Menuju konten utama

Penutupan Lokalisasi: Selamat Datang Prostitusi Online

Pemerintah bertekad menutup seluruh lokalisasi seks komersial di Indonesia secara bertahap, termasuk lokalisasi di Mojokerto yang ditutup 29 Mei kemarin. Targetnya, pada 2019 tak ada lagi lokalisasi di Indonesia. Jika tak dikaji dan tak disiapkan jaring ekonominya dengan baik, penutupan ini bisa jadi tak mencapai tujuan dan malah menimbulkan masalah baru.

Penutupan Lokalisasi: Selamat Datang Prostitusi Online
Petugas mengamankan sejumlah pekerja seks komersial (PSK) saat melakukan operasi cipta kondisi di Kalijodo, Jakarta, Antara foto/Rivan Awal Lingga

tirto.id - “Lewat deklarasi (penutupan lokalisasi) ini, saya menyatakan mulai hari ini Jatim sebagai provinsi bersih dari prostitusi,” Gubernur Soekarwo mencuitkan pengumuman itu pada akun Twitternya (29/5/2016) dengan penuh nada bangga.

Soekarwo dan Khofifah Indar Parawansa pernah bertarung dan bersengketa untuk menduduki posisi gubernur Jawa Timur sebanyak dua kali. Namun, keduanya kini satu suara soal isu lokalisasi pekerja seks komersial. Menteri Sosial Khofifah sebelumnya menyatakan kementerian yang dipimpinnya bertekad memberantas semua lokalisasi pada 2019.

Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menutup lokalisasi Balong Cangkring di Mojokerto pada 29 Mei kemarin. "Saya masih punya utang satu pada Bu Menteri Sosial yaitu lokalisasi di Mojokerto. Sebelum puasa harus sudah ditutup," ucap Soekarwo, seperti dilansir Antara.

Menurut data Kementerian Sosial, Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah lokalisasi paling banyak di Indonesia. Total PSK-nya mencapai 7.793 orang. Penutupan lokalisasi Balong Cangkring kemarin menggenapi 40 penutupan lokalisasi sebelumnya di provinsi itu. Publik tentu belum lupa salah satu peristiwa paling kontroversial pada 2014 lalu, saat Walikota Surabaya Tri Rismaharini bersikeras menutup Dolly—kawasan lampu merah terbesar di Asia tenggara—meski ia dihujani protes termasuk dari kawan politiknya sendiri.

Di Indonesia, secara keseluruhan ada 168 titik lokalisasi. Sebanyak 70 di antaranya sudah ditutup, sehingga tersisa 98 lokalisasi lagi. Khofifah pun sudah mendapat kepastian dari kepala daerah bahwa empat lokalisasi akan ditutup sebelum Ramadan ini: satu di Mojokerto tadi, satu lagi di Tangerang, dan dua lainnya di Kutai Kartanegara. Sisanya masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk menutupnya.

Keterangan yang dilansir Portal Kalimantan bahkan lebih ekstrem lagi. Pada situsweb prokal.co itu, disebutkan pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara akan menutup semua lokalisasinya yang berjumlah 12, selambat-lambatnya pada 1 Juni.

Provinsi Kalimantan Timur sendiri tadinya adalah provinsi dengan jumlah kawasan lampu merah terbanyak setelah Jawa Timur, yakni 35 titik. Seperti Gubernur Soekarwo, Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak juga menyatakan komitmen untuk menutup semua lokalisasi di teritorinya secara bertahap.

Solusi yang Tak Direncanakan Secara Rinci

Dilihat dari kacamata ekonomi, lokalisasi adalah unit usaha yang memutar roda usaha lain yang menopangnya. Di kawasan Dolly misalnya, yang terimbas bukan hanya Sutinah, Dina, Nani, Rita, dan pekerja-pekerja seks lainnya yang kehilangan pekerjaan. Ada bisnis lain seperti warung dan toko yang terhidupi dari bisnis seks ini. AFP, seperti dikutip Kompas, memperkirakan dana yang berputar di Dolly dahulu mencapai Rp300-500 juta per 24 jam.

Pemerintah daerah memang berusaha mencarikan solusi, misalnya dengan mendirikan pabrik sepatu dan beberapa usaha lain. Tetapi dari 1.400 PSK, hanya sebagian kecil saja yang terserap lapangan kerja itu. “Beberapa PSK Dolly dan Jarak ditengarai tetap beroperasi dengan modus terselubung," kata Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Rusli Yusuf, pada Antara.

Tapi banyaknya masalah yang muncul setelah lokalisasi ditutup sebetulnya dapat diperkirakan. Beberapa penutupan dilakukan dengan alasan yang emosional, juga insidental. Walikota Risma di Surabaya misalnya, mengaku bertekad menutup Dolly setelah mengetahui ada PSK berumur 60 tahun melayani siswa SD.

Gubernur Ahok di Jakarta yang menutup lokalisasi Kalijodo juga demikian. Keputusannya dipicu oleh kecelakaan maut yang terjadi karena pelaku mengemudikan kendaraan sembari mabuk setelah melewatkan malam di Kalijodo. Kebetulan, sesuai peraturan daerah mengenai tata ruang, ternyata Kalijodo berada dalam zona hijau. Maka, kawasan itu pun dibuldoser hanya 19 hari setelah Ahok mengatakan akan menertibkannya.

Alasan yang dikemukakan Menteri Khofifah dan Gubernur Soekarwo juga normatif. Seperti dilansir Antara, Khofifah berharap penyakit sosial di masyarakat bisa ditekan setelah lokalisasi ditutup. Yang dimaksud ibu menteri tentu adalah praktik seks komersial sebagai komoditas utama di lokalisasi.

Pernyataan Parde Karwo juga senada. Karwo menyebut tindakannya menutup lokalisasi Balong Cangkring itu: “[...] menyelesaikan permasalahan kemaksiatan secara humanis dan penuh kedamaian, tanpa ada gejolak di masyarakat.” Tak ketinggalan, Karwo juga memberi kredit serta memusatkan kebijakan itu pada dirinya sendiri.

“Semoga ikhtiar saya, dan ulama diridhoi Allah SWT. Saat purna tugas nanti, saya tidak terbebani. Terima kasih,” tulisnya.

Di sisi lain, meski nada para pejabat itu terdengar normatif dan terburu-buru, secara obyektif memang sulit dimungkiri bahwa pasar seks komersial menyebabkan masalah. Pelacuran anak-anak adalah salah satunya. Menurut data humantrafficking.org, diperkirakan sebanyak 40-70 ribu anak-anak dieksploitasi sebagai pekerja seks di dalam negeri. Tapi masalah ini tetap sulit diatasi hanya dengan menutup lokalisasi.

Lewat Saluran Lain

Lokalisasi, bagaimanapun, adalah pasar yang memungkinkan bertemunya permintaan layanan seksual bertemu dengan suplai pekerja seks itu. Lokalisasi memastikan bahwa ada “lapangan kerja” jualan seks yang tersedia, dan pihak yang melihatnya sebagai peluang akan mencari tenaga-tenaga untuk disalurkan.

Tapi persoalannya, menutup pasar dalam bentuk lokalisasi tidak otomatis menyumbat permintaan yang ada di masyarakat. Rudyard Kipling dalam novel On The City Wall menyebut tokohnya si pelacur Lalun sebagai “salah satu profesi tertua di dunia.” Menjual layanan seks untuk mempertahankan hidup dianggap sesuatu yang alamiah, terlebih saat seseorang tak punya hal lain untuk ditukar. Begitu pula di pihak konsumen. Seks secara umum dianggap hal penting yang tak semua orang bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.

Agaknya cuma Bupati Banyumas, Achmad Husein, yang menyadari hal ini. Pada Channel News Asia, ia menyatakan mendukung pemerintah yang sedang memberantas pelacuran dengan menutup lokalisasi. Tapi ia mengakui hal itu muskil. “Secara formal, iya (mendukung); tapi secara esensial, tidak. Pelacuran tak akan berakhir selama laki-laki ada. Ini soal permintaan dan penawaran,” katanya.

Karenanya, praktik prostitusi tak akan punah ketika satu salurannya disumbat. Apalagi jika masalah di hulu tak dijadikan perhatian: persoalan sosial-ekonomi. Contoh paling gamblang adalah Indramayu yang dikenal sebagai daerah muasal banyak pekerja seks. Pada 2014, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indramayu ada pada angka 63,55 atau nomor 4 terendah di Jawa Barat.

Kemiskinan di kabupaten Indramayu juga terkait erat dengan tingkat pendidikannya. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten Kota 2014 (BPS) menunjukkan sebanyak 240.700—atau 14,29 persen dari seluruh penduduknya—termasuk kategori miskin. Di antara jumlah warga miskin itu, sebanyak 42,27 persennya tidak tamat SD, sedangkan 49,04 persen hanya tamatan SD dan SMP. Dengan pendidikan yang rendah, akan lebih kecil kesempatan bagi seseorang untuk mempunyai keahlian. Akibatnya, menjual seks menjadi satu dari sedikit pilihan yang tersedia. Bukan rahasia umum bahwa di kabupaten Indramayu ini keluarga kerap mendorong anak atau cucunya untuk menjual layanan seks.

Selain faktor sosial-ekonomi yang belum ada solusinya, prostitusi sebagai komoditas juga bisa menemukan saluran lain sebagai pasar: dunia digital. Dengan beberapa klik, seseorang bisa menjual layanan seks, dan di seberangnya, dengan beberapa klik pula, seseorang yang lain akan menyambar tawaran itu—selama fitur dan harga yang ditawarkan sesuai keinginan dan isi dompetnya.

Publik barangkali masih mengingat Tata Chubby, PSK yang dibunuh oleh pelanggannya tahun lalu. Tata adalah contoh pekerja seks yang memasarkan layanannya lewat media sosial Twitter. Di ruang privat seperti kamar kost Tata, tidak ada yang melindungi, mengatur tata kerja, juga memberi penyuluhan tentang penyakit menular seksual dan HIV seperti yang biasa terlaksana di lokalisasi. Pendeknya: risiko yang dihadapi PSK dan juga pemerintah menjadi lebih banyak kala praktik prostitusi tak terpantau.

Namun pemerintah sudah memutuskan: lokalisasi akan ditutup secara bertahap sampai 2019. Tanpa penyiapan jaring sosial-ekonomi yang rinci, kebijakan itu bisa disebut sebagai ucapan selamat datang untuk prostitusi online.

Baca juga artikel terkait PROSTITUSI atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti