Menuju konten utama
16 Maret 2017

Puncak Karier Politik K.H. Hasyim Muzadi dan Polarisasi di Tubuh NU

Sempat berseberangan dengan Gus Dur, tapi sama-sama mewakili karakter NU.

Puncak Karier Politik K.H. Hasyim Muzadi dan Polarisasi di Tubuh NU
Ilustrasi Mozaik Hasyim Muzadi. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Kondisi beliau jauh lebih baik ketimbang beberapa hari lalu saat dibawa ke rumah sakit dan beliau masih harus istirahat total agar cepat pulih kembali,” kata dr. Abdul Rokhim, kepala RS Lavelatte tempat KH. Hasyim Muzadi dirawat.

Kabar baik sempat terdengar dari kondisi kesehatan Kiai Hasyim. Setelah dirawat beberapa hari, Kiai Hasyim diizinkan pulang ke rumahnya di Lowokwaru, Malang. Di sanalah Presiden Joko Widodo menengok dan mendoakan agar sesepuh Nahdlatul Ulama ini segera sembuh.

Sesaat setelah Presiden Jokowi menengok, sejumlah santri tampak berkumpul di halaman Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, sebelah rumah Kiai Hasyim. Demi memohon kesembuhan pengasuh pesantrennya, para santri Kiai Hasyim melakukan muqoddaman (membaca Alquran 30 juz).

“Doa dari kami juga selalu penuh agar Bapak sembuh dan kembali segar. Kami sangat berharap karena pondok sendiri masih sangat membutuhkan bimbingan dari Pak Kiai,” ujar Marzuki Nur Syamsuri, Ketua Organisasi Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.

Sayang sekali, doa dan mengkhatamkan Alquran oleh 10 santri setiap 4 jam sehari ini dikabulkan dalam bentuk yang berbeda. Tuhan punya rencana dan tempat yang lebih baik untuk Kiai Hasyim. Setelah beberapa hari sakit, Kiai Hasyim berpulang ke Rahmatullah pada 16 Maret 2017, tepat hari empat tahun lalu, pukul 06.15 dalam usia 72 tahun.

Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Kullu nafsin dzaiqotul maut. Lahu ma akhodz wa lahu ma a’tho, telah wafat KH. Ahmad Hasyim Muzadi,” kata Yusron Shudqi, putra Kiai Hasyim.

Kiai Hasyim dalam Pentas Politik

Lahir di Bangilan, Tuban, Jawa Timur, pada 8 Agustus 1944, Kiai Hasyim adalah salah satu tokoh dan intelektual Islam Indonesia. Di masa Kiai Hasyim menjadi Ketua Umum PBNU, di saat itulah KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Pertama kali dan satu-satunya dalam sejarah Indonesia, kalangan NU ada yang menjadi Presiden Indonesia.

Kiai Hasyim adalah alumni Pondok Pesantren Darussalam Gontor pada 1962. Ia menuntaskan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1969. Terpilih sebagai Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur sejak 1992, karier politiknya dimulai saat menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur yang bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Puncak karier politik Kiai Hasyim adalah saat bersama Megawati Soekarnoputri bertarung dalam Pemilihan Presiden 2004. Akan tetapi, Kiai Hasyim harus mengakui kekalahan dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pada putaran kedua Pemilu saat itu. Ketika itu Kiai Hasyim memilih nonaktif sebagai Ketua Umum PBNU. Hal yang sesuai dengan prinsipnya saat diangkat menjadi Ketua Umum pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, pada 1999.

NU memang tidak boleh dan tidak akan ikut serta secara aktif secara keorganisasian menjadi bagian dari proses politik praktis atau mengubah diri menjadi partai politik. Selama 1952 sampai 1973, ketika NU menjadi partai politik, sudah cukup jadi pengalaman berharga bahwa mengubah diri menjadi partai politik bukan pilihan bijak bagi NU.

Suara nahdliyin dalam Pilpres 2004 juga tidak solid karena tokoh NU yang lain, Salahuddin Wahid, adik kandung Gus Dur, maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Wiranto. Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang dibuat untuk mengakomodasi dan menyuarakan kepentingan nahdliyin, memilih mendukung Wiranto-Wahid.

Kendati Wiranto dan Wahid tersingkir di putaran satu, tetapi PKB tidak kemudian mendukung Kiai Hasyim yang berpasangan dengan Mega. Cerita tidak enak tentang kejatuhan Gus Dur yang digantikan Mega membuat konstituen PKB, termasuk Gus Dur, tidak sreg untuk mendukung Mega-Hasyim. Gus Dur yang memutuskan golput pada putaran pertama Pilpres 2004 mengizinkan purtinya, Yenni Wahid, untuk membantu pasangan SBY-JK.

Mayoritas pengurus PKB juga condong mendukung SBY-JK. Dalam Mukernas PKB menjelang putaran kedua Pilpres 2004, hanya tiga DPW PKB yang setuju melabuhkan dukungan pada Mega-Hasyim, sedangkan 9 DPW setuju mendukung SBY-JK, dan sisanya netral. PKB kemudian memutuskan bersikap netral pada putaran kedua Pilpres 2004 (Menuju Partai Advokasi, hlm. 92-93).

Ada juga kalangan nahdliyin yang saat itu tidak sreg dengan langkah-langkah Kiai Hasyim. Terjadi polemik yang cukup keras soal keharusan Kiai Hasyim untuk mundur dari kursi Ketua PBNU atau cukup sekadar nonaktif. Muncul kekhawatiran langkah Hasyim menjadi cawapres ini bakal memicu tokoh-tokoh NU lain untuk mengejar kursi Ketua Umum PBNU semata untuk meraih jabatan politik yang lebih tinggi.

Polarisasi politik di tubuh NU memang menghangat dan menguat sejak itu. Polarisasi itu, salah satunya, tercermin dari polemik antara Gus Dur dan Kiai Hasyim yang berlangsung cukup panjang.

Menurut Imam Aziz, salah satu Ketua PBNU sekarang, tradisi yang coba dibangun untuk memisahkan NU dari politik praktis menjadi buyar saat itu. “Seolah ada pembenaran bahwa NU bisa dan boleh bermain politik secara langsung,” katanya kepada Tirto.

Imam menegaskan terdapat aturan yang jelas dalam AD/ART NU yang mengharuskan pengurus yang terlibat dalam politik secara langsung, baik sebagai calon maupun tim sukses, untuk mengundurkan diri. “[Mereka] dilarang menggunakan simbol dan fasilitas NU dalam kampanye,” katanya. Sedangkan saat mencalonkan diri sebagai wakil presiden, Kiai Hasyim tidak mengundurkan diri sebagai ketua PBNU.

Infografik Mozaik Hasyim Muzadi

Infografik Mozaik Hasyim Muzadi. tirto.id/Sabit

Wajah Islam Moderat

Kendati dalam politik praktis sering berseberangan, tetapi Hasyim Muzadi tidak menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai alasan untuk bermusuhan.

Hal ini cocok dengan dua dari empat karakter NU yaitu tawasuth dan tasamuh. Tawasuth adalah sikap median dalam beragama. Tidak ekstrem kiri, tidak juga ekstrem kanan. Tasamuh adalah sikap toleransi, menghargai perbedaan dan menghormati orang yang memiliki prinsip hidup berbeda asalkan tidak mengubah akidah.

Sebagai salah satu tokoh Islam, Kiai Hasyim selalu menunjukkan wajah Islam yang lembut. “Karakter Islam terletak pada kelembutannya,” ujar Kiai Hasyim dalam acara Bahtsul Masail pada Kongres ke-17 Muslimat NU, November 2016. Karakter itulah yang kemudian dikenal bagi para santri. Marzuki, salah satu santri Kiai Hasyim, mengingat pesan-pesan yang diberikan oleh pimpinan ponpesnya itu mengenai kehidupan dan perdamaian.

Kiai Hasyim dikenal sebagai sosok yang nasionalis dan pluralis. Sesaat setelah penubrukan dua gedung kembang WTC pada 11 September 2001 oleh dua pesawat yang dibajak oleh kelompok yang kita kenal sebagai Al-Qaeda, mendorong sentimen terhadap Islam di dunia Barat menguat, Kiai Hasyim percaya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujarnya.

Dikenal tidak suka dengan cara-cara represif, ketika kelompok Islam radikal mulai muncul di Indonesia, Kiai Hasyim adalah salah satu yang meminta agar pendekatan terhadap gerakan agama radikal di Indonesia dilakukan dengan cara-cara persuasif.

“Saya minta supaya pendekatannya adalah pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tuturnya.

Juga ciri khas lainnya: humor. Salah satu kritik keras Kiai Hasyim kepada kelompok Islam radikal, misalnya, disampaikan dengan selera humor yang tajam.

”Dakwah Wali Songo berbeda dengan dakwah wali jenggot. Kalau dakwah Wali Songo mengislamkan orang, tapi kalau wali jenggot mengkafirkan orang,” kata Kiai Hasyim, yang disambut tawa para kiai dan santri yang menghadiri kuliah umumnya di Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur (30 Mei 2015).

“Beliau selalu punya cara untuk menjelaskan hal rumit dengan mudah lewat guyonan yang khas,” kata Sekjen PBNU, Helmy Faisal Zaini. “Kami sangat berduka sekali,” lanjutnya, menggambarkan betapa NU kehilangan salah satu ulama terbaiknya.

Kiai Hasyim menyusul sahabatnya, Gus Dur. Sosok yang mungkin akan menyambut kehadirannya dalam guyonan ala ulama-ulama NU: “Piye kabare Mbah Hasyim? Penak nang kene tho?”

Baca juga artikel terkait HASYIM MUZADI atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS & Irfan Teguh