tirto.id - Eh, tau gak, selain sektor pariwisata, salah satu sumber pemasukan provinsi Bali berasal dari industri anyaman bambu? Pada 2015, devisa dari yang dihasilkan industri anyaman bambu Pulau Dewata mencapai USD983.388 atau setara dengan Rp12,011 miliar.
Menurut Gerbono dan Siregar (2009: 3), anyaman bambu merupakan salah satu hasil karya seni asli Indonesia yang dikembangkan secara turun-temurun sebagai sumber penghasilan dan kehidupan rakyat.
Sebab itu, selain di Bali, produk-produk anyaman bambu juga terdapat di semua pulau seantero Indonesia. Untuk keperluan fungsional, misal, di Blora, Jawa Tengah, masyarakat akrab dengan istilah kepang, yakni anyaman bambu yang biasanya dijadikan sekat di dapur atau dinding kamar mandi. Sedangkan untuk keperluan artistik dan cinderamata, produk-produk anyaman bambu bisa didapat di sejumlah destinasi wisata, antara lain di sentral kerajinan Rajapolah, Tasikmalaya, serta di Desa Gintangan, Banyuwangi.
Selain punya nilai ekonomis, anyaman bambu juga mengandung nilai filosofis yang sarat makna. Bambu tali, bahan utama produk anyaman, akan sekadar disebut bambu tali jika tidak diolah dan dijalin satu sama lain. Dengan begitu, sebagai sebuah produk, anyaman bambu lahir dari suatu proses saling melengkapi dan menguatkan.
Filosofi demikian itulah yang melandasi keberlangsungan SRC. Dengan logo anyaman bambu dalam aksen merah dan putih, komunitas toko kelontong terbesar di Indonesia ini menggandeng masyarakat akar rumput agar #BersamaMelangkahMaju.
Ya, lebih dari sekadar toko kelontong, SRC adalah juga jaringan ritel dan komunitas paguyuban. Sejak pertama kali dibuka di Medan pada 2008, jumlah outletnya sekarang mencapai 120 ribu se-Indonesia—tujuh kali lebih besar dari ritel modern terbesar di negeri ini—sedangkan jumlah komunitasnya, yang mulai dibentuk pada 2013, mencapai 9 ribu.
“Secara berkelanjutan, SRC terus memberikan pendampingan sehinga manfaat yang tersalurkan terus berkesinambungan,” kata Markus, pemilik SRC Kiboo, Jayapura.
Lewat tagline “Dekat. Hemat. Bersahabat.”, SRC memberikan pembinaan dan pendampingan kepada para mitra, misal: edukasi penataan toko, manajemen keuangan, strategi pemasaran, hingga literasi digital lewat aplikasi AYO SRC dan Pojok Bayar. Dengan begitu, SRC telah mengubah citra dan tata kelola toko kelontong yang tadinya tradisional menjadi lebih modern dan kekinian. Suatu keharusan pada zaman serba digital seperti sekarang.
Menyadari pentingnya peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian nasional, SRC pun mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama melangkah maju demi kemajuan dan perkembangan toko kelontong maupun UMKM. Salah satu langkah konkretnya, lewat ‘Pojok Lokal”, misal, SRC menyediakan area khusus untuk menjual produk UMKM serta produk komunitas di sekitarnya.
“Satu hal yang paling kami rasakan dengan bergabung bersama SRC adalah bagaimana toko kami menjadi salah satu penggerak utama sektor ekonomi masyarakat,” kata Zaenudin, pemilik SRC Mitra Sehati, Cirebon.
Pernyataan di atas menunjukkan, keinginan SRC untuk turut berkontribusi bagi pengembangan ekonomi kerakyatan dengan menumbuhkan semangat kewirausahaan—di samping mendukung program pemerintah di sektor UMKM—sedikit banyak telah terbukti. Dengan kata lain, seperti halnya anyaman bambu, #BersamaSRC, komunitas paguyuban ada untuk saling menjalin dan menguatkan.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis