tirto.id - Pernikahan merupakan salah satu pilihan setiap manusia dalam menjalani kehidupan, yang salah satu tujuannya adalah untuk membina keharmonisan rumah tangga. Setiap agama memiliki makna tersendiri dalam memahami makna pernikahan, termasuk Agama Hindu.
Menurut Penyuluh Agama Hindu Non PNS, Ni Komang Diantari dan Ni Kadek Widyawati melalui laman resmi Kementerian Agama Kabupaten Klungkung mengatakan pernikahan dalam Agama Hindu merupakan tahapan berumah tangga atau Grahasta Asrama. Pernikahan dalam Agama Hindu adalah yadnya (pemujaan yang tulus) dan perbuatan dharma.
Sementara itu, menurut Lontar Agastya Parwa pernikahan adalah mewujudkan sebuah kehidupan yang disebut dengan “Yatha Sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan dharma.
Jadi, seorang yang berumah tangga (grahasta) harus benar-benar mampu dan mandiri dalam mewujudkan Dharma secara profesional, serta harus dipersiapkan oleh seorang hindu yang menempuh perkawinan.
Melansir dari laman Disbud Buleleng, tujuan perkawinan menurut Agama Hindu ialah untuk mendapatkan keturunan dan menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra yang diyakini akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Selain itu, pernikahan juga memiliki tujuan mulia yang meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra lainnya). Hal itu seperti yang tertuang dalam Kitab manawa Dharmasastra.
Upacara pernikahan dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Mekala-kalaan (natab banten) dipuput oleh orang suci dan disaksikan oleh tiga saksi yakni Bhatara Sakti, Dewa Saksi, dan Manusia Saksi.
Syarat sah pernikahan dalam Agama Hindu
Menurut ajaran Agama Hindu, sah atau tidaknya suatu pernikahan berkaitan dengan sesuai atau tidaknya persyaratan yang ada dalam ajaran Hindu. Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan, sebaiknya setiap pasangan memahami syarat sah perkawinan dalam agama Hindu terlebih dahulu.
Pernikahan dianggap sah jika memenuhi hal-hal yang sesuai dengan ketentuan hukum Hindu. Melansir dari laman Siap Nikah, di bawah ini adalah syarat sah pernikahan dalam Agama Hindu beserta penjelasannya:
1. Pengesahan pernikahan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta dan pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan hal tersebut. Pendeta harus mempunyai status kependetaan atau status Loka Praya Sraya.
2. Pernikahan dianggap sah jika kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu (agama yang sama).
3. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pernikahan dianggap sah setelah melaksanakan upacara Byakala atau upacara Mabiakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha. Demikian pula bagi umat Hindu di luar Bali, sahnya suatu pernikahan dapat disesuaikan dengan adat dan tradisi setempat.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikatan atau perkawinan.
5. Tidak memiliki kelainan seperti banci, kuming atau kedi (tidak pernah haid), dan sakit jiwa. Serta harus sehat jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur, pria minimal usia 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun. Namun, BKKBN merekomendasikan usia pernikahan perempuan minimal 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.
7. Calon mempelai tidak memiliki hubungan darah yang dekat atau sapinda.
Demikian persyaratan pernikahan dalam Agama Hindu. Akan tetapi, Jika kedua calon mempelai tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka pernikahannya dikatakan tidak sah atau gagal.
Setelah memenuhi persyaratan pernikahan secara Hindu, legalitas perkawinan berdasarkan hukum nasional juga tak kalah pentingnya supaya perkawinan mendapat kepastian hukum. Maka harus dibuatkan “Akta Perkawinan” sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Penulis: Yunita Dewi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari