Menuju konten utama

Perbudakan Pengungsi di Libya, Disponsori Uni Eropa

Eropa berusaha keras menahan laju pengungsi. Hasilnya adalah perbudakan.

Perbudakan Pengungsi di Libya, Disponsori Uni Eropa
Seorang imigran di pusat penahanan imigran, Gharyan, Libya (12/10/2017). Sejumlah ratusan imigran serupa berakhir di gudang-gudang milik penyelundup imigran, di mana mereka kerap dipukuli, diminta untuk membayar sejumlah uang tebusan atau diperjualbelikan sebagai budak. REUTERS/Hani Amara

tirto.id - Dalam rekaman video, Victory melihat kamera dengan tatapan kosong. Matanya yang menyimpan ketakutan sedikit sembab. Tutur kata Victory sedikit terbata-bata, tapi ia tetap berusaha memberanikan diri mengisahkan pengalaman pahitnya.

“Aku menghabiskan biaya sampai jutaan,” ujarnya dari rumah tahanan. “Orang tuaku bahkan mencari pinjaman ke sana sini, ke tetangga sekitar agar hidupku selamat.”

Victory adalah seorang korban perbudakan manusia di Libya. Berkampung halaman di Nigeria, ia awalnya dijual sebagai buruh harian oleh penyelundup agar utangnya terbayar. Namun, kerja kerasnya menjadi buruh harian tak membuat beban utangnya berkurang. Alih-alih lunas, Victory justru dipaksa bekerja dan diperjualbelikan, dari satu penyelundup ke penyelundup lainnya.

Kisah Victory menjadi bagian dari laporan CNN pada 14 November mengenai perbudakan manusia di Libya. CNN juga merilis video yang menjelaskan mekanisme transaksi jual beli manusia di luar ibukota Tripoli. Harga yang dipatok untuk setiap orang berkisar antara yakni Rp5 juta-10 juta, tergantung hasil tawar menawar.

Kabar perbudakan manusia di Libya sontak mengagetkan dunia internasional. Apabila ditelisik lebih dalam, perbudakan di Libya tak dapat dilepaskan dari masifnya arus perpindahan pengungsi dan imigran. Setiap tahun, puluhan ribu orang melintasi perbatasan Libya. Mulai dari imigran Afrika Barat, Bangladesh, Niger, Somalia, sampai Sudan. CNN menambahkan, perbudakan dipraktikkan di sejumlah wilayah seperti Zuwara, Sabratah, Castelverde, Garyan, Alrujban, Alzintan, Kabaw, Gadamis, dan Sabhaw.

Sebagian besar adalah pengungsi yang melarikan diri dari konflik dalam negeri maupun migran ekonomi yang mencari peluang kehidupan lebih baik di benua Eropa. Kebanyakan dari mereka telah menjual harta benda yang dimilikinya agar dapat memenuhi biaya perjalanan menyeberangi Laut Tengah melalui Libya.

Tapi nasib baik tak serta merta mereka peroleh. Penjagaan yang begitu ketat oleh petugas pantai Libya membuyarkan mimpi-mimpi Eropa. Walhasil, mereka wajib membayar pungutan kapal agar sampai ke Eropa via Italia. Bagi yang tidak bisa membayar, dipastikan bakal ditahan di dalam gudang tawanan. Namun, tatkala gudang penampung imigran bertambah sesak dan uang guna membayar pungutan kapal tak kunjung tiba, mereka pun dijual oleh penyelundup.

Menteri Dalam Negeri Libya, Aref al-Khodja menegaskan akan melakukan investigasi dan menyeret para pelaku ke meja hijau. “Terdapat instruksi langsung untuk membentuk komite investigasi demi mengungkap kebenaran dan menangkap pelaku pelanggaran maupun pihak-pihak yang bertanggung jawab,” ujarnya seperti dilansir Reuters.

Dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB, Perancis menyerukan pemberlakuan sanksi terhadap pelaku perbudakan. Presiden Perancis Emmanuel Macron juga menyatakan akan membantu proses evakuasi imigran yang masih terjebak di gudang tawanan Libya.

“Perancis akan mengusulkan bantuan kepada komite sanksi dalam mengidentifikasi pelaku yang bertanggung jawab atas perdagangan manusia di wilayah Libya,” jelas Perwakilan Tetap Perancis untuk PBB Francois Delattre kepada The Guardian. “Kami mengandalkan dukungan dari anggota dewan untuk membuat kemajuan sampai akhir.”

Perbudakan Manusia Bukan Sekedar Hoaks

Di tengah segala kekhawatiran seputar perbudakan manusia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru menuduh CNN telah menyebarkan laporan palsu. Dalam cuitannya di Twitter, Trump mengatakan: “CNN masih menjadi sumber utama berita palsu. Dunia luar tidak melihat kebenaran dari mereka!”

Entah bagaimana caranya pernyataan Trump diamini sejumlah pejabat Libya. Mereka menyatakan bahwa laporan CNN mengandung motif politik tertentu dan tak lain adalah siasat merusak citra Libya.

Trump dan pejabat Libya lainnya semestinya cukup melihat data. Situasi di Libya merupakan gambaran kecil bagaimana perbudakan manusia secara global terjadi. Menurut laporan The Global Estimates of Modern Slavery 2017 yang dipublikasikan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Walk Free Foundation—sebuah LSM internasional—lebih dari 40 juta orang diperkirakan menjadi korban perbudakan pada 2016. Ironisnya, satu dari empat di antaranya adalah anak-anak.

Angka yang tercantum di laporan ILO dan Walk Free Foundation diperoleh dari pengumpulan data dalam rentang waktu 2012 sampai 2016. Selain itu, kedua lembaga itu juga melibatkan berbagai sumber seperti survei nasional dan wawancara dengan 71.000 koresponden di 48 negara.

Laporan tersebut menjelaskan bahwa perbudakan modern merupakan praktik eksploitasi yang tak boleh diabaikan, sebab korban didera ancaman, kekerasan, paksaan, dan penipuan. Adapun International Organization for Migration (IOM) menerangkan, perbudakan manusia paling banyak ditemukan di Afrika (7,6 korban per 1.000 orang). Diikuti kemudian di wilayah Asia-Pasifik (6,1 per 1.000 orang).

Infografik perbudakan di libya

Perbudakan di Libya: Tangan Kotor Uni-Eropa dan Italia?

Banyak pihak menyatakan bahwa praktik jual-beli manusia di Libya tak bisa dilepaskan dari kebijakan Uni Eropa yang memperketat daerah perbatasan untuk membatasi arus pengungsi yang masuk. Demikian, Uni Eropa dianggap hanya bisa melarang tanpa memberikan solusi alternatif, sehingga membahayakan para pengungsi yang terlanjur berada di wilayah transit seperti Libya.

Joey Ayoub, peneliti asal Lebanon dan editor Global Voice, menurut bahwa Uni Eropa telah menggelontorkan puluhan juta euro demi menghentikan arus imigrasi. Kontrol ketat di perbatasan Uni Eropa nyatanya dipraktikkan oleh pemerintah Italia dengan memberi bantuan senilai jutaan euro serta kapal patroli kepada penjaga laut Libya guna mendukung operasi “kontrol perbatasan.”

Di saat bersamaan Ayoub menambahkan, keberadaan LSM yang bertugas untuk memfasilitasi pengungsi atau imigran dibatasi dan dipaksa berhenti beroperasi oleh pemerintah. Italia telah memaksa LSM-LSM menandatangani kesepakatan untuk tidak memasuki perairan Libya dan tidak menghalangi operasi penjaga laut Libya. Tak hanya dipaksa menandatangani perjanjian tersebut, LSM-LSM itu dituduh telah “melakukan penyelundupan pengungsi secara ilegal.” Tuduhan tersebut dilancarkan oleh Uni Eropa untuk merusak citra LSM-LSM kemanusiaan seraya membatasi gerak-gerik mereka.

Tak hanya meningkatkan kontrol perbatasan, aksi kekerasan terhadap imigran juga dilakukan para petugas patroli laut. Berdasarkan pengakuan salah satu komandan pasukan patroli, kepada Human Rights Watch pada April lalu, tindak kekerasan terhadap imigran diperlukan untuk mengendalikan situasi. Cara-cara kekerasan disinyalir dapat membatasi jumlah kapal yang hendak melintasi Laut Tengah. Para petugas yang melakukan kekerasan seolah tak peduli pada nasib imigran yang rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.

PBB mengutuk Uni Eropa karena membantu otoritas Libya menahan para imigran. Ketika mengunjungi beberapa pusat penahanan di Libya, perwakilan PBB menemukan ribuan pria kurus dengan wajah penuh trauma, wanita dan anak-anak yang saling berjejalan di gudang tanpa akses ke kebutuhan dasar sehari-hari.

Tak dapat dinafikkan andil besar Uni Eropa dalam praktek perbudakan di Libya. Kebijakan membatasi arus pengungsi selama ini memantik polemik yang keras di antara negara-negara anggota Uni Eropa. Namun mengikuti Trump yang sesumbar akan membangun tembok perbatasan dekat Meksiko, Uni Eropa ternyata sudah lebih dulu membangun dinding air di Laut Tengah.

Mereka tak perlu lagi pura-pura membenci Trump.

Baca juga artikel terkait PERBUDAKAN atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Hukum
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf