tirto.id - Di tengah penampilan gemilangnya sejak Manchester United ditangani Ole Gunnar Solskjaer, Paul Pogba mendapat kritik dari Claude Makelele. Pemain legenda yang juga berasal dari Perancis tersebut rupanya jengah dengan perayaan gol Pogba kala United melawan Bournemouth, Minggu (30/12/2018) yang dianggap tak menunjukkan sopan santun.
Pada laga yang digelar di Old Trafford tersebut, Red Devils menang telak 4-1 atas Bournemouth. Dua gol disarangkan Pogba (menit 5’ dan 33’), sedangkan dua gol lain dicetak Marcus Rashford (menit 45’), dan Romelu Lukaku (menit 72’). Ketika merayakan gol-golnya, Pogba memperlihatkan tarian unik sebagaimana yang biasa ia lakukan. Sikap itulah yang dianggap Makelele menghormati pemain lawan.
Dilansir Goal, mantan gelandang Real Madrid tersebut mengatakan: "Jika saya seorang pemain, saya akan menghadap Pogba dan mengatakan ini kepadanya, 'Dengar, lakukan (tarian) itu di ruang ganti, jangan sekarang. Ini membuat frustrasi. Anda menang 4-0, Anda menari di depan saya'.”
Makelele kemudian memberi contoh Thierry Henry, mantan rekannya ketika memperkuat tim nasional Perancis. Menurut Makelele, Henry tak pernah berlebihan dalam merayakan gol.
"Ketika dia mencetak banyak gol, dia tidak pernah bahagia. Suatu hari, saya bertanya kepada Thierry, kenapa? Dia berkata, 'Begitulah cara saya merayakan gol. Saya tahu orang tidak suka ini, tetapi saya melakukannya. Saya tidak bisa mengubahnya’," ucap Makelele menirukan jawaban Henry.
Pogba memang tengah trengginas sejak jabatan pelatih berganti dari Jose Mourinho ke Solskjaer. Dari empat kemenangan beruntun United (5-1 atas Cardiff City, 3-1 atas Huddersfield, 4-1 atas Bournemouth, 2-0 atas Newcastle), ia telah menyumbangkan empat gol. Terlepas dari itu, gelandang 25 tahun tersebut memang kerap merayakan gol dengan melakukan Dab Dance--suatu hal yang kini telah menjadi (salah satu) identitasnya.
Ada begitu banyak cara perayaan gol yang pernah dilakukan. Sebagian tergolong kontroversial, sebagian terhitung menyebalkan, sebagian terasa menyenangkan, sebagian lainnya cukup mengesankan. Apa yang dilakukan Pogba sebenarnya tergolong biasa-biasa saja.
Perayaan Gol yang Dianggap Provokatif
Dalam tiga laga derby antara Liverpool dengan Everton, ada tiga perayaan gol dari pihak The Reds yang dianggap kontroversial. Hal ini tentunya menjadi semacam kebetulan yang aneh sekaligus menarik untuk disimak.
Mari memulainya dengan perayaan gol oleh Luis Suarez dalam laga derby antara Everton kontra Liverpool di Goodison Park yang digelar pada Minggu (28/10/2012) silam. Kelak, caranya merayakan gol itu dikenang sebagai salah satu perayaan gol yang amat provokatif.
Pada menit ke-14 di laga itu, penyerang asal Uruguay tersebut merayakan golnya dengan cara berlari ke arah bench The Toffees, dan persis di hadapan David Moyes, ia segera melompat seperti orang menjatuhkan diri dengan kedua tangan yang dibentangkan.
perayaan gol yang dilakukan Suarez tersebut memang sengaja dilakukannya sebagai balasan untuk Moyes. Pasalnya, pelatih 55 tahun asal Skotlandia itu sempat menyebut Suarez sebagai tukang diving--hal yang juga dikatakan oleh manajer Stoke City kala itu, Tony Pulis--beberapa pekan sebelum laga dimulai.
Usai laga, Moyes mengaku tidak terlalu mempersoalkan cara Suarez merayakan golnya, kendati ia sedikit melontarkan sindiran. “Saya kira itu perayaan yang bagus. Saya mungkin akan melakukan hal yang sama, tapi sekarang dia harus diving di depan banyak manajer yang lain,” ujarnya.
Jika Moyes santai, tidak demikian dengan putrinya, Lauren Moyes. Melalui akun Twitter-nya, @Laurenmoyesx, sang putri sempat mencuitkan kekesalannya: “Heran kenapa Ayah tidak melakukan sesuatu kepada Suarez”. Sadar bahwa kata-katanya bakal mengandung kontroversi, Laura segera menghapus cuitan tersebut, kendati sudah lebih dari 700 kali orang me-retweet-nya.
23 tahun sebelum Suarez merayakan golnya dengan cara seperti tadi, pemain Liverpool lain, Robbie Fowler, juga pernah merayakan gol secara kontroversial dengan maksud membalas ejekan para suporter The Toffees yang menganggap dirinya terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang.
Dalam laga di Anfield yang berkesudahan dengan skor 3-2 itu (Fowler mencetak dua gol), ia merayakan salah satu golnya seperti seseorang yang tengah mengendus kokain di salah satu sisi garis putih pada rumput di Anfield. Perayaan tersebut kerap dikenal dengan nama: Sniffing the Goal Line.
Manajer Liverpool saat itu, Gerard Houllier, sempat membela Fowler dengan berdalih bahwa tindakan anak buahnya itu hanya berpura-pura memakan rumput. Tapi FA tak peduli, Fowler pun tetap dikenakan sanksi denda sebesar £ 32.000 dan larangan bermain sebanyak empat pertandingan. Ironisnya adalah: beberapa hari sebelumnya Fowler juga terlibat insiden dengan pemain Chelsea, Graeme Le Saux. Hukumannya: sanksi larangan bertanding juga.
Kontroversi memang lekat dalam karier Fowler. Dua tahun sebelumnya, ia juga pernah didenda 2,000 Francs Swiss oleh UEFA juga akibat perayaan gol. Namun kali ini, perayaannya merupakan dukungan solidaritas atas puluhan pekerja pelabuhan yang dipecat secara sepihak. Hal itu dilakukannya saat Liverpool menang atas Brann di Piala Winner, Maret 1997. Usai mencetak gol, ia menunjukkan kaos dalamnya yang bertuliskan Support the 500 Sacked Dockers.
“Saya membuka kaos dan segera berlari ke arah fotografer agar mereka memotretnya. Saya mendapat peringatan keras dan denda ribuan. Jika Anda tahu penyebab (saya melakukan itu), apa yang dilakukan UEFA itu memalukan," ujar Fowler kala itu.
Belum lama ini, saat Liverpol mengalahkan Everton dengan skor tipis 1-0 pada laga pekan ke-14 Premier League, Minggu (02/12/2018) malam WIB, Jurgen Klopp mendapat kritikan karena caranya merayakan gol dinilai berlebihan. Ketika itu, Klopp berlari ke tengah lapangan dan ikut merayakan gol bersama para anak buahnya usai Divock Origi mencetak gol persis di menit akhir (90+6).
Salah satu kritikan datang dari mantan bek tim nasional Inggris, Danny Mills. Menurutnya, Klopp bahkan bisa saja ditahan pihak berwajib jika saja dia bukan pelatih Liverpool.
"Saya tak ada masalah jika Anda bersorak di pinggir lapangan, meninggalkan area teknis, lalu merayakannya bersama para staf. Namun, lari ke tengah lapangan--jika dia adalah fan, tentu saja (dia akan ditahan), saya rasa itu adalah tindakan yang tidak menghormati Everton, dan dia memahami itu. Ya, ini laga derby, laga besar, tetapi Anda tak bisa berlari ke tengah lapangan. Entah menit akhir atau tidak,” ujar Mills kepada Sky Sports.
Klopp yang lantas menyadari tindakannya mengundang kritikan segera meminta maaf, terutama kepada Marco Silva, manajer Everton. Menurut Klopp, aksi itu merupakan spontanitas dan tidak direncanakan. "Saya harus meminta maaf karena saya tak ingin bersikap tidak respek, hanya saja saya tak bisa menghentikan diri saya sendiri. Itu terjadi dengan sendirinya!”
Pada Piala Dunia 2018 lalu, pelatih Swedia, Janne Andersson, juga sempat muntab karena cara pemain Jerman merayakan gol kemenangan di menit akhir. Dalam laga grup F Piala Dunia 2018 yang digelar di Olimpiyskiy Stadion Fisht itu, Swedia sempat unggul terlebih dahulu lewat gol Ola Toivonen pada menit ke-32, sebelum Jerman membalikkan keadaan lewat sontekan Marco Reus (menit 48') dan tendangan bebas menawan Toni Kroos (menit 90+5').
Bagi Andersson, reaksi kubu Jerman seusai mencetak gol kemenangan pada detik-detik terakhir laga itu sangat berlebihan dan membuat Swedia berang. "Mereka berada di depan kami lalu membuat gestur mengejek. Hal itu benar-benar membuat saya marah, kami semua kesal," ujar Janne Andersson seperti dilansir Guardian. Mengetahui kesalahannya, timnas Jerman pun akhirnya meminta maaf melalui akun Twitter mereka dengan menggunakan bahasa Swedia.
Garis besar peraturan FIFA terkait perayaan gol “hanya” menyoal agar sikap yang ditampilkan tidak berlebihan. Hal itu dispesifikkan menjadi: tidak mengandung pesan politik, membuka baju, memakai topeng, memperlihatkan gestur yang provokatif, dan tidak memanjat pagar atau tiang stadion yang bisa menyebabkan luka fisik atau kerusakan infrastruktur.
Persoalannya kemudian, tafsiran terhadap poin “gestur yang provokatif” bisa jadi kelewat lentur dan kaku sekaligus. Berjoget, menari, bergoyang, berdansa, atau apapun istilahnya saat merayakan gol dapat dianggap sebagai sikap provokatif, atau, katakanlah, minim etika, sebagaimana kasus Dab Dance ala Pogba menurut Makelele. Padahal, jauh sebelum Pogba, perayaan gol dengan cara itu sudah jamak dilakukan.
Roger Milla melakukan goyang perut saat menjebol gawang Kolombia di babak 16 besar Piala Dunia 1990; Bebeto menari dengan menirukan gerakan tengah menggendong bayi di Piala Dunia 1994; Peter Crouch kerap menari ala robot saban mencetak gol. Beberapa musim belakangan, bahkan bergoyang sudah menjadi ciri khas perayaan gol bagi beberapa pemain.
Rekan setim Pogba, Jesse Lingard, juga mendadak menjadi penari gemulai usai mencetak gol. Tarian Daniel Sturridge yang biasa dilakukannya saban mencetak gol bahkan dianggap sebagai satu-satunya di dunia.
Demikian pula dengan Delle Alli yang juga pernah melakukan Fornite Dance setelah menjebol gawang lawan. Lalu Richarlison yang selalu melakukan The Pigeon Dance. Dan terakhir, jangan lupakan pula Neymar dan para pemain Brazil lain, sejak dulu hingga sekarang, yang memang menganggap lapangan hijau sebagai lantai dansa.
Tentu saja akan gawat jika tarian untuk merayakan gol dianggap sebagai penghinaan. Dari perspektif itu pula, posisi Makelele yang mengkritik Pogba cenderung mirip seorang “senior” kolot yang merasa lebih tahu dari “juniornya”. Akan tetapi, sebaiknya tunda dulu kesimpulan tersebut. Pogba boleh saja telah meraih Piala Dunia dan 31,6 juta pengikut di Instagram, tapi Makelele punya Makelele Role: sebuah peran spesial yang patut dipelajari setiap gelandang.
Makelele tentu berhak menyarankan atau mengkritik Pogba. Tapi Pogba adalah Pogba. Jangankan saran Makelele, sikap keras Mourinho saja bisa dia cuekkan, dan bahkan belakangan dia cemooh.
Editor: Zen RS