tirto.id - Pada 3 Desember lalu, dunia merayakan ulang tahun ke-25 SMS, sebuah teknologi konvensional untuk berkirim pesan. Pesan pertama via SMS dikirimkan oleh Neil Papworth, pengembang aplikasi dari Sema Group, dengan memanfaatkan komputer melalui jaringan Vodafone untuk mengucapkan “Merry Christmas.”
Kini, dunia memiliki cara lain berkirim pesan. Cara itu ialah memanfaatkan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, Messenger, Line, WeChat, maupun Telegram.
Secara fitur, aplikasi pesan instan lebih unggul. Paling dasar, ia tak dibatasi jumlah karakter selayaknya SMS dengan angka keramat 160 karakter. Selain bisa dimanfaatkan untuk chit-chat, aplikasi pesan instan pun bisa dimanfaatkan untuk mengirimkan berbagai file multimedia, hal yang mustahil dilakukan SMS.
Selain itu, aplikasi seperti WhatsApp maupun Line bisa digunakan sebagai ruang-ruang diskusi khusus dalam bentuk “grup.”
Layanan grup ini jelas banyak manfaatnya, mulai dari untuk menjalin tali silaturahmi, kebutuhan pekerjaan, hingga temu kangen virtual alumni sekolah. Masing-masing aplikasi pesan instan, mewadahi bentuk grup yang berbeda-beda dengan ragam tujuan.
Setiap aplikasi memiliki aturan main berbeda untuk pengelolaan grup ini. Tak terkecuali yang dibuat di WhatsApp, aplikasi pesan yang kini dimiliki Facebook.
Yang terbaru, seperti dikutip dari The Independent, WhatsApp berniat mengeluarkan aturan main suatu grup yakni dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemegang admin. Kekuatan itu ialah fasilitas "menyumpal" mulut setiap anggotanya. Informasi fitur baru ini terdeteksi dari WABetaInfo, dalam versi beta WhatsApp pada iOS dan Android.
Pada fitur bernama Restricted Groups ini diaktifkan oleh admin, maka setiap anggota grup kemudian tak bisa mengirimkan pesan apapun di grup tersebut. Para anggota hanya bisa menerima pesan-pesan yang dikirim admin. Jika mendesak, anggota bisa meminta admin untuk mengirim pesan.
Fitur baru tersebut hanya bisa aktif selama 72 jam. Selepasnya, grup kembali ke keadaan semula. Anggota grup kembali bisa mengirimkan pesan apapun di grupnya tersebut.
Fitur tersebut, secara tak langsung, mengubah grup WhatsApp menjadi semacam kanal penyiaran. Ini menjadikan grup yang mengaktifkannya, memiliki fungsi yang mirip dengan fitur bertajuk “Channels” yang dimiliki Telegram. Mengutip laman resmi layanan milik Pavel Durov itu, Channels diartikan sebagai “layanan untuk menyebarluaskan pesan pada khalayak luas.”
Untungnya, fitur baru yang diusung WhatsApp tersebut belum bisa dimanfaatkan. Ia baru sebatas uji-coba di kalangan terbatas.
Fitur baru dalam grup WhatsApp tersebut, meskipun belum dirilis resmi, mengundang pertanyaan. Mengapa fasilitas ini dimunculkan? Padahal, grup dalam aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, umumnya dibuat dalam kerangka menjalin relasi. Romdhi, 33 tahun, salah satunya. Ia mengatakan bahwa grup-grup yang diikutinya umumnya bersifat sama rasa sama rata.
Atas sifat demikian, Romdhi, yang juga menjadi seorang admin di beberapa grup, tidak pernah memanfaatkan “kekuatan” yang dimilikinya untuk memakai fasilitas mengeluarkan anggota dalam suatu grup WhatsApp.
“Enggak pernah (mengeluarkan anggota). Artinya itu kontra dengan tujuan grup. Dalam kehidupan sehari-hari ada aja orang bermasalah dengan yang lain. Tapi kan tujuan grup untuk mengumpulkan mereka-mereka, meskipun bermasalah tetap berkumpul. Harus berkumpul dengan dinamika seperti itu,” ungkapnya.
“Grup itu sifatnya horizontal karena pertemanan, meskipun grup kantor pun sifatnya horizontal. Karena ini sharing info, jarang perintah-perintah lewat grup kantor. Perintah resmi tetap via surat. Di grup cuma sharing aja,” tambah Romdhi menerangkan.
Romdhi mengatakan bahwa ia merupakan seorang admin di lebih dari 10 grup WhatsApp. Menurutnya, admin bukanlah sosok yang “terlalu signifikan.” Admin ditunjuk “berdasarkan keaktifan dan dia bisa me-manage” grup yang dibentuk.
Admin merupakan sosok penata. Ia bertugas lebih untuk menentukan siapa yang bisa masuk atau tidak pada suatu grup guna menata grup menjadi lebih relevan. Admin, bukanlah sosok arogan yang menentukan hidup-mati para anggota sebuah grup.
Baca juga: Hapus Pesan ala WhatsApp
“Admin grup itu biasanya lebih ke menentukan siapa yang masuk ke grup itu, dia kan bisa invite orang. Misalnya ada konflik ada masalah di grup itu salah satu ada keluar, bisa diinvite balik. Kita PM (private message) untuk kenapa? Nanti kita masukin lagi,” ungkap Romdhi.
“Biasanya kita mengingatkan sih. Ada satu grup dia suka diskusi soal agnostik gitu, beberapa yang lain mungkin karena sudah terpisah lama, literasi beda, beda usia, latar belakang lain-lain, sudah sendiri-sendiri. Ketemu lagi dalam grup dengan pandangan masing-masing. Untuk kasus itu kita mengingatkan,” tambahnya.
Sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan Romdhi, Rahzi Wijaya, salah seorang admin grup yang berada di aplikasi Telegram bernama “Sejarah: Bebas” mengatakan bahwa grup yang diaturnya sangat mungkin melakukan “pencekalan” terhadap anggota-anggotanya. Ini terutama terkait dengan pelanggaran yang dilakukan si anggota atas aturan yang telah ditetapkan. Admin, dalam definisi Rahzi, merupakan sosok yang “mengatur biar tertib.”
“Kita kan punya aturan, silakan berdiskusi asal cantumkan sumber, silakan berdiskusi asal jangan saling hujat personal, SARA, dan lain-lain. Kalau enggak kita banned langsung. Kalau yang terakhir (terjadi) ini berhubungan dengan banyak simpatisan ISIS yang masuk buat SPAM, kita admin buat kebijakan. Kita banned,” tegasnya.
Berbeda dengan Romdhi yang membikin grup-grup WhatsApp sebagai saluran pertemanan teman-teman sekolahnya, grup “Sejarah: Bebas” dibentuk atas dasar hobi.
“Kita berangkat dari suka sejarah, obrolan warung kopi. Warung kopi asal ada sumbernya, jangan asal jeplak,” cetusnya.
Rahzi mengatakan bahwa grupnya tersebut kini telah memiliki 20 admin. Sebanyak 20 admin tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda, bukan cuma berasal dari kalangan sejarah. “Sekiranya (ada) SARA, admin yang lagi online langsung banned. Kita banyak admin karena itu (karena tidak semua admin bisa online),” katanya.
Baca juga:Pengembang Pesan Instan Melawan Peretas
Tentu, Rahzi dan para admin grup sejarah tersebut tak asal mengeluarkan anggota. Kebebasan berpendapat tetap mereka pegang teguh. Selain itu, dalam kasus yang samar-samar, Rahzi mengaku memiliki grup khusus yang berisikan para admin. Dalam grup khusus itu, beragam diskusi keadminan, dilakukan. Termasuk menentukan apakah si anggota layak di “kick” atau tidak.
Dalam perjalanan grup tersebut, Rahzi mengatakan selama ini dalam grupnya telah terusir lebih dari 200 anggota. Mayoritas anggota-anggota yang diusir tersebut merupakan simpatisan ISIS yang melanggar aturan.
Secara umum, kemampuan mengeluarkan anggota dalam suatu grup aplikasi pesan memang tersedia. Ini merupakan kekuatan utama yang dimiliki admin. Kekuatan tersebut bagaikan “senjata” bagi seorang admin menertibkan grup yang dikelola.
Fasilitas yang akan diusung WhatsApp untuk "membungkam anggota" grup selama 72 jam masih menjadi tanda tanya. Namun, ini jadi jalan tengah daripada seorang admin grup harus mengusir "paksa" anggotanya dari grup.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra