Menuju konten utama

Tanpa Fahri Hamzah, PKS Tak Bertaring Jadi Oposisi

Tanpa Fahri, PKS dianggap tak akan punya taji sebagai oposisi.

Kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Antaranews/Ampelsa

tirto.id - Di antara ketua umum empat partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019, hanya PKS yang tidak diundang Joko Widodo ke Istana. Mengingat pertemuan tersebut membicarakan kemungkinan mereka—Gerindra, PAN, dan Demokrat—bergabung ke koalisi pro pemerintah, maka bisa disimpulkan memang hanya PKS yang akan jadi oposisi dalam lima tahun ke depan.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan PKS “tidak pernah takut” untuk jadi oposisi, meski hanya sendiri.

“Karena kami yakin,” katanya di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (14/10/2019).

“Kami ini bukan menantang,” tambah Hidayat, “tapi logika politik adalah, demokrasi memerlukan check and balances.” Dia juga menegaskan pilihan untuk jadi oposisi adalah konsekuensi karena “tidak menang.”

Meski mengaku tidak takut, ia tetap heran dengan sikap Jokowi yang terus “tarik-tarik yang lain” untuk bergabung ke kolam yang sama. Baginya Jokowi tidak semestinya mengajak partai pengusung Prabowo-Sandiaga karena tanpa itu pun mereka sebetulnya menguasai parlemen.

Wakil Ketua MPR itu menilai alangkah baiknya Jokowi ‘memuaskan’ lebih dulu partai pengusung. Konsekuensi dari mengajak partai non-koalisi adalah mereka juga harus diberi ‘jatah’, entah menteri atau sejenisnya. Itu akan membuat alokasi untuk partai pengusung berkurang dan akhirnya, kata Hidayat, “menghadirkan kehebohan”.

Tanpa Fahri

Lima tahun terakhir, PKS memilih jadi oposisi Jokowi. Sebelumnya, di era SBY (2009-2014), PKS memang ada di pihak pemerintah—PKS menyebut Demokrat adalah partai reformis dan tidak bermental Orde Baru. Tapi salah satu kadernya bersikap sebagaimana oposisi: kerap mengkritik keras.

Kader yang dimaksud adalah Fahri Hamzah. Hal ini pernah ia akui sendiri tahun 2016 lalu.

Fahri, misalnya, pernah menyerang SBY dengan menyebutnya tidak demokratis dalam memimpin kabinet. “Kritik kami, kabinet terpecah karena kepemimpinan presiden kurang,” katanya.

Ia juga mengkritik SBY karena bukunya, Selalu Ada Pilihan, tidak sesuai antara “omongan dengan sikap.” “SBY emosi, tidak terus terang, tidak ngomong ke menteri, ke koalisi. Menurut saya enggak boleh pemimpin begitu, bermuka dua, dua kaki,” katanya.

Fahri bahkan pernah disomasi pengacara SBY Januari 2014 lalu karena dia mendesak KPK memeriksa anak SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, atas dugaan keterlibatan dalam kasus Hambalang.

Fahri membalasnya dia tidak akan minta maaf karena “tidak bersalah”.

Fahri adalah satu-satunya kader PKS yang pernah dipecat karena kritis. Bukan saat mengkritik pemerintah, Fahri Hamzah justru dipecat lantaran bersikap kritis terhadap Presiden PKS, Sohibul Imam.

Atas alasan tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan PKS “tidak akan segarang” saat mereka masih diperkuat Fahri.

Sebab, katanya kepada reporter Tirto, Selasa (15/10/2019), “sedikit sekali kader [PKS] yang kritis dan memiliki daya gedor terhadap pemerintah.”

Memang ada kader seperti Mardani Ali Sera yang dalam pilpres kemarin kerap mengkritik Jokowi. Tapi, kata Ujang, “Mardani saat ini daya kritisnya melemah.” Lagipula kualitas Mardani memang belum setara Fahri.

Pendapat berbeda diutarakan pendiri lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio. Menurutnya PKS termasuk kader yang punya sistem bagus. Dalam arti, mereka benar-benar memiliki massa riil di lapangan.

Ini adalah faktor penting agar PKS jadi oposisi yang tetap punya daya tawar meski sendiri dan tanpa Fahri.

“PKS jadi oposisi bukan melulu menggunakan cara Fahri atau Mardani yang kerap bersuara lantang di media, tapi melalui blusukan langsung, jumpa warga,” kata Hendri, Selasa.

Baca juga artikel terkait PARTAI OPOSISI atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino