tirto.id - Elsa Restriana melewati Ramadan tahun ini untuk kali pertama di negeri orang. Sejak Maret 2017, ia tinggal di Adelaide, sebuah kota di selatan Australia. Elsa sedang mengikuti short course di Flinders University, salah satu kampus di kota itu.
Di hari ke dua Ramadan, salah satu temannya dari Mongolia ulang tahun. Lalu ada kue ulang tahun. Sang teman menolak untuk memotong kue itu setelah berdoa dan meniup lilinnya. Sebelum kejutan kue ulang tahun diberikan, teman dari Mongolia itu mengetahui bahwa ada enam orang temannya yang menjalankan ibadah puasa. Dia menolak memotong kue dan memakannya di hadapan teman-temannya itu.
Elsa lalu meyakinkan bahwa tidak masalah bagi mereka yang berpuasa, melihat orang lain makan di depannya. Elsa terus meyakinkan bahwa ia dan teman-temanya yang berpuasa akan baik-baik saja. Ada 15 orang di kelas itu dan enam orangnya menjalankan puasa.
Setelah berulang kali diyakinkan, sang teman yang berulang tahun akhirnya memotong kuenya, lalu membagikan kepada mereka yang tak puasa. Elsa bisa merasakan, teman-temannya memakan kue itu dengan rasa sungkan. Berulang kali ia mendapat permintaan maaf.
“Mereka makan kue di depan kalian. Apa kalian baik-baik saja?” tanya seorang pengajar yang hadir di perayaan sederhana itu kepada Elsa.
Di hari-hari berikutnya, perlakuan istimewa kembali dia rasakan. Beberapa pengajar bahkan memberikannya keringanan tugas. Bagi Elsa peristiwa seperti itu mengharukan sekaligus menciptakan tantangan. Di satu titik, dia merasa reaksi tersebut agak berlebihan. Dia harus bisa menjelaskan kepada teman-temannya tentang apa itu puasa.
“Kebanyakan mereka belum paham. Mereka mikirnya puasa itu bikin kita benar-benar tersiksa. Padahal, puasa di Adelaide jauh lebih enteng,” ujar Elsa, Sabtu (10/6).
Beberapa dosennya bahkan ada yang tak paham soal puasa. Pernah satu saat ia datang ke rumah seorang pengajar. Elsa diberi hidangan kue, ia pun menolak memakannya karena alasan puasa. Si dosen mengira Elsa tak menyukai kuenya dan sempat sedikit tersinggung. Setelah dijelaskan panjang lebar baru lah ia paham.
Adelaide adalah ibu kota Australia Selatan sekaligus menjadi kota terbesar di negara bagian itu. Luas areanya 3.257,7 km2 dengan penduduk hanya 1,33 juta pada 2016. Bandingkan dengan Jakarta yang luasnya hanya 661,5 km2 tetapi dihuni lebih dari 10 juta jiwa.
Di kota itu, Elsa yang sebelumnya tinggal dan bekerja di Jakarta, merasa lebih tenang dan damai. Apalagi Ramadan di Australia tahun ini bertepatan dengan musim dingin. Jadi, udaranya tidak terik dan waktu puasanya jauh lebih singkat, hanya 11 jam. Ramadan tahun ini, Australia termasuk dalam daftar negara-negara dengan waktu puasa paling singkat. Puasa paling singkat dirasakan umat Muslim di Argentina, hanya sepuluh jam saja.
Selama Ramadan, Elsa sahur sekitar pukul 5.45 pagi dan berbuka pukul 5.11 sore. Dibandingkan dengan Indonesia, waktu puasa yang dijalaninya di Adelaide lebih singkat.
Mencari Daging Halal
Di Australia, harga daging sapi jauh lebih murah dari harga ikan. Daging sapi di sana bahkan lebih murah dari Indonesia. Namun, bagi penganut agama Islam, tak mudah mencari daging sapi halal. “Sapi kan memang halal? Yang haram kan babi?” pertanyaan seperti ini terkadang muncul. Namun, umat Islam meyakini, hewan yang tidak disembelih dengan tata cara benar sesuai dengan syariat Islam maka dagingnya haram.
Selama di Adelaide, Elsa jarang sekali membeli makan di luar rumah. Dia selalu menyempatkan diri untuk memasak. Untungnya, di Adelaide ada Central Market yang menjual daging halal. “Jadi memang yang jual orang Islam, terus ada semacam sertifikat halalnya gitu. Yang beli juga kebanyakan komunitas Muslim,” kata Elsa.
Bila harus terpaksa makan di luar rumah, Elsa biasanya memesan menu-menu yang cenderung aman. Sebagian besar warga Adelaide, sudah paham kalau orang Islam tak boleh makan babi atau alkohol. Melihat Elsa yang memakai jilbab, para pedagang biasanya memberitahunya jika makanan yang dijual mengandung babi atau alkohol.
“Beberapa kali beli kue, pedagangnya bilang kalau kue itu ada rum-nya,” katanya.
Meski puasa di Adelaide lebih singkat. Elsa mengaku tetap merindukan berpuasa di Indonesia. Dia rindu mendengar suara Adzan dari mesjid, rindu keramaian menjelang berbuka puasa, rindu makanan-makanan khas Indonesia yang baru muncul ketika puasa. Sabtu, 10 Juni kemarin, Elsa mendarat di Jakarta. Ia akan membayar kerinduan-kerinduannya satu persatu.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra