Menuju konten utama
Transaksi Janggal di Kemenkeu

Wamenkeu Klaim Tidak Tutupi Dugaan Pencucian Uang Rp189 Triliun

Wamankeu Suahasil Nazara mengklaim tidak ada data yang ditutup-tutupi satupun kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait laporan dari PPATK.

Wamenkeu Klaim Tidak Tutupi Dugaan Pencucian Uang Rp189 Triliun
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara melambaikan tangan usai bertemu Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengklaim tidak ada data yang ditutup-tutupi satupun kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait laporan transaksi mencurigakan dari PPATK. Dia menuturkan semua rapat dilakukan secara terstruktur.

Dia mengklaim semua laporan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Inspektorat Jenderal tersedia di dalam sistem Kementerian Keuangan, sehingga bisa dilakukan pemantauan satu per satu termasuk atasannya.

"Karena itu ini saya harap bisa mengklarifikasi Rp189 triliun kemarin. Ada yang bilang Rp189 triliun enggak disampaikan ke Menteri keuangan, ada yang ditutup-tutupi dari Menteri Keuangan," kata Suahasil dalam media briefing di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Suahasil menuturkan dugaan transaksi Rp189 triliun yang diungkapkan Mahfud MD berupa manipulasi soal impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu. Pada Januari 2016, pegawai Bea Cukai melakukan pencegahan ekspor logam mulia berupa perhiasan. Ternyata setelah diselidiki bukan ekspor perhiasan melainkan ingot emas atau emas batangan.

"Kemudian didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan," jelasnya.

Setelah dilakukan penghentian ekspor emas batangan tersebut, kemudian ditindaklanjuti hingga ke pengadilan dalam kurun waktu selama tiga tahun yakni 2017-2019. Dalam prosesnya, Bea Cukai kalah, dan mengajukan kasasi. Lalu Bea Cukai menang kasasi.

Selanjutnya, pada 2019 dilakukan penelitian dan pemeriksaan kembali atas permintaan terlapor. Akhirnya Bea Cukai kalah lagi, sehingga dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanan dalam peninjauan terakhir.

Suahasil menjelaskan tindak pidana pencucian uang selalu terkait tindak pidana asalnya. Ketika tindak pidana asalnya ada, maka TPPU-nya bisa mengikuti, namun jika tindak pidana asalnya tidak terbukti oleh pengadilan maka TPPU nya tidak bisa diusut atau dihentikan.

"Dalam periode 2016-2019 inilah ada berbagai macam pertukaran data yang termasuk yang dikatakan diskusi diskusi rapat-rapat yang dilakukan antara kementerian keuangan dengan PPATK yang ada nama Pak Heru disebut menerima data," ujarnya

Pada tahun 2020, Bea Cukai kembali menemukan modus yang sama. Bea Cukai menduga modus ekspor emas batangan pada tahun 2016 berlangsung lagi. Atas dasar itu, pada 2020 Bea Cukai kembali diskusi dengan PPATK, kemudian PPATK mengirimkan lagi data terkait dengan modus yang terjadi.

"Ini ditindaklanjuti melalui beberapa macam rapat sampai dengan bulan Agustus 2020 di satu rapat itu dikatakan bahwa kalau modusnya kasus 2016-2019 kita sudah dikalahkan oleh pengadilan, tindak pidana kepabeanan itu dikalahkan oleh pengadilan, modusnya sama," ujar Suahasil.

Menurutnya, dengan logika seperti itu maka pada Agustus 2020 disepakati jika tindak kepabeanannya tidak bisa ditindak, maka Bea Cukai mengalihkan untuk mengejar pajaknya, sehingga kemudian PPATK mengirimkan lagi hasil pemeriksaan atau mengirimkan data kepada DJP pada Oktober 2020.

"Dalam statement ini adalah berkaitan dengan hasil pemeriksaan PPATK, DJP telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap 3 WP. Pemeriksaan terhadap 3 WP ini dan pengawasan terhadap 7 orang WP setelah dipaparkan bahwa indikasi pelanggaran bidang kepabeanannya berdasarkan situasi modus yang sama di tahun 2019 itu dinyatakan oleh pemeriksaan kembali tidak masuk. Jadi, dikejar pajaknya dapatnya sekian," bebernya.

Sebelumnya Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), Mahfud MD mengungkap adanya pelanggaran yang dilakukan oleh anak buah Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Terutama terkait laporan dugaan kasus TPPU yang sudah diserahkan PPATK, tapi tidak sampai ke tangan Sri Mulyani.

“Sehingga saya percaya bahwa dia adalah menteri keuangan terbaik. Akan tetapi akses informasi dari bawah tidak masuk,” kata Mahfud MD dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung DPR RI pada Rabu (29/3/2023).

Dugaan pertama atas miskomunikasi antara Sri Mulyani dengan anak buahnya di Kementerian Keuangan adalah saat perbedaan laporan terkait jumlah aliran transaksi keuangan mencurigakan. Seperti transaksi mencurigakan di kalangan pegawai Kemenkeu yang disampaikan Mahfud totalnya mencapai Rp35 triliun. Namun, Sri Mulyani di Komisi XI pada Senin (27/3/2023) justru mengungkap peredaran uang di pegawai Kemenkeu hanya Rp3 triliun.

“Kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp3,3 triliun, yang benar Rp35 triliun, nanti datanya ada bisa diambil,” ungkapnya.

Selain itu, kasus di internal Kementerian Keuangan yang diduga tidak melibatkan Sri Mulyani adalah pencucian uang yang dilakukan oleh Direktorat Bea Cukai dan sempat dilaporkan oleh PPATK pada 2020. Nilai transaksinya mencapai Rp189 triliun.

"Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa oleh PPATK, diselidiki, ‘Mana kamu kan emasnya sudah jadi kok bilang emas mentah'?" kata Mahfud.

Padahal, menurut Mahfud, PPATK sudah melakukan penyelidikan atas dugaan kasus pencucian uang tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa emas mentah itu dipalsukan dokumennya yang ternyata emas produk pabrik dan memiliki selisih nilai cukai yang berpotensi merugikan negara dengan nominal yang cukup besar.

Baca juga artikel terkait TRANSAKSI MENCURIGAKAN DI KEMENKEU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin