Menuju konten utama
Laporan Keuangan Garuda

Soal Laporan Keuangan, Garuda Klaim Sudah Sesuai Standar Akuntansi

Soal dugaan laporan keuangan dimanipulasi, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), pihak Garuda mengklaim tidak melanggar Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23.

Soal Laporan Keuangan, Garuda Klaim Sudah Sesuai Standar Akuntansi
sebuah pesawat jet Boeing 737 Garuda Indonesia diparkir di apron di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Indonesia. AP/ Dita Alangkara.

tirto.id - Hampir sepekan setelah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) diduga melakukan manipulasi akuntansi perihal pendapatan besar di tahun 2018.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal menjelaskan, pihak Garuda mengklaim tidak melanggar Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23 karena secara subtansi pendapatan dapat dibukukan sebelum kas diterima.

"PSAK 23 menyatakan kategori pengakuan pendapatan yaitu penjualan barang, penjualan jasa dan pendapatan atas bunga, royalti dan dividen di mana seluruhnya menyatakan kriteria pengakuan pendapatan yaitu pendapatan dapat diukur secara handal, adanya manfaat ekonomis yang akan mengalir kepada entitas dan adanya transfer of risk," jelas dia, di Jakarta Senin (29/4/2019).

Fuad menjelaskan, dengan hasil audit dari KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan yang merupakan anggota dari BDO International dan Big 5 (Five) Accounting Firms Worldwide.

Laporan Garuda dinyatakan dalam pendapat auditor telah disajikan secara wajar. Ia mengatakan, seluruh hal material ini wajar tanpa pengecualian, pihaknya yakin bahwa pengakuan pendapatan atas hasil laporan tersebut.

"Biaya kompensasi atas transaksi dengan Mahata telah sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku," kata dia.

Ia mengatakan, sebagai Big5 Audit Firm, BDO seharusnya telah menerapkan standar audit internasional.

Sementara itu, perihal transaksi layanan konektivitas dengan Mahata Aero Teknologi, Direktur Teknik dan Layanan Garuda Iwan Joeniarto menambahkan, kerja sama layanan konektivitas antara Garuda Grup dengan Mahata merupakan kerja sama yang saling menguntungkan.

Ini juga tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang untuk menunjang perkembangan e-commerce yang sangat pesat dan berkembang saat ini.

Ia mengatakan, Mahata telah didukung oleh Lufthansa System untuk kerja sama sistem on-board network. Lufthansa Technic untuk penyediaan perangkat wifi di pesawat, Inmarsat dalam hal kerja sama konstelasi satelit.

CBN dalam hal kerja sama penyediaan jaringan fiber optik, KLA dalam hal kerja sama penjualan kuota pemakaian internet dan juga dengan Aeria dan Motus untuk kerja sama penyediaan layanan penjualan iklan, untuk mendukung memberikan pelaksanaan layanan kepada Garuda Grup.

"Pada perjanjian kerja sama layanan konektivitas dalam penerbangan dan pengelolaan layanan hiburan di pesawat, terdapat dua transaksi yaitu biaya kompensasi atas penyerahan hak pemasangan layanan konektivitas serta pengelolaan in-flight entertainment, dan bagi hasil [profit-sharing] atas alokasi slot untuk setiap pesawat terhubung selama periode kontrak," kata dia.

Atas transaksi tersebut, Garuda Grup mengakui pendapatan yang merupakan pendapatan atas penyerahan hak pemasangan konektivitas, seperti halnya signing biaya pembelian hak penggunaan hak cipta untuk bisa melaksanakan bisnis di pesawat Garuda Grup.

Penjualan atas hak ini tidak tergantung oleh periode kontrak dan bersifat tetap di mana telah menjadi kewajiban pada saat kontrak ditandatangani.

"Garuda Grup tidak memiliki sisa kewajiban setelah penyerahan hak pemasangan alat konektivitas tersebut," kata dia.

Ia mengatakan, dengan pendapat hukum dari Kantor Hukum Lubis, Santosa & Maramis bahwa pembayaran kompensasi Hak pemasangan tersebut tidak serta-merta menimbulkan kewajiban Garuda Grup untuk mengembalikan Biaya Hak kompensasi yang telah dibayarkan Mahata apabila di kemudian hari terdapat pemutusan kontrak kerjasama.

Sementara itu, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo berpendapat lain terkait metode akuntansi yang disebut metode akrual.

Yakni, metode pencatatan akuntansi yang memungkinkan piutang dimasukkan sebagai pendapatan meskipun uangnya belum diterima.

Namun, tak sembarang piutang bisa dicatat sebagai pendapatan. Piutang itu harus jelas kontrak pembayaran dan penagihannya.

“Kalau misalnya 15 tahun itu diakui dalam satu tahun, pertanyaannya itu, apakah memang yang 15 tahun itu sudah diselesaikan dalam waktu setahun?” kata dia, kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Dihubungi terpisah, anggota Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan IAI Cris Kuntandi punya pandangan senada.

Menurutnya, laporan manajemen Garuda yang mencatatkan transaksi 15 tahun dalam 1 tahun buku akuntansi adalah pelaporan yang tidak wajar.

Dalam sistem pelaporan akuntansi yang wajar, sebut dia, harusnya nilai transaksi selama 15 tahun dibagi rata setiap tahunnya selama durasi kerja sama yang disepakati. Karena harus ada perbandingan yang seimbang antara pendapatan (revenue) dengan beban operasi (cost) di masing-masing tahun.

“Artinya pendapatan itu harus disebar selama 15 tahun lagi,” ujarnya.

Selain tak wajar, Cris menilai, pencatatan transaksi itu juga berpotensi menimbulkan masalah keuangan pada Garuda di masa depan. Menurutnya, karena sudah dicatat di tahun buku 2018, maka Garuda tak bisa mencatat uang masuk dari Mahata setiap tahunnya sebagai pendapatan dalam laporan keuang tahunan selama periode kerja sama.

“Risiko yang selanjutnya yaitu di tahun berikutnya nggak ada pendapatan. Yang kemudian hanya ada biaya pengeluaran saja,” sambung dia.

Dengan demikian, Garuda justru berisiko mencatat pembengkakan beban operasi dalam laporan keuangannya, namun tak diimbangi dengan catatan pendapatan lantaran pendapatan yang dimaksud sudah dicatat dalam laporan tahun 2018.

“Itu nggak bakal nyambung [laporan beban operasi dan pendapatannya], wong itu biayanya keluar dalam 15 tahun. Kok pendapatannya diakui dalam satu tahun tersebut [hanya di 2018]," jelas dia.

Mengulik lagi ke belakang, polemik laporan keuangan Garuda Indonesia berawal dari penolakan dua Komisaris Garuda yakni yakni Chairul Tanjung dan Dony Oskaria terhadap laporan keuangan tersebut.

Keduanya mengaku mencurigai sebuah transaksi yang berkontribusi besar terhadap kondisi keuangan Garuda dari rugi besar jadi untung hanya dalam 3 bulan. Transaksi yang dicurigai itu adalah Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia, pada 31 Oktober 2018.

Dari perjanjian tersebut, pendapatan GIAA dari Mahata sebesar 239,94 juta dolar AS yang diantaranya sebesar 28 juta dolar AS merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sri Wijaya Air. Menurut keduanya, seharusnya catatan transaksi itu tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018. Apalagi durasi kerjasamanya cukup panjang yakni mencapai 15 tahun.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri