Menuju konten utama

Rindu Suara Azan dan Kolak di Negeri Sakura

Jepang menjadi salah satu negara yang menjunjung tinggi keyakinan seseorang. Mereka menghormati setiap muslim yang berpuasa.

Rindu Suara Azan dan Kolak di Negeri Sakura
Ilustrasi Puasa Di Negeri Sakura. FOTO/Quita

tirto.id - "Apa yang membuatmu kangen puasa di Indonesia?" tanya saya kepada Nina.

"Suasananya, yang paling ngangenin. Karena di mana-mana suasananya kan Ramadan banget."

“Puasa panjang, sepi, enggak ada azan dan lagu-lagu religi.”

Nina menceritakan kisahnya menjadi seorang muslim, sebagai kelompok minoritas di negeri sakura.

“Di sini orangnya sopan-sopan, tidak ada yang memandang remeh muslim.”

Ini adalah tahun kedua bagi Nurina Pratiwi Gumay, bersama suami dan dua anaknya menjalani ibadah puasa di Kota Tokyo, Jepang. Awalnya kata Nina, tahun pertama menjalani puasa bikin ia kaget. Puasa di negeri itu lumayan panjang, dimulai sejak pukul 02.30 pagi hingga pukul 19.00 malam. Sebab kata Nina, Tokyo dan Jakrta memiliki perbedaan waktu selama dua jam. Namun di tahun kedua ini, ia mulai terbiasa dengan lamanya waktu berpuasa.

“Kalau tahun lalu, soal waktunya, jadi berasa buru-buru banget dan inginnya cepat tidur biar enggak kesiangan sahur,” kata Nina.

Tidak ada yang dikhawatirkan dari Nina menjadi seorang muslim dan hidup di Jepang. Meski muslim menjadi minoritas di sana, namun teman-temannya, yang berkewarganegaraan Jepang sangat menghormati kepercayaan yang ia anut. Apalagi kata dia, di Jepang banyak komunitas muslim, baik perantauan Indonesia maupun para pelajar yang sedang melakukan studi di sana. Setidaknya ada tiga komunitas muslim di negeri sakura itu yang ia ketahui dan aktif melakukan kegiatan.

Pertama, Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII). Kedua, Organisasi Perkumpulan Keluarga Pasangan Muslim/ Muslimah Indonesia yang menikah dengan orang Jepang (FGA), ketiga, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Saban minggu, di setiap wilayah selalu digelar pengajian baik ibu-ibu dan anak-anak dari keluarga muslim Indonesia. "Tiap wilayah ada kelompok pengajiannya, kaya di tempat gue, ada kelompok pengajian Ayase (PM Ayase)," tutur Nina. Ayase merujuk sebuah distrik di Kota Tokyo, yakni Adachi-ku.

Infografik Puasa Di negeri Sakura Kenangan Ramadan

Melepas Kangen Bersama Komunitas

Untuk melepas kangen suasana Ramadan di Indonesia, saban seminggu sekali, setiap hari Sabtu, Nina dan muslim asal Indonesia lain yang tinggal di Tokyo, selalu berkumpul untuk buka puasa bersama. Mereka melakukan itu di kediaman, Yazid, seorang muslim asal Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di negeri sakura bersama keluarganya. Saban minggu, rumah Yazid menjadi pelampiasan rasa rindu muslim Indonesia yang tinggal di Jepang.

Tidak hanya ketika Ramadan, menjelang hari raya, rumah Keluarga Yazid juga menjadi markas muslim Indonesia yang tinggal di Kota Tokyo untuk saling silaturahmi ketika hari lebaran. Pada malam takbiran, mereka menyiapkan makanan khusus yang dimasak secara bergotong royong. Siangnya mereka kembali berkumpul di rumah Yazid untuk saling bersilaturahmi dan kemudian baru ke kantor KBRI untuk ikut bergabung silaturahmi sesama orang Indonesia.

“Setiap Sabtu, ada jadwal buka puasa bareng di rumah Pak Yazid,” tutur Nina.

Untuk melepas kerinduan Ramadan di tanah air, Nina pun menyiasatinya dengan memasak sendiri. Namun, membuat kolak di Jepang tak semudah dengan Indonesia karena sulitnya mencari bahan-bahan masakan seperti pisang. Untuk menyiasatinya, kadang Nina menggunakan pisang yang tersedia dengan mudah sunpride atau ambon untuk dijadikan kolak. Tentu saja rasanya jauh berbeda. "Susah nyari pisang uli, tanduk dan lain-lain. Jadi pakai pisang yang biasa dimakan aja, kaya pisang ambon," ujar Nina.

Satu hal yang menyulitkan berpuasa di Jepang adalah minimnya masjid yang biasa menyiarkan azan. Aplikasi di telepon genggam pun menjadi andalan.

Nina sekali lagi menyatakan bahwa meski Muslim ada kelompok minoritas, mereka tidak pernah mengalami diskriminasi. "Memang banyak yang enggak mengerti kalau muslim puasa, tetapi mereka bertanya dan kita menjelaskan alasannya. Mereka paham," jelasnya.

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti