Menuju konten utama
Kenangan Ramadan

Tikus Belanda Goreng dan Kerinduan Pada Kupat Tahu Magelang

Saat Ramadan datang, Farchan Noor Rachman selalu mengenang tembakau, long bumbung, kupat tahu, dan bajingan di desanya.

Tikus Belanda Goreng dan Kerinduan Pada Kupat Tahu Magelang
Kupat tahu blabak. FOTO/Istimewa

tirto.id - Farchan Noor Rachman selalu mengenang desanya dengan melankolis. Farchan lahir dan besar di Desa Paremono, Magelang, Jawa Tengah. Hanya berjarak 10 menit dari Borobudur. Kalau sedang masa panen tembakau, orang-orang akan sumringah. Itu artinya para warga yang sebagian besar adalah petani, punya uang untuk dibelanjakan.

"Kampung kami dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau terbaik di Magelang," ujar Farchan.

Saat Ramadan tiba, Farchan kecil dan kawan-kawan seumurannya menyiapkan long bumbung, alias meriam bambu. Saat meriam disulut pertama, itu artinya sahur sudah datang. Mereka, para bocah kecil yang berbahagia itu, akan berkeliling kampung. Menabuh semua yang bisa berbunyi riang, bedug, kentongan, panci, malah gayung.

Sore datang. Anak-anak ini akan ikut pengajian, diakhiri dengan buka bersama. Kegiatan ramai-ramai ini dilakukan setiap hari, dengan sajian berbuka yang disumbang dari setiap kepala keluarga di desa. Mayoritas warga di Paremono adalah Nahdliyin. Keluarga Farchan termasuk minoritas karena Muhammadiyah. Namun, mereka tak pernah ambil pusing soal ini.

"Kalau salat Tarawih kami ikut 23 rakaat," kata Farchan. "Uniknya, meski mayoritas warga di desa kami adalah Nahdliyin, kalau Ramadan mereka kadang mengundang mubaligh-mubaligh Muhammadiyah."

Selepas salat Tarawih, para bocah ini akan lanjut main petasan. Lalu disambung dengan tadarus, satu jus per malam.

Kampung Paremono punya reputasi tersohor soal petasan. Banyak warga yang membuat petasan sendiri setiap Ramadan. Setiap Ramadan, beberapa orang polisi datang ke kampung ini untuk razia petasan. Kadang ada kecelakaan, yang membuat satu dua pembuat petasan masuk rumah sakit. Skala ledakan petasan yang dibuat di Paremono memang mengguncang.

"Bisa bikin kaca bergetar dan alarm mobil menyalak," ujar Farchan.

Semua kegiatan menyenangkan di Paremono terpaksa ditinggalkan Farchan ketika merantau untuk belajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 2005 silam. Setelah lulus, Farchan ditempatkan di beberapa daerah. Sekarang Farchan menempati pos sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.

Di dunia media sosial, Farchan dikenal sebagai seorang penulis perjalanan. Beberapa kali Ia masuk dalam daftar penulis perjalanan berpengaruh di Indonesia. Kegiatan ini banyak Ia lakukan selepas kuliah. Sudah punya pendapatan dan waktu yang lebih longgar membuat Farchan bisa melancong dengan lebih leluasa.

Pengalaman terbarunya adalah saat pergi ke Peru, bulan lalu. Dari sana, Farchan banyak berkisah tentang warga-warga penghuni lereng Pegunungan Andes. Termasuk bangunan-bangunan bersejarah, juga makanan yang menarik.

"Kemarin mencoba cuy," kata Farchan.

infografik kenangan ramadan hidangan di meja makan farchan noor

Cuy adalah makanan asli orang Andes. Bahan utamanya adalah tikus Belanda, alias guinea pig, yang digoreng utuh hingga kering. Walau ada juga hidangan cuy yang dibakar, atau dibuat sup.

Menurut Edmudo Morales di buku The Guinea Pig: Healing, Food, and Ritual in the Andes, awalnya makanan ini hanya dikonsumsi untuk keperluan upacara dan ritual. Namun, sejak 1960-an, makanan ini mulai dikonsumsi secara luas. Cuy jadi semakin populer karena penangkaran yang mudah, selain itu tingkat reproduksinya pun amat cepat. Rasa daging tikus Belanda ini digambarkan seperti rasa daging kelinci atau ayam. Warga Peru mengonsumsi 65 juta ekor tikus Belanda setiap tahunnya.

Namun, meski sudah jauh-jauh ke Peru sekalipun, makanan kampung halaman selalu memanggil. Yang dirindukan Farchan adalah bajingan. Tak seperti bajingan yang berarti supir pedati, di Magelang kata bajingan merujuk pada jenis makanan. Singkong direbus bersama santan dan Gula Jawa dalam waktu lama, hingga singkongnya jadi empuk dan gula menjelma karamel. Ibunda Farchan biasa membuat hidangan ini ketika Ramadan tiba.

"Rasa manis gula merahnya tembus sampai bagian dalam daging singkongnya. Cocok untuk buka puasa karena rasanya manis dan mengenyangkan," kata Farchan.

Ibunda Farchan adalah komandan dapur keluarga. Setiap berbuka puasa, ada dua jenis hidangan yang selalu ada di meja makan. Pertama, adalah tahu susur, alias tahu isi. Kedua adalah sop, atau sayur bening. Isinya tergantung belanja apa hari itu. Kadang gambas, kadang bayam, dan kadang wortel. Keluarga Farchan adalah tipikal keluarga kecil yang intim dan hangat.

Berbuka puasa, mereka selalu buka bareng. Begitu pula saat sahur. Kalau pergi ke masjid pun selalu bareng. Meski begitu, Farchan mengatakan bahwa tak ada persiapan khusus ketika Ramadan tiba. Mengalir begitu saja. Kadang, keluarga ini berbuka bareng di luar rumah.

"Ayah dan ibu menjalani long distance marriage. Jadi hanya ketemu ketika akhir pekan. Kalau ayah sedang ada di rumah, biasanya kami berbuka di restoran yang ada di pusat kota."

Sejak merantau dari 2005, tak banyak perubahan yang terjadi di Desa Paremono. Yang tampak hanyalah jalanan yang sudah diaspal dan masuknya telepon seluler. Para pemuda seumuran Farchan banyak yang merantau. Namun tak banyak yang betah. Kebanyakan mereka pulang kampung setelah 2-3 tahun merantau. Mungkin bosan dengan kota yang selalu tergesa dan memaksa orang untuk selalu tegang.

Farchan sendiri masih betah di Jakarta. Setiap hari Ia berangkat dari rumahnya, di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, menuju kantor di daerah Gatot Subroto, Jakarta Selatan. KRL menjadi moda transportasi andalannya. Sesekali Farchan liburan ke Paremono di akhir pekan. Menyantap kupat tahu Blabak kesukaannya, yang memakai kecap buatan rumah.

Sebenarnya kupat tahu adalah makanan yang mudah untuk dibuat. Bahan bakunya adalah tahu kuning yang digoreng setengah matang, masih menyisakan keempukan khas tahu dan jus kedelainya yang manis-gurih. Masakan ini dibanjur kuah yang dibuat dari tumbukan kacang tanah, Gula Jawa, dan beberapa rempah. Setelah itu, kecap manis akan disiramkan di bagian atas kupat tahu.

Kupat tahu adalah makanan yang jamak ditemui di berbagai daerah di Jawa Tengah. Selain Magelang, orang Boyolali juga punya hidangan serupa. Namun, yang membedakan tentu jenis kecap yang dipakai. Nyaris setiap daerah di Jawa punya kecap manis buatan rumah yang bersifat lokal dan punya cita rasa tersendiri. Kehadiran kecap manis ini yang kemudian jadi elemen pembeda kupat tahu di Magelang dengan di daerah lain.

"Sampai sekarang belum ada kupat tahu di kota lain yang rasanya bisa menyamai lezatnya kupat tahu Blabak di Magelang," kata Farchan.

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra