/9/2016).

M Yusuf mengatakan frekuensi dana yang masuk dari Australia itu sebanyak 97 kali melalui berbagai cara baik perseorangan atau kelompok.

"Lalu negara lainnya yang juga dianggap banyak mengirimkan dugaan pendanaan terorisme ada di Brunei dengan kisaran Rp2,6 miliar. Disusul dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan dan Thailand," ujarnya.

Pemasok uang tersebut berasal dari Timur Tengah seperti Irak, Lebanon dan Turki serta beberapa nama yayasan di Indonesia. Beberapa yayasan itu membiayai para teroris untuk pergi ke luar negeri seperti Suriah menjadi "foreign terorism fighter".

"Saya tidak sebut nama yayasan, beberapa yayasan juga biayakan mereka yang berangkat ke daerah teroris di luar negeri atau yang dikenal sebagai Foreign Terorisme Fighter (FTF)," katanya.

Penyaluran dana tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti dari menggunakan sewa orang bahkan ada yang sampai menikahi dulu pasangan warga negara Indonesia. Setelah itu, kata Yusuf, sang isteri diminta untuk membuka rekening khusus guna menerima alokasi dana dugaan terorisme.

"Adapun penggunaan instrumen pembayaran terkini yang baru saat ini ada dua cara yang ditemukan PPATK," ujarnya.

Dia menilai rata-rata kini pembayarannya dengan menggunakan transaksi pembayaran virtual. Pertama dengan menggunakan instrumen global payment gateaway seperti Paypal, dan kedua, penggunaan instrumen virtual currency seperti bitcoin.

Indonesia juga menjadi bagian dari pemasok dana kepada terduga teroris ke negara lainnya. Dalam rincian PPATK, Indonesia mengirim ke Hongkong sebesar Rp31,2 miliar, Indonesia mengirim ke Filipina sebesar Rp229 M dan Indonesia mengirim ke Australia Rp 5,3 miliar.

Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Politik
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH