Menuju konten utama

Yang Luput dari Pandemi: Observasi Transgender di Sumatera Utara

Komunitas memegang peranan sentral dalam usaha transgender bertahan hidup di masa pandemi.

Yang Luput dari Pandemi: Observasi Transgender di Sumatera Utara
Ilustrasi transgender. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sebagai sebuah kelompok yang termarjinalkan dalam struktur sosial kemasyarakatan di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya, kondisi transgender kian terjepit, mengingat kelompok ini kerap luput dari pusat data penerima bantuan sosial pemerintah.

Sebuah penelitian terbaru seputar transgender dan pandemi Covid-19 di Sumatera Utara yang dilakukan sekelompok akademisi dari FISIPOL Universitas HKBP Nommensen menunjukkan beberapa temuan segar yang menarik di luar pola umum yang telah sering dijumpai di banyak daerah lain.

Dalam studi observasi yang berlangsung sepanjang medio Oktober 2021 sampai Januari 2022 tersebut, mereka menemukan indikasi keberpihakan publik yang cukup tinggi melalui skema bantuan crowdfunding, pendekatan partai politik kepada individu transgender pada masa pandemi, serta upaya membangun sistem kaderisasi dan pendidikan advokasi transgender secara bertahap lewat pengorganisasian komunitas transgender yang semakin menggeliat.

Gerakan Swadaya dan Urunan Publik

Pada masa permulaan pandemi, beberapa pihak dari lingkup internal maupun eksternal komunitas transgender Sumatera Utara sempat berinisiatif membuka kanal donasi publik yang mereka distribusikan melalui media sosial masing-masing.

Kanal tersebut, di luar dugaan, menuai respon amat positif sehingga dalam waktu kurang dari 60 hari mampu mengumpulkan total bantuan sebesar Rp71.300.000 (data laporan per 8 Mei 2020). Dana ini kemudian disalurkan kepada sedikitnya 550 orang transgender yang terhimpit akibat kehilangan pekerjaan dan peluang nafkah harian di berbagai kabupaten/kota di Sumatera Utara, antara lain Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kotamadya Pematang Siantar, Kotamadya Binjai, Kotamadya Kisaran, Kabupaten Toba, serta Kotamadya Tanjung Balai.

Tingkat persebaran penerima tampak cukup fluktuatif di antara 8 kabupaten/kota tersebut. Kota Medan menjadi penyumbang terbanyak yang mencapai 270 orang, disusul Kabupaten Serdang Bedagai (114 orang), kemudian Kabupaten Deli Serdang (77 orang). Jumlah penerima terkecil terdapat di Kota Binjai (7 orang) dan Kabupaten Toba (6 orang).

Perihal ketidakmerataan ini mungkin disebabkan oleh relasi antar teman/kolega yang terjalin di tiap daerah atau tingkat pendataan komunitas/organisasi LGBTIQ yang lebih baik di salah satu daerah dibanding daerah lain, dalam proses penyusunan daftar penerima bantuan.

Terlepas dari kekurangan teknis di lapangan, inisiatif urunan publik semacam ini merupakan terobosan inovatif yang perlu diapresiasi. Terbukti bahwa publik tidak tinggal diam menyaksikan satu demi satu individu transgender kehilangan harapan hidup di tengah ketidakpastian pandemi. Publik tetap memilih turun tangan dan menunjukkan empati mereka.

Disparitas Vaksinasi dan Pendekatan Partai Politik

Sejak awal pandemi merangsek masuk ke Indonesia, pemerintah pusat dan daerah khususnya di Pulau Jawa telah bergerak cepat menggelontorkan sejumlah besar anggaran demi mereduksi risiko negatif yang potensial terjadi. Anggaran tersebut lantas dipergunakan untuk menjalankan sejumlah rumusan kebijakan publik yang berfokus pada perlindungan sosial masyarakat terdampak secara terstruktur, sistematis, dan masif melalui beragam skema bantuan sosial serta pelayanan kesehatan, termasuk akses atas vaksinasi dan layanan kesehatan mental.

Sayangnya, mayoritas individu transgender tidak termasuk dalam data penerima bantuan dan layanan kesehatan dimaksud. Padahal Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 dengan gamblang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Baca juga: "Transgender Tak Masuk Kelompok Rentan untuk Prioritas Vaksin"

Ketakutan terhadap perlakuan diskriminatif tersirat dalam tingkat antusiasme individu transgender yang masih cukup rendah untuk mengikuti program vaksinasi seperti yang tercatat pada hasil survei yang dilakukan oleh Komunitas Cangkang Queer dengan Konsorsium CRM .

Partai politik kemudian mengintip kesempatan untuk mengokupasi ruang kosong yang timbul dari ketakutan itu. Kader-kader partai bergerak menawarkan pendampingan terkait layanan kesehatan mental sembari menyelenggarakan program vaksinasi massal gratis, bekerja sama dengan perangkat pemerintahan dan organisasi pemuda setempat.

Namun di balik inisiatif sosial itu masih terselip kepentingan politis jangka pendek: setiap penerima bantuan didorong untuk mendaftar sebagai kader partai, minimal menyerahkan identitasnya untuk dicatat sebagai simpatisan partai dimaksud.

Hasil penelitian ini merekam sebuah peristiwa menarik yang dialami seorang informan transpria bernama Bang Ade dari Tanjung Balai, dimana ia terpaksa batal menerima bantuan sosial dari partai politik tertentu akibat menolak memenuhi permintaan pengurus tingkat cabang partai tersebut untuk bergabung dalam jajaran kepengurusan ranting partainya.

Membangun Sistem Pendidikan Advokasi

Penelitian yang dilakukan Cangkang Queer dan Petrasu, sepasang organisasi transgender yang paling aktif bergerak di Sumatera Utara saat ini, menyiratkan bahwa komunitas telah memegang peranan sentral dalam usaha transgender bertahan hidup di masa pandemi.

Peran sentral tersebut lahir akibat kegagalan pemerintah menjalankan skema perlindungan sosial secara tepat guna. Tak pelak komunitas memfasilitasi bantuan taktis finansial berupa subsidi sewa tempat tinggal, mencari shelter sementara bagi mereka yang terlanjur terusir dari kos/kontrakan akibat tak mampu membayar, ongkos transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, hingga bantuan modal usaha kecil-kecilan bagi yang kehilangan nafkah harian. Salah satu mekanisme yang mereka maksimalkan adalah inisiatif kanal donasi publik di atas.

Memang ada pula entitas lain yang berkontribusi membantu individu transgender terdampak pandemi seperti rumah ibadah, LSM/NGO, hingga perkumpulan arisan ibu-ibu komplek. Namun komunitas tetap menyumbang uluran tangan yang paling signifikan. Maka berangkat dari peran sentral dan posisi strategis itu, sudah sewajarnya sebuah sistem edukasi advokasi tentang isu-isu transgender dibangun.

Infografik Nasib Transgender di Sumatera Utara

Infografik Nasib Transgender di Sumatera Utara. tirto/Tino

Menurut Gøsta Esping-Andersen pada bukunya The Three Worlds of Welfare Capitalism, suatu negara merancang struktur politik kesejahteraan berdasarkan mobilisasi kelas, koalisi politik kelas, & pola institusional yang diwariskan oleh era pemerintahan sebelumnya. Dalam kerangka kasus transgender di Sumatera Utara, ketiga faktor tersebut absen dari diskursus politik kesejahteraan yang bersinggungan langsung dengan eksistensi mereka. Akibatnya, perjuangan mereka hanya bersifat sektoral tanpa koalisi yang solid dan tak jarang lemah dalam hal mobilisasi massa. Di sisi lain, pola institusional yang terputus-putus antar rezim pemerintahan tanpa keberlanjutan yang jelas kian menyulitkan upaya advokasi kelompok transgender.

Advokasi bernilai sangat penting demi menumbuhkan kesadaran pribadi maupun kolektif terhadap pemenuhan kebutuhan dan pengutamaan aspirasi kelompok transgender. Sudah jadi rahasia umum bahwa dalam bingkai pandemi saja terdapat cukup banyak masalah kebijakan: syarat mutlak nomor induk kependudukan (NIK) demi memperoleh suntikan vaksinasi Covid-19, kepemilikan Kartu BPJS Kesehatan, akses terhadap pendampingan psikologis, hingga partisipasi individu transgender dalam kancah politik (Hartini, 2019: 208). Kemampuan mengadvokasi hingga menggerakkan solidaritas publik dengan tujuan mempengaruhi kebijakan publik yang mulai berpihak pada kelompok transgender di masa depan adalah poin yang amat krusial.

Dengan semakin komprehensifnya kualitas pendataan individu transgender yang dikembangkan oleh organisasi semacam Cangkang Queer atau Petrasu, diharapkan jangkauan pendidikan advokasi juga akan semakin luas. Dengan demikian, jumlah individu transgender yang melek terhadap konstelasi kebijakan dan dinamika politik kesejahteraan akan terus bertambah secara eksponensial hingga benar-benar menyasar seluruh area 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi