tirto.id - Dua dekade lalu, demam film horor Jepang (selanjutnya J-horor) menyebar ke penjuru dunia melalui Ring (1998). J-horor besutan Hideo Nakata itu semakin naik pamornya begitu mendapat adaptasi Hollywood pada 2002. Karakteristik J-horor berupa gangguang psikologis akibat pengaruh makhluk halus yang dibawa oleh benda mati langsung menjadi pakem.
Ring pulalah yang mendorong seorang sutradara junior bernama Takashi Shimizu memulai seri Ju-On pada tahun 2000. Shimizu dalam Film Talk: Directors at Work (2007) berujar bahwa di Jepang proyeknya itu terpaksa dibuat dalam bujet dan jadwal yang sangat ketat. Shimizu baru mendapatkan kebebasan berkarya ketika ia diminta oleh produser Amerika untuk menyutradarai kembali versi remake salah satu seri Ju-On dengan judul The Grudge.
Pertama kali rilis di Amerika pada tahun 2004, The Grudge langsung mendapat sambutan dari pemerhati film horor. Di buku yang sama, sejarawan sekaligus kritikus film Wheeler Winston Dixon, mengatakan, bentuk ketegangan visual yang dihasilkan The Grudge berhasil membuat dirinya terkejut. Shimizu serta-merta dijuluki sutradara J-horor generasi baru berkat kepiawaiannya menyiratkan ancaman gaib melalui rakitan bahasa visual ketimbang menunjukannya secara langsung.
“The Grudge adalah eksplorasi ke dalam dunia supranatural yang benar-benar menegangkan dan mengerikan, sebagian besar rasa tegang itu dicapai sepenuhnya melalui sugesti, gerakan kamera, dan potongan dari satu adegan ke adegan lainnya,” tulis Dixon.
Di awal tahun 2020, The Grudge mendapatkan kesempatan reboot. Kendati masih mengambil judul yang sama, film ke-4 dari keseluruhan seri The Grudge tersebut tidak lagi dikerjakan oleh Takashi Shimizu. Adalah sutradara muda, Nicolas Pesce, yang bertanggung jawab atas berhasil atau tidaknya reinkarnasi salah satu titisan J-horor legendaris ini.
Bermain-main dengan Arwah Penasaran
Di mana ada orang tewas, di situ ada arwah penasaran yang menebar kemalangan. Kepercayaan ini sudah banyak dipakai dalam tradisi film horor Asia. Di Indonesia, tema kutukan yang berasal dari dendam hantu perempuan mencapai puncak popularitasnya ketika Suzanna memulai debutnya sebagai ratu film horor pada permulaan 1980-an.
Di Negeri Paman Sam, tema kutukan dan dendam bisa naik peringkat berkat kebangkitan J-horor. Sosok hantu penuh dendam tidak lagi hanya berdiam di satu tempat, tetapi mampu menyalurkan kutukannya melalui sebuah perangkat. Sebut saja kaset video dalam The Ring (2002) dan sambungan telephone seluler dalam One Missed Call (2008). Keduanya merupakan remake dari J-horor berjudul sama.
Pola yang dimulai dari Ring ini lantas menginspirasi The Grudge versi reboot agar konsisten bermain di wilayah yang sama. Untuk keperluan itu, sutradara dan penulis naskah Nicolas Pesce kembali mengandalkan rumah bekas lokasi pembunuhan keluarga Saeki yang menjadi ikon seri Ju-On sebagai media untuk menghantarkan kutukan.
Fiona Landers (Tara Westwood) adalah ekspatriat yang kebetulan bertugas mengawasi kediaman keluarga Saeki di Tokyo. Saat sudah merasa tidak betah akan kejanggalan rumah itu, Fiona mengundurkan diri dari pekerjaannya dan memilih pulang ke negaranya. Tanpa disadari, ia membawa serta kutukan mematikan yang berasal dari dendam hantu Kayako Saeki ke Amerika Serikat.
Hanya dalam satu malam, Fiona beserta keluarganya berakhir dalam kemalangan seperti keluarga Saeki. Setelah berhalusinasi melihat berbagai macam penampakan wajah putih pucat, kondisi psikologis Fiona menjadi kacau hingga membunuh suami dan putrinya sendiri sebelum akhirnya bunuh diri. Sequence pembuka ini ditutup dengan sebuah kalimat yang kira-kira berbunyi:
“Ketika orang mati dalam kemarahan yang kuat, arwahnya akan menghantui tempat di mana ia mati.”
Dua tahun kemudian, detektif perempuan bernama Muldoon (Andrea Riseborough) terseret ke pusaran kasus keluarga Landers setelah menemukan mayat perempuan yang membusuk dalam sebuah mobil yang terkunci. Muldoon lantas mendatangi rumah keluarga Landers hanya untuk mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang masuk ke dalam rumah tersebut akan dihantui oleh berbagai macam penampakan menyeramkan.
The Grudge mengawali babak pembukaan dengan sangat meyakinkan. Nicolas Pesce berhasil membentuk premis yang masuk akal tentang transfer kutukan keluarga Saeki dari Jepang menyeberang ke Amerika. Di sini, gangguan roh halus yang sedang marah itu bisa berpindah dan termanifestasi menyesuaikan lingkungannya. Selama ada manusia yang kejiwaannya bisa diguncang, maka di situlah ada arwah penasaran.
Motivasi Dendam yang Lemah
Elemen cerita berupa gangguan psikologis adalah sisi yang cukup menarik dalam The Grudge. Di film ini, nampak jelas upaya Nicolas Pesce mengkaitkan ancaman gaib yang berasal dari kutukan rumah berhantu dengan kondisi kejiwaan penghuninya.
Setelah keluarga Landers tewas dalam tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh sang ibu yang mengamuk, datanglah Faith Matheson (Lin Shaye) dan suaminya, William Matheson (Frankie Faison). Mereka mendiami bekas rumah Landers sampai akhirnya Faith mengalami gangguan mental, membunuh suaminya, kemudian bunuh diri.
Hal yang sama terjadi pula pada agen properti yang bernama Peter Spencer (John Cho) dan istrinya yang tengah hamil tua, Nina (Betty Gilpin). Meski tidak tinggal di rumah itu, Peter yang bolak-balik masuk ke dalam rumah belakangan juga melihat penampakan-penampakan yang berujung pada kegilaan dirinya.
Kegilaan yang sama juga hampir menimpa detektif Muldoon saat ia pertama kali masuk ke kediaman Landers. Akan tetapi, kegilaan Muldoon--yang kebetulan sudah tidak memiliki keluarga yang utuh--lebih ditampilkan dalam bentuk obsesi menguak kasus kematian serangkaian kematian misterius tersebut. Dari sini, alur cerita mulai terlihat berantakan.
Perpindahan sekuens yang maju dan mundur dengan sangat cepat dalam kurun dua tahun membuat penyelidikan Muldoon menjadi amat membingungkan. Seluruh kasus kematian yang berusaha dikuak oleh Muldoon dibawakan secara tiba-tiba dalam serangkaian flashback yang tidak berkaitan satu sama lain. Seolah The Grudge sedang memainkan tiga cerita dengan tiga pemeran utama secara silih berganti.
Karakteristik cerita non-linear memang sudah menjadi ciri khas Takashi Shimizu saat mengemas seri Ju-On. Dalam The Grudge, nampak Nicolas Pesce kepayahan mengikuti cara kerja Shimizu itu. Akibatnya, banyak yang dikorbankan di dalamnya, seperti tema dendam yang diperkenalkan sedari awal film tidak berhasil tersampaikan.
Menonton The Grudge tanpa menonton versi Shimizu untuk mendalami motivasi dendam di balik kutukan Ju-On nampaknya hanya akan membuat sebagian orang kebingungan. Di bawah arahan Pesce, kutukan rumah Landers seolah tidak tebang pilih mana manusia yang akan dijadikan sasaran dendam. Motivasi dendam itu pun mentah.
Akibatnya, The Grudge hanya nampak seperti kompilasi tragedi kematian tanpa alasan atas keluarga penghuni atau orang-orang yang berhubungan dengan rumah keluarga tersebut.
Ketimbang membangkitkan kengerian melalui visualisasi tersurat seperti yang pernah dilakukan Shimizu, The Grudge versi reboot hanya mengulang kebiasaan buruk film horor Amerika. Di dalamnya berjejal permainan spesial efek yang diulang-ulang sekadar untuk menghasilkan parade jumpscare.
Editor: Eddward S Kennedy