Menuju konten utama

Riset PPIM UIN Soal Radikalisme Diprotes Perkumpulan Homeschooler

Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) khawatir masyarakat akan men-generalisir homescholing untuk penyebaran radikalisme.

Riset PPIM UIN Soal Radikalisme Diprotes Perkumpulan Homeschooler
Ilustrasi homeschooling. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) Ellen Nugroho menyampaikan bahwa dirinya khawatir bila masyarakat menggeneralisasi masalah intoleransi atau penyebaran paham radikalisme melalui sekolah rumah (SR) atau homeschooling di Indonesia.

Hal ini ia utarakan selepas adanya publikasi riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (PPIM UIN). Dalam riset tersebut menunjukan tentang SR yang menjadi celah untuk menyebarkan paham radikalisme dan intoleransi kepada anak-anak.

"Kami keluarga homeschooler tidak sepakat jika dikatakan homeschooling menjadi pintu masuknya paham radikalisme. Kami, terutama yang tergabung dalam PHI, setia kepada Pancasila. Pasalnya, penelitian terhadap segelintir orang tersebut justru menyebabkan generalisasi terhadap seluruh homeschooling," ungkap Ellen dalam konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, pada Selasa (3/12/2019).

Ellen pun menyayangkan adanya stereotip dan prasangka negatif dalam pernyataan Project Manager PPIM UIN. Dalam sejumlah berita yang dibaca Ellen, dikatakan bahwa orang yang memilih homeschooling adalah orang-orang yang dikucilkan secara sosial.

“Kami menyebutnya prasangka karena tidak ada basis penelitiannya. Justru menurut riset, yang memilih untuk HS umumnya adalah orangtua berpendidikan tinggi, penuh perhatian pada pendidikan anaknya, dan berkomitmen mengoptimalkan potensi anak. Tentang sosialisasi, orangtua homeschooler berkeyakinan bahwa sekolah buka satu-satunya tempat bersosialisasi,” ungkap Ellen.

“PHI menolak klaim Project Manager PPIM UIN, dalam berita, bahwa anak yang tidak sekolah formal lebih besar potensinya untuk terkena paham radikalisme. Riset-riset terdahulu menunjukkan bahwa anak yang belajar di sekolah formal atau lembaga pendidikan nonformal pun rentan terpapar sikap intoleran dan radikalisme dengan persentase yang juga signifikan,” lanjutnya.

Namun, Ellen juga menyampaikan bahwa PHI mengapresiasi penelitian yang dilakukan oleh pihak UIN mengenai SR. Pasalnya, ungkap Ellen, masih sedikit penelitian dan masukan dari bidang akademisi mengenai SR.

“PHI berharap ke depannya makin banyak akademisi yang meneliti soal HS dan menginformasikan hasil risetnya ke publik. Catatannya, para peneliti perlu sangat cermat melakukan riset literatur tentang isu HS ini, khususnya aspek sejarah, filosofi, dan metode HS, karena saat ini banyak salah kaprah pemahaman yang beredar tentang HS, baik di antara pejabat pemerintah maupun masyarakat,” jelas Ellen.

Terkait dengan masalah radikalisme, Ellen meminta agar pemerintah dapat memperhatikan dan menyelesaikan ke akar-akarnya. Pasalnya, paham radikalisme atau intoleransi tidak sebatas disebarkan melalui instansi pendidikan, tetapi juga melaui banyak “pintu”.

“Kami berharap pemerintah merumuskan satu langkah yang sistematis untuk menangani radikalisme, sehingga penyelesaiannya sampai ke akar-akarnya. Sehingga, jalur pendidikan tidak akan menjadi jalur masuknya intoleran atau radikalisme,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika