Menuju konten utama

Antropolog Minta Pemerintah Melindungi Kebhinekaan

Antropolog Indonesia menyatakan delapan seruan kepada Pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga kebhinekaan. Seruan ini dibentuk setelah para Antropolog mengamati dinamika sosial politik Indonesia yang akhir-akhir ini diwarnai tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin memaksakan kehendak dan menyempitkan ruang untuk perbedaan sosial dan budaya.

Antropolog Minta Pemerintah Melindungi Kebhinekaan
Ribuan orang dari berbagai organisasi dan daerah mengikuti Parade Bineka Tunggal Ika di kawasan bundaran Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Sabtu (19/11). Parade tersebut untuk menunjukan kembali identitas bangsa Indonesia sebagai Bineka Tunggal Ika, serta untuk menciptakan suasana yang damai. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Antropolog Indonesia menyatakan delapan seruan kepada Pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga kebhinekaan. Seruan ini dibentuk setelah para Antropolog mengamati dinamika sosial politik Indonesia yang akhir-akhir ini diwarnai tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin memaksakan kehendak dan menyempitkan ruang untuk perbedaan sosial dan budaya.

Para Antropolog yang tergabung dalam “Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif” ini menyadari di negara demokrasi dan hukum seperti Indonesia, kontestasi nilai sepenuhnya dilindungi oleh konstitusi.

“Persoalannya, kebebasan berpendapat dan berserikat itu telah disalahgunakan,” kata Prof. Dr. Pascalis Maria Laksono dosen senior Jurusan Antropolog di Gedung Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (16/12/2016).

Laksono memberi keterangan Antropolog mengamati sering terlihat nilai-nilai pembedaan, pembatasan, pengucilan ditebar untuk membenturkan kelompok satu dengan yang lain. Ada pula ajakan kepada masyarakat agar merasa berhak memonopoli ruang-ruang publik, bahkan memonopoli kebenaran.

“Kita pun kerap mendengar berita tentang pemaksaan kehendak atas mereka yang dianggap berbeda,” ungkap Laksono.

Ia menambahkan selama ini telah terjadi pembiaran pada tempat-tempat ibadah yang dibakar dan dirusak, diskusi ilmiah dibubarkan, ritual keagamaan dihentikan, hak milik rakyat dirusak, rasa benci disebar luas, termasuk melalui tempat ibadah di kampung, kantor, hingga kampus perguruan tinggi.

“Semua itu terjadi di depan para penegak hukum yang seharusnya melindungi dan memberi keadilan kepada rakyat,” imbuh Laksono.

Melihat semua itu, para Antropolog, pada Jumat (16/12/2016) menyerukan delapan hal kepada pemerintah dan berbagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kebhinekaan. Delapan hal tersebut antara lain:

1. Menyerukan kepada Pemerintah agar terus melindungi keindonesiaan dengan menindak tegas sesuai hukum siapa pun yang menggunakan kekerasan dalam menggerus nilai keberagaman kita. Secara khusus diserukan kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar merangkul seluruh rakyat dalam menjalankan tugas dan meletakkan kepentingan negara dan bangsa yang beragam di atas kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Penegakan hukum harus dilakukan hanya demi Tanah Air dan atas nama Tuhan-tidak semata secara selektif dan/atau karena tekanan masa.

2. Menyerukan kepada segenap organisasi keagamaan, tokoh agama, lembaga nonpemerintah/lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan pemerhati kebudayaan agar menjaga ketenangan dan ketentraman masyarakat serta proaktif ikut merawat kebhinekaan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

3. Menyerukan kepada para elit sosial dan politik, baik formal maupun informal, agar menghentikan segala bentuk manipulasi primordial demi kepentingan politik dan kekuasaan sesaat.

4. Menyerukan kepada para pimpinan lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, agar memperkuat pengawasan internal dan menyikapi doktrinasi sektarian secara tegas. Lebih luas, semua pemangku kepentingan di sektor pendidikan perlu mempertimbangkan kembali penggunaan materi pelajaran yang menajamkan perbedaan dan mempromosikan cara hidup inklusif.

5. Menyerukan kepada warga masyarakat agar berpikir secara kritis, menjauhi fundamentalisme kebenaran dan mempelajari dengan seksama setiap persoalan bangsa. Kemampuan berpikir kritis adalah benteng agar kita tidak mudah diombang-ambingkan berbagai pihak yang menyebarkan intoleransi dan kebencian yang membahayakan kebhinekaan dan keindonesiaan.

6. Menyerukan kepara para pewarta agar menjalankan peran profesionalnya dengan mengedepankan keutuhan bangsa, nilai-nilai Pancasila, serta bersikap bijaksana dan cerdas untuk tidak menajamkan konflik horisontal dan memberi ruang bagi politik identitas.

7. Menyerukan kepada segenap anak bangsa agar menjadikan media sosial sebagai ajang untuk memperluas ruang kehidupan, bukan justru menyempitkan dengan menyebarluaskan kabar dan pendapat yang menyudutkan warga, kelompok, atau golongan lain.

8. Menyerukan pada segenap warga negara agar terus meningkatkan upaya merawat kebhinekaan secara demokratis, menyalurkan aspirasi dengan cara-cara yang menyejukkan, serta tidak memaksakan tata cara kehidupan yang spesifik di ranah publik.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SOSIAL atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh