Menuju konten utama
Misbar

Sebuah Vakansi yang Janggal bagi Inang

Manusia adalah semata-mata inang, dan kultur di lokasi tumbuh kembangnya dapat sewaktu-waktu berubah wujud menjadi parasit janggal nan mengerikan.

Sebuah Vakansi yang Janggal bagi Inang
Salah satu adegan Wulan (Naysilla Mirdad) dalam film "Inang" . FOTO/IDN Pictures

tirto.id - Film Inang (The Womb) bertumpu pada premis sederhana: Seorang calon ibu single parent, memutuskan tinggal bersama calon orang tua asuh janinnya hingga ia melahirkan. Namun menjelang hari istimewa tersebut, muncul rentetan kejanggalan yang membuat sang calon ibu mempertanyakan ulang keputusannya.

Premis tersebut kemudian mengantarkan penonton memasuki sebuah semesta kehidupan yang berjalan lambat, menunjukkan perpaduan paradoksal antara penetrasi teknologi dengan kepercayaan lokal, perpindahan ruang yang menyiratkan pertentangan kelas sosial, serta berisi alegori-alegori halus yang mempertautkan manusia dengan non-manusia.

Kekuatan terbesar yang terkandung dalam debut thriller sutradara Fajar Nugros ini adalah kemampuannya membuat penonton merasa tidak nyaman nyaris sepanjang durasi film. Tidak perlu segerombolan hantu dan sekuens jumpscare yang kian monoton untuk memantik kengerian, sebab teror yang konsisten jauh lebih efektif guna mengakselerasi sensasi horor.

Inang tayang perdana secara internasional dalam gelaran BIFAN (Bucheon International Fantastic Film Festival) 2022 dan berhasil menembus kategori utama “In Competition”. Sepulangnya ke tanah air, film ini langsung menyita perhatian bahkan sebelum jadwal rilis domestiknya tiba. Lantas mengapa Inang dianggap membawa nuansa segar di tengah serbuan film-film horor yang berpusat pada ‘keisengan’ makhluk-makhluk gaib/astral?

Pergulatan Klasik

Tokoh protagonis film bernama Wulan (Naysilla Mirdad) hamil di luar nikah. Dicampakkan oleh ayah biologis dari janinnya, Wulan bertekad memelihara anak tersebut. Namun, ia tak mengerti bagaimana caranya. Terdera kegalauan, Wulan kemudian menggali informasi melalui media sosial, lantas bersua dengan sebuah komunitas pendukung ibu-ibu hamil. Komunitas itu kemudian mempertemukannya dengan sepasang suami istri paruh baya, Agus Santoso (Rukman Rosadi) dan Eva Santoso (Lydia Kandou), yang bersedia menjadi calon orang tua asuh bagi sang anak.

Wulan berasal dari kelompok masyarakat kelas bawah. Ia tinggal di wilayah kontrakan yang serba bising dan berhadap-hadapan dengan tetangga yang berprofesi sebagai “perempuan panggilan”. Teman baiknya di tempat kerja, Nita (Rania Putrisari) tak berbeda jauh. Ia memilih memuaskan kebutuhan seksual bos mereka demi jaminan kepastian pekerjaan.

Maka, pilihan Wulan mencari informasi dari media sosial tanpa pikir panjang sesungguhnya merepresentasikan tendensi kelompok kelas bawah yang tidak ingin ketinggalan zaman (fear of missing out), namun kekurangan daya kritis. Kealpaan cara berpikir semacam itu tak pelak menggiring Wulan masuk dalam jebakan terstruktur dan sistematis tanpa ia sadari.

Yang menarik, ketika Wulan menjalani transisi dari kehidupan lamanya menuju pengalaman tinggal di rumah pasangan suami istri Santoso, lambat laun penonton akan menyadari bahwa disrupsi teknologi digital tak berlaku pada ekosistem anyar tersebut.

Keluarga Santoso hidup sederhana; mengandalkan bantuan mesin seadanya seraya mengerjakan hampir seluruh kegiatan mereka secara manual, memanfaatkan peralatan yang mungkin tampak usang dari sudut pandang urban, serta memberi kesan kuat bahwa mereka masih memegang nilai-nilai budaya tradisional.

Infografik Misbar INANG

Infografik Misbar INANG. tirto.id/Quita

Seiring waktu, nilai-nilai tradisional mencapai titik kulminasi. Ketika Bergas (Dimas Anggara), anak tunggal keluarga Santoso mendadak pulang tanpa pemberitahuan, ia menemukan sebuah fakta mencengangkan tentang keyakinan kedua orang tuanya terhadap mitos Rebo Wekasan. Mitos tersebut menyatakan tentang hari tertentu dalam penanggalan Jawa yang dianggap paling sial dari segala yang mengandung kesialan.

Persinggungan antara ketergantungan pada teknologi digital dengan kepercayaan yang kuat atas tatanan adat-istiadat setempat, otomatis menghadirkan pemandangan yang kontras tatkala Wulan berpindah ruang hidup.

Dan proses kelindan yang tak nyaman tersebut, kelak akan tereskalasi menjadi pergulatan aksiologis yang berpuncak pada sebuah peristiwa tragis yang mengawali rangkaian teror terhadap diri Wulan bersama janinnya.

Simbol Surealis

Selain perubahan ruang hidup secara geografis, transisi yang dialami Wulan turut mengarahkan kepada sebuah isu yang tak kalah krusial: perihal penggambaran disparitas kelas sosial.

Dari lingkungan sempit padat penduduk, penuh tekanan psikologis, dan diwarnai hiruk-pikuk perjuangan mencari sesuap nasi, kemudian beralih menjadi lahan luas nan asri, rumah besar dan jauh dari pemukiman sekitar, bernuansa tenang, serta lekat dengan kemapanan. Dari kondisi kesusahan membayar sewa kontrakan ke situasi yang serba kecukupan.

Migrasi sosial semacam ini meniupkan kembali memori film Fiksi. (Mouly Surya, 2008), saat Joko Anwar selaku penulis skenario secara cerdas menggambarkan klasifikasi ruang-ruang hidup di tiap lantai dalam sebuah rumah susun, setelah Alisha (Ladya Cheryl) berpindah dari kediamannya yang berada di ekosistem elitis.

Justru dalam lingkungan yang tenang dan stabil di kehidupan keluarga Santoso, Fajar Nugros menyajikan pilihan-pilihan kreatif yang cukup menarik guna mengenalkan rangkaian terror. Seperti, pertautan beberapa karakter dengan hewan-hewan yang menyambut dan mengiringi presensi mereka (Wulan dengan tikus, Bergas dengan cicak/tokek), imaji bayi paruh baya, desain produksi yang minim jumpscare namun tetap unsettling, hingga kemunculan sosok binatang bertanduk tak ubahnya seperti penggambaran entitas surealis serupa dalam Post Tenebras Lux (Carlos Reygadas, 2012).

Semua kejanggalan itu hadir dalam bentang mimpi (dreamscape) Wulan, tepat pasca ia resmi ditahbiskan sebagai inang, yang akan memastikan keberlanjutan eksistensi keluarga Santoso.

Memang dalam konteks bangunan narasi besar dan utuh, pergerakan antar babak yang lambat menuju klimaks mungkin diniatkan seumpama Beoning (Lee-Chang-dong, 2018), meskipun belum sepenuhnya berhasil.

Namun, harus diakui Fajar berani bermain memanfaatkan alegori seputar hubungan manusia dengan non-manusia dan secara sadar alegori itu tidak mengglorifikasi konsep “hantu” sebagaimana film-film horor tanah air pada umumnya.

Ia meletakkan Inang di atas sepasang konstruksi fondasi nan kokoh: eksplorasi lebih lanjut atas kearifan lokal Indonesia yang sangat kaya dan kasih sayang orang tua yang melampaui segala akal, kemudian ia berfokus pada eksploitasi sisi negatif dari masing-masing fondasi tersebut.

Oleh karena itu, tak lagi mengherankan bila di babak puncak penonton disuguhi oleh beragam parade kebrutalan dan irasionalitas metafisik. Berbagai kebrutalan tersebut pada akhirnya memaksa Wulan mengambil lompatan keyakinan: bahwa ia harus lebih brutal dibanding keluarga Santoso demi memastikan eksistensi diri dan keturunannya terjaga.

Pada titik ini, sensasi ontologis dari konsep posthumanisme/transhumanisme menempati sudut pandang anyar dalam film. Konsep tersebut sejatinya mendorong amplifikasi dan intensifikasi atas kualitas peradaban manusia, namun kali ini dalam posisi terbalik.

Alih-alih mengejar improvisasi kehidupan melalui perkembangan teknologi, sains, daya pikir kritis, Inang menyatakan bahwa amplifikasi dan intensifikasi dimaksud dapat tercapai melalui prinsip untuk kembali mengagungkan budaya tradisional, yang sesungguhnya mengikat jiwa setiap manusia yang lahir dalam sebuah siklus tanpa pangkal dan ujung.

Manusia adalah semata-mata inang, dan kultur di lokasi tumbuh kembangnya dapat sewaktu-waktu berubah wujud menjadi parasit janggal nan mengerikan.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA 2022 atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Mild report
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi