tirto.id - Besar kemungkinan kamu pasti pernah dengar lagu milik Aerosmith, paling tidak sekali dalam hidup. Bisa di bar atau restoran. Mungkin juga di pub. Bahkan di terminal, tempat para gondes santai merokok dan mencabut janggut dengan dua keping uang logam. Aerosmith memang ada di mana-mana. Lagunya berhasil kedap waktu, menembus segala batas bernama tempat, usia, generasi.
Tentu saja Aerosmith bukan band seumur jagung.
Vokalis Steven Tyler sudah bikin band di New York sejak 1964. Dalam buku Walk This Way: The Autobiography of Aerosmith (1997), dijelaskan bahwa Tyler sejak kecil sudah cinta musik klasik berkat bapaknya, Victor Tallarico, seorang musisi sekolahan yang amat menaruh perhatian terhadap teknik bermusik.
“Aku akan duduk di bawah piano, bermain di sana, sembari mendengarkan ayahku berlatih selama dua jam. Jadi aku benar-benar menyerap Debussy, Chopin, dan Liszt. Dari sana, ikatan emosionalku dengan musik terbentuk,” ujar Tyler.
Band Tyler, The Strangeurs, cukup tenar. Sebagai drummer yang merangkap vokalis, dia punya cukup banyak penggemar, maupun kawan sesama musisi. Salah satunya adalah drummer bernama Joey Krammer. Ketika Kramer pindah ke Boston untuk belajar di Berklee College of Music, dia bertemu dengan gitaris Joe Perry dan bassist Tom Hamilton yang bermain di The Jam. Mereka sepakat bikin band, mengajak Tyler (yang ngotot harus jadi vokalis dan frontman), serta gitaris yang merupakan kawan masa kecil Tyler, Ray Tabano --pada 1971 dia diganti Brad Whitford.
Nama Aerosmith berasal dari plesetan Arrowsmith, novel karya Sinclair Lewis. Dalam biografi Perry, Rocks: My Life In and Out of Aerosmith (2014), kata aero dipilih karena Perry dan Tyler sama-sama suka hal yang berbau penerbangan, maka diambil kata yang berhubungan dengan aerodinamik.
“Setelah ngobrol lama, hanya Aerosmith yang disukai semua personel. Jadi kami pakai nama itu,” kata Perry.
Panggung pertama Aerosmith terjadi di SMA Nipmuc, Boston pada 1970. Di awal karier, mereka memainkan lagu kover milik musisi idola. Ada “Route 66”, “Train Kept a-Rolling”, juga “Rattlesnake Shake”.
Sejak awal karier mereka, tanpa mengecilkan peran personel lain, Aerosmith berpusat pada dua matahari kembar: Tyler dan Perry. Mereka ibarat Jagger dan Richard di Rolling Stones. Saling membutuhkan, tapi juga kerap menegasikan satu sama lain. Bahkan yang bikin penonton ramai di panggung pertama mereka, adalah perseteruan mereka.
Perry yang memakai ampli Marshall, merasa suara gitarnya harus disetel sekencang mungkin. Rock n roll, Bung. Namun Tyler tak suka itu, merasa sound gitar itu menutupi suaranya. Perry kerap membatin: ngapain main di band rock kalau gak boleh main dengan suara kencang? Setelah konser selesai, mereka ribut.
“Kupingku jadi budeg gara-gara soundmu!” maki Tyler.
“Ya biarin aja budeg sekalian!” balas Perry.
Aerosmith perlahan mendapat reputasi apik di kancah lokal Boston. Mereka juga kerap bermain di luar kota, apalagi setelah bergabung dengan manajemen profesional. Pada 1972, ketika sedang bermain di New York, mereka ditonton oleh Presiden Columbia Records, Clive Davis, yang tertarik dan akhirnya mengontrak mereka.
Pada Oktober 1972, Aerosmith masuk studio untuk merekam album pertama mereka. Album self titled itu dirilis pada Januari 1973. Lagu “Dream On”, yang ditulis Tyler saat masih berusia 18 tahun, jadi andalan. Lagu yang menampilkan suara rendah Tyler ini masuk di peringkat 59 dalam tangga lagu Billboard Hot 100. Lalu ada juga “Mama Kin” yang kelak dikover oleh Guns N Roses di G N’ R Lies (1988).
Aerosmith bisa dibilang baru sukses secara komersial di album ketiga, Toys in the Attic. Jack Douglas, produser Aerosmith, mengatakan bahwa band yang dia tangani ini sudah makin matang. Jam manggung mereka makin banyak. Sebagai sebuah band dan kumpulan musisi, mereka sudah ranum dan berpengalaman. Sedangkan Perry, di biografinya, menulis bahwa Toys adalah hasil dari pengulangan sebagai musisi.
“Kami mulai dari awal. Ketika menggarap album ini, kami belajar jadi musisi profesional yang merekam dengan bagus, juga menulis lagu dengan dibatasi deadline. Pada prosesnya, kami melihat apa yang bisa dicapai Aerosmith sebagai band. Karena semua personel menyumbang ide, Toys adalah pencapaian kami,” ujar Perry.
Toys menyumbangkan lagu dahsyat, “Walk This Way”, dengan riff yang lahir dari (menyitir perkataan seorang jurnalis yang pernah mendeskripsikan Perry) monyet yang diberi gitar listrik dan ampli. Liar. Kencang. Ugal-ugalan. Ketika kolektif rap Run D.M.C menggarap ulang lagu ini pada 1986 dengan diberi scratch di sana-sini, tetap saja aura rock liarnya tak hilang.
Namun seiring popularitas yang makin menanjak, juga perseteruan antara Perry dan Tyler yang makin meruncing, Aerosmith seperti berjalan di rambut dibelah tujuh. Mereka bisa jatuh kapan saja. Mereka makin kecanduan narkoba, pun mereka kelelahan dihajar tur dan konser.
Pada 1979, diawali dari perdebatan panas usai konser di Cleveland --yang melibatkan para istri dan lemparan gelas-- Perry akhirnya memutuskan cabut dari Aerosmith. Sedangkan Tyler, yang sering dilabeli egois dan megalomaniak seperti kebanyakan frontman band besar, mengatakan bahwa dia memecat Perry.
Aerosmith pincang. Meski Jimmy Crespo masuk menggantikan Perry, tetap lubang besar itu tak bisa ditambal. The Toxic Twins --julukan untuk duet Perry dan Tyler, sekaligus menggambarkan dekat namun beracunnya hubungan mereka-- tak bisa digantikan. Apalagi setelah Whitford memutuskan turut keluar pada 1981. Hasilnya, album ketujuh Rock in a Hard Place (1982) dirilis disertai kritik pedas. Bahkan majalah Rolling Stone memberikan satu bintang saja.
Ketika Perry dan Whitford kembali lagi ke Aerosmith, tak pula mereka langsung kuasa mengangkat lagi Aerosmith. Bisa dibilang penggarapan ulang “Walk This Way” adalah pemberi napas baru bagi gerombolan bocah nakal asal Boston ini. Apalagi MTV terus-terusan menayangkan video klip yang amat menghibur itu. Kolaborasi ini bisa dibilang meletakkan pondasi lahirnya rap rock atau rap metal.
Album ke-11 mereka, Get a Grip (1993) berhasil meluncurkan ulang Aerosmith di sirkuit band rock besar. Mereka berhasil bertahan di antara tren grunge yang melanda dunia kala itu. Get a Grip yang banyak menampilkan musisi lain, antara lain Don Henley dan Lenny Kravitz, berhasil terjual 20 juta kopi di seluruh dunia, menjadi album terlaris Aerosmith sepanjang masa. Album ini juga mendapat penghargaan Grammy kategori Best Rock Performance By A Duo Or Group With Vocal dua tahun berturut-turut.
Dari album ini pula, lahir lagu “Crazy” dan “Cryin’” yang legendaris, disukai nyaris semua orang. Dari mas-mas gondes hingga mbak-mbak kantoran. Dari bocah remaja, hingga mereka yang menolak tua. Diputar di terminal hingga bar mahal. Membuat Aerosmith pantas dicatat dengan tinta emas di kitab rock n roll.
Maka ketika pada 1998 Aerosmith “lahir kembali” dan dikenal generasi yang lebih muda berkat lagu “I Don’t Want to Miss a Thing” yang jadi lagu latar film Armageddon dan membuat mereka menempati posisi puncak Billboard Hot 100 untuk kali pertama, anggap saja itu bonus belaka. Di awal, Kramer juga tak suka lagu ini.
“Aku sebenarnya sudah tahu kalau lagu ini bakal jadi hits, tapi aku gak terlalu suka lagu itu,” ujarnya. “Aku pikir, lagu ini gak kami banget. Namun ketika kami memainkannya sebagai band, lagu ini dengan cepat jadi lagu Aerosmith."
Namun suka atau tidak, lagu ini memang membuka jalan bagi Aerosmith untuk menggapai pasar pendengar baru. Ketenaran lagu ciptaan Diane Warren itu juga membantu popularitas album baru Aerosmith, Just Push Play (2001), yang sebenarnya kurang disukai oleh Perry.
Aerosmith kini masih tetap aktif. Tahun 2017 mereka bikin tur Aero-Vederci Baby! Tour, yang sepertinya akan jadi tur terakhir mereka, mengingat personel mereka sudah berusia akhir kepala 6, bahkan Tyler sudah 70 tahun. Jika satu per satu dari mereka mati kelak, nama Aerosmith tetap akan tercatat sebagai salah satu band rock terbaik di dunia berkat album-album dahsyatnya dan lagu-lagu yang dikenal di seluruh dunia , bukan hanya karena "soundtrack film Armageddon."
Editor: Nuran Wibisono