Menuju konten utama

Pasal Zina RKUHP Rentan Mengkriminalkan Masyarakat

Selain berpeluang mempidanakan pasangan miskin tanpa surat nikah dan pelaku nikah siri, pasal ini juga bisa mendorong pernikahan anak.

Pasal Zina RKUHP Rentan Mengkriminalkan Masyarakat
Nikah massal di Thamrin Park ride, Jakarta, Minggu (31/12) [ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A]. Fakta sosial: banyak pasangan yang tidak meresmikan pernikahan karena kemiskinan berpeluang terjerat pasal zina RKUHP.

tirto.id - Pemerintah dan DPR sudah sepakat memperluas delik zina dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Senin 5 Februari 2018. Kesepakatan dicapai setelah terjadi proses alot antara pemerintah dan DPR terkait sejumlah pasal yang akan mengatur soal zina.

Dalam RKUHP itu ada 786 pasal yang dibahas dan ditentukan kembali Panitia Kerja RKUHP Komisi III DPR selama kurang lebih dua tahun terhitung tanggal 26 Oktober 2015. Pembahasan dilakukan dua kali yakni pembahasan buku I yang mencakup pasal 1 sampai pasal 218 dan buku II yang mencakup pasal 219 sampai pasal 789.

Pembahasan buku I berlangsung pada September 2015 hingga Juni 2016, sedangkan buku II mulai berjalan dari 15 September 2016 sampai dengan 26 Januari 2017. Selepas pembahasan, tim pemerintah menelaah kembali pasal-pasal RKUHP melalui proofreader yang terdiri dari beberapa akademisi ahli hukum pidana mulai Oktober 2017.

Proses penelaahan ini berlangsung hingga penghujung 2017. Proses alot itu terjadi dalam pembahasan BAB XVI Tindak Pidana Kesusilaan, bagian keempat terkait zina dalam buku II ini. Pemerintah tetap mempertahankan perluasan tindak pidana zina dalam KHUP dengan menyasar seluruh pasangan tanpa syarat terikat perkawinan. Perdebatan berakhir dengan kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentang perluasan pasal zina dalam RKUHP.

Salah satu pasal yang disepakati adalah pasal 484 ayat 1 huruf e draf RKUHP yang menyatakan:

Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.”

Buat menghindari persekusi lantaran adanya ayat 1 huruf e ini, DPR dan pemerintah kemudian memperketat ketentuan lewat pasal 484 ayat 2 draf RKUHP yang menyatakan:

Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar kepentingan.” Frasa pihak ketiga ini kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.

Persoalan "Perkawinan yang Sah"

Kesepakatan antara pemerintah dan DPR ini kemudian dikritisi Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum) dalam diskusi di bilangan Jakarta Pusat, Selasa (6/2/2018). Pokja ini merupakan koalisi kerja dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Indonesia (PUSKAPA), Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kemitraan, LBH Apik, PEKKA, dan Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI).

Menurut Direktur Puskapa Universitas Indonesia Santi Kusumaningrum, terdapat masalah pada empat pasal dalam Bab Keempat RKUHP yang meregulasi soal perzinaan. Santi mencontohkan frasa ‘perkawinan yang sah’ dalam pasal 484 ayat (1) huruf e dan Pasal 488 RKUHP.

Frasa ‘perkawinan yang sah’ yang dimaksud adalah sebuah perkawinan baru dianggap sah dan diakui oleh negara apabila perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan jika dicatat menurut peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Santi menuturkan ketentuan ini menjadi masalah sebab masih ada pasangan menikah yang belum mempunyai akta menikah. Jumlah ini menjadi besar apabila berbicara tentang pasangan miskin.

Sebanyak 55% pasangan dari kalangan masyarakat miskin tidak mempunyai akta nikah,” papar Santi. Hal serupa juga menimpa masyarakat adat. “Mereka harus mendaftarkan kepercayaannya dan untuk itu harus ada AD/ART dan lain-lain."

Pendapat Santi dikuatkan Deputi II Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Romlawati dengan mengutip sensus PEKKA pada 2009. Dalam sensus itu, PEKKA menemukan ibu kepala keluarga anggota PEKKA yang punya buku nikah di provinsi Aceh, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat jumlahnya tak mencapai 50%.

“Sensus yang sama dilakukan kembali di 111 desa dan jumlah anggota yang tidak memiliki buku nikah tidak berbeda dari tahun 2009,” kata Romlawati.

infografik zina cabul dan perkosaan

Mendorong Pernikahan Anak dan Tidak Melindungi Anak

Frasa ‘perkawinan yang sah’ yang ada di sejumlah pasal tak hanya mendorong kriminalisasi pada mereka yang tidak memiliki buku nikah. Menurut Santi, frasa ini secara tidak langsung mendorong perkawinan anak. Pernikahan akan dilihat sebagai jalan keluar satu-satunya bagi anak dan remaja yang merasakan dorongan seksual dan harus menghindari jerat kriminal seksual di luar nikah.

Pada sisi lain, Santi menilai, pernikahan ini menjadi masalah lantaran akan berakibat anak yang menikah harus putus sekolah. “Praktik perkawinan anak juga mendorong angka kematian ibu dan bayi serta stunting,” ungkap Santi.

Pasal lain yang bermasalah terdapat pada Bab Kelima yakni pada pasal 496 yang berbunyi:

Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberikan hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dan belum kawin serta berkelakuan baik, untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Santi menyebut, pasal ini menjadikan anak yang sudah berstatus menikah tidak mendapat perlindungan utuh saat menjadi korban kekerasan seksual. Pasal tersebut juga terkesan hanya memberikan perlindungan pada anak yang “berkelakuan baik.”

Permasalahan yang disebutkan di atas membuat Pokja Identitas Hukum bersikap. Koordinator Pokja Identitas Hukum Muhammad Jaedi mengatakan pihaknya meminta Pemerintah dan DPR mencabut pasal-pasal yang merugikan kelompok rentan, khususnya Pasal 484 ayat (1) huruf e, Pasal 488 RKUHP, dan Pasal 496.

Ia juga meminta penundaan pengesahan RKUHP dan membuka akses seluas-luasnya untuk dialog dengan publik dan uji coba dampak, serta pelibatan ahli lintas-disiplin untuk mempertimbangkan isi RKUHP secara keseluruhan.

“Menunda pengesahan RKUHP akan menunjukkan komitmen Pemerintah dan DPR pada akses keadilan semua orang dan menunjukkan kepedulian pada dampak agar KUHP tidak mendiskriminasi siapa pun. Itulah yang perlu kita pastikan, Jangan sampai KUHP malah mengkriminalisasi masyarakat, alih-alih melindungi,” Jaedi menegaskan.

Baca juga artikel terkait REVISI KUHP atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Maulida Sri Handayani