tirto.id - Tottenham Hotspur Stadium adalah tempat yang asing bagi Manchester City. Namun, Tottenham Hotspur, tuan dari stadion tersebut, jelas bukanlah lawan yang asing anak asuh Pep Guardiola itu. Maka, saat City akan berkunjung ke markas anyar Spurs itu pada leg pertama babak perempat-final Liga Champions Eropa, Rabu (10/4/2019) dini hari nanti, Kevin de Bruyne, gelandang City, sama sekali tak gentar.
“Aku tidak peduli dengan stadion [Tottenham Hotspur Stadium],” kata De Bruyne. “Aku hanya peduli dengan tim yang akan kami lawan. Semua orang membicarakan tentang stadion seakan itu adalah sesuatu yang istimewa... Ini akan menjadi pertandingan yang sulit, tapi kami akan baik-baik saja.”
Manchester City memang sama sekali tak punya alasan untuk ciut di hadapan Spurs. Sebab, dalam tiga duel terakhir melawan Spurs, mereka selalu menang. Sebelum tiga duel itu, pada Januari 2017, mereka bermain imbang 2-2 melawan Spurs. Dan terakhir kali City kalah dari Spurs pun sudah terjadi pada Oktober 2016.
Selain itu, dan ini yang paling penting, City juga sedang tampil bagus-bagusnya. Sebaliknya, penampilan Spurs justru sedang menurun tajam: dalam enam laga terakhir di Premier League, Spurs hanya sekali menang, sekali imbang, dan empat kali kalah.
Meski begitu, Spurs ternyata tak peduli catatan buruk. Dalam pertandingan melawan City nanti, mereka bahkan berjanji memberikan kejutan dan tampil sebaik-baiknya. Atmosfer stadion baru Spurs tentu akan menjadi tambahan tenaga, dan pelatih Spurs, Mauricio Pochettino, juga mengatakan “Spurs akan tampil berani sekaligus bermain agresif dalam pertandingan nanti.”
“Aku pikir ini akan menjadi pertandingan yang sulit,” tutur Pochettino. “Kami telah bersiap untuk menghadapi pertandingan ini. Kami senantiasa membicarakan berbagai macam situasi yang dapat [terjadi] sejak awal pertandingan. Kami akan bermain dengan tempo tinggi.”
Pertanyaannya: Jika Spurs benar-benar ingin bermain dengan cara seperti itu, pendekatan seperti apa yang sebaiknya diambil Pochettino?
Formasi 4-2-3-1 adalah Opsi Terbaik Spurs
Di bawah asuhan Mauricio Pochettino, Spurs ialah tim yang amat mahir dalam memainkan formasi empat bek maupun formasi tiga bek. Dan menurut Tom Clarke, analis sepakbola dari The Times, jika Spurs ingin bermain dengan tempo tinggi sekaligus agresif, dua pendekatan itu sama bagusnya untuk digunakan menghadapi City. Setidaknya Clarke mempunyai dua alasan mengenai pendapatnya itu.
Pertama, City adalah tim yang berbeda di Liga Champions. Selain bagus dalam melakukan build-up serangan biasa, mereka juga cukup lincah dalam menerapkan serangan balik. Itu artinya, saat Spurs bermain dengan tiga bek, formasi itu bisa mengurangi dampak dari serangan balik City: saat dua wing-back Spurs maju ke depan, tiga bek tengah Spurs tetap bisa menjaga kedalaman.
Kedua, Spurs juga terbiasa bermain dengan formasi 4-2-3-1. Jika Pochettino memilih formasi tersebut, lewat duet full-back dan duet pemain sayap, Spurs bisa mengincar serangan dari sisi lapangan. Ini karena selain menjadi kekuatan, sisi pertahanan juga menjadi titik lemah City.
Soal kelemahan di sisi pertahanan City, sisi sebelah kiri bisa menjadi sasaran Spurs. Benjamin Mendy adalah satu-satunya full-back kiri murni yang dimiliki City. Sayangnya, menurut Clarke, ia bagus dalam menyerang, tapi jelek dalam bertahan. Sementara itu, karena bukan full-back kiri murni, Danilo, Zinchenko, Laporte, serta Fabian Delph sering kikuk saat bermain di posisi itu.
Dari sana, Spurs dapat memainkan Son di sisi kanan lini serang. Pada musim ini, meski hanya dua kali bermain di posisi tersebut, Son berhasil mencetak satu gol.
Yang menarik, dari dua pilihan pendekatan tersebut, Spurs barangkali lebih cocok bermain dengan formasi 4-2-3-1. Formasi ini lebih luwes serta bisa menjadi platform yang tepat untuk bermain agresif. Dengan bantuan double pivot, dua full-back serta dua flank Spurs juga akan lebih mudah meladeni permainan melebar City. Dan terakhir, Spurs juga membutuhkan satu pemain tengah yang mempunyai tugas khusus untuk mematikan otak permainan City: Fernandinho.
Peran Dele Alli
Fernandinho adalah pemain paling penting Manchester City di bawah asuhan Pep Guardiola. Dan saat gelandang asal Brasil itu absen atau dimatikan tim lawan, roda permainan City pun tak akan bergerak dengan lancar.
Setidaknya, tiga dari empat kekalahan yang dialami Manchester City di Premier League musim ini bisa menjadi contoh. Saat City kalah 2-3 dari Crystal Palace pada Desember 2018, Ferandinho absen. Sementara saat City kalah dari Leicester City dan Newcastle United, Fernandinho tak mampu bermain dengan nyaman karena mendapatkan perlakuan khusus dari tim lawan.
Soal kekalahan City dari Leicester, Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris pun menulis di Guardian: “Mengganggu ritme permainan City jelas kelewat sulit, tetapi ketika tim lawan berhasil melakukannya, mereka seringkali melakukannya dengan mencegah Fernandinho menjadi metronom permainan City. Leicester mungkin menjadi tim yang paling sukses dalam melakukan itu. Saat itu, James Maddison sering bergerak dari sayap untuk mematikan gelandang asal Brasil itu.”
Dan lewat kemampuan Dele Alli, Spurs jelas dapat meniru cara Leicester tersebut untuk mematikan Fernandinho.
Kala Spurs berhasil mengalahkan Chelsea 3-1 pada November 2018, peran Dele Alli dalam mematikan Jorginho, otak permainan Chelsea, menjadi salah satu penyebab utamanya. Karena man-to-man marking yang dilakukan Alli, permainan gelandang asal Italia itu tak maksimal, lantas membikin mengganggu ritme permainan Chelsea secara keseluruhan.
Dari sana, dengan memainkan formasi 4-2-3-1, Alli bisa ditugaskan untuk melakukan man-to-man marking terhadap Fernandinho. Ia bisa dimainkan sebagai pemain nomor 10 atau, seperti James Maddison, sebagai gelandang serang di sebelah kiri untuk mematikan Fernandinho. Dan sukses tidaknya Alli dalam mematikan jelas akan memengaruhi hasil pertandingan secara keseluruhan.
Editor: Abdul Aziz