Menuju konten utama

Resolusi Gagal, Penelitian: Manusia Memang Sulit Melihat Masa Depan

"Secara neurologis, kita berpikir tentang masa depan sama ketika kita sebagai orang asing," jelas Hal Hershfield

Ilustrasi perempuan karir. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tahun baru 2019 segera tiba, beberapa orang akan mulai merencanakan apa yang akan menjadi resolusi mereka di tahun yang baru. Namun tidak jarang resolusi yang telah dibuat tersebut hanya menjadi wacana saja. Ia direncanakan di awal, namun tidak pernah diwujudkan. Namun begitu, kita tetap tidak pernah berhenti membuatnya.

Mengapa manusia punya kecenderungan untuk tetap membuat resolusi meski terus gagal?

Merayakan tahun baru adalah tradisi tahunan yang berasal dari zaman Romawi Kuno. Peristiwa ini merupakan pengingat bahwa manusia tidak bisa berhenti memercayai permulaan yang baru. Selain alasan sejarah ada penelitian yang menjelaskan, membuat resolusi merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh pikiran kia.

Penelitian berjudul Future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice menjelaskan, orang yang melihat atau merencanakan sesuatu tentang dirinya di masa depan bisa dibayangkan seperti sedang melihat orang asing dan berjalan makin jauh.

Dengan bantuan pemindaian fMRI, penelitian menemukan bahwa di area otak orang yang mengasosiasikan pemikiran tentang diri mereka saat ini berbeda dengan mereka yang memproses informasi tentang diri mereka di masa depan.

Area otak yang berhubungan dengan rencana diri di masa depan ini adalah area yang sama dengan pikiran tentang orang asing.

"Secara neurologis, kita berpikir tentang masa depan sama ketika kita sebagai orang asing," jelas Hal Hershfield, penulis penelitian tersebut.

Dalam penelitian lain, Hershfield meminta mahasiswa melihat foto mereka di masa depan lengkap dengan berbagai teknologi. Para siswa ini mengembangkan lebih banyak empati untuk diri mereka di masa depan, dan sebagai hasilnya mereka cenderung menunda-nunda mengerjakan tugas sekolah dan belajar untuk ujian.

Tetapi, lanjut Hersfield, membuat diri kita di masa depan terasa seperti orang asing sebenarnya dapat membantu kita mencapai hal-hal di masa sekarang.

Dilansir Popular Science, Tim Pychyl, seorang psikolog di Universitas Carleton di Ottawa menjelaskan, ada satu alasan yang jelas mengapa sebagian besar resolusi gagal, yaitu kita biasanya fokus pada tujuan atau tugas yang belum dapat kita capai selama setahun terakhir.

Hal buruk lainnya tentang resolusi tahun baru, kata Pychyl, adalah hanya membuatnya dan tidak pernah melakukan tindakan. Pikiran sederhana ini adalah bagian dari kondisi untuk memuaskan kepuasan instan kita. Kita hanya menulisnya dan kita merasa tidak benar-benar harus keluar dan melakukan tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu.

“Mereka membuat resolusi sekarang, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Dan orang-orang menyukai hal itu,” kata Pychyl.

Fenomena tentang apa yang kita rasakan pada saat ini yang digunakan untuk memprediksi bagaimana perasaan kita di masa depan ini disebut peramalan afektif.

“Dan itu masuk akal. Ketika Anda membuat resolusi Tahun Baru, Anda merasa senang tentang hal itu pada saat itu, sehingga Anda memperkirakan bahwa Anda akan merasa senang dan baik akan hal itu di masa depan. Tetapi ketika Anda benar-benar pergi untuk melakukan resolusi itu, tindakan itu sendiri tidak membuat Anda merasa baik (atau setidaknya tidak sebaik duduk di sofa). Jadi Anda menundanya. Manusia secara tak terduga memang irasional,” jelasnya.

Bahkan ketika kita berusaha mengatasi agar resolusi kita berjalan sesuai rencana, sesuatu yang sedikit lebih kuat mengambil alih otak kita, yaitu kekuatan kebiasaan.

Secara sederhana, kebiasaan adalah koneksi neuron yang bekerja bersama yang bermanfaat bagi kita dari waktu ke waktu. Semakin kita menjalankan perilaku kebiasaan, semakin kuat koneksi neuron di otak kita.

Penting untuk mengetahui ini masuk ke resolusi Tahun Baru kita. Dengan memahami apa yang terjadi di otak kita, kita memiliki peluang lebih baik untuk mengendalikannya.

Kuncinya, menurut Pychyl adalah melonggarkan koneksi antara neuron yang membentuk kebiasaan ini. Salah satu caranya melalui perhatian.

Cara ini mengajarkan untuk melihat dunia dan emosi dengan cara yang tidak biasa.

Kita sering mengasosiasikan perilaku atau tindakan tertentu seperti berlari, makan sehat, atau bahkan membersihkan gigi dengan pikiran negatif. Seiring waktu, koneksi ini semakin kuat dan hubungan antara keduanya menjadi otomatis. Jadi, lepaskan emosi itu dan buat lebih mudah untuk melakukannya.

Tetapi kebiasaan buruk butuh waktu lama untuk dihilangkan, dan perhatian bisa memakan waktu lebih lama untuk dikuasai. Untuk mendapatkan lompatan awal, Pychyl menyarankan orang untuk mengambil satu langkah nyata untuk mewujudkannya pada satu waktu.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN TAHUN BARU atau tulisan lainnya dari Febriansyah

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Febriansyah
Editor: Yulaika Ramadhani