Menuju konten utama
Seri Laporan I:

"Pantai Sampah" di Pesisir Teluknaga yang Siap Mengepung Kota

Mikroplastik bisa mengepung perkotaan melalui butiran hujan dan merasuk ke makanan laut yang kita konsumsi.

Hamparan sampah memenuhi pesisir Pantai Tanjung Burung, Tangerang, Banten, Kamis (21/11/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pernah kah Anda berlibur ke pesisir pantai? Isinya hanya hamparan pasir putih dan langit biru yang luas. Tetapi di tempat saya berdiri, timbunan sampah plastik menggantikan posisi pasir pantai. Ini adalah "Pantai Sampah" (lokasi berdasarkan Google Map). Letaknya sekitar sekitar satu kilometer dari bibir pantai Tanjung Burung, Teluknaga, Tangerang, Banten. Ini adalah masalah global di lautan kita.

Saat saya berada di "Pantai Sampah", rasanya seperti berdiri di atas tumpukan jerami: Empuk namun tetap kuat menahan tubuh.

Sampah-sampah yang membentuk daratan itu, didominasi kantong plastik, pecahan botol air mineral, hingga bungkus makanan ringan. Tak ada bau busuk, pesing, maupun prengus.

Saya datang memakai perahu kecil bersama Muhammad Guntur, lelaki berusia 50 tahun yang menjadi petani mangrove. Untuk mencapai Desa Tanjung Burung, saya harus menepuh jarak sekitar 17 kilometer dari Stasiun Tangerang. Satu-satunya kendaraan yang memungkinkan adalah ojek online. Tak ada kendaraan umun menuju desa itu.

Saat menyisir jalanan di sisi kanan Sungai Cisadane menuju ke desa itu, saya melewati beberapa pabrik dan tempat pengepul sampah plastik. Ketika sampai di Desa Tanjung Burung, butuh menempuh satu kilometer atau 30 menit lagi, untuk mencapai "Pantai Sampah" itu dengan menggunakan perahu kecil.

Beberapa warga mengatakan, sebetulnya untuk menuju ke sana bisa dengan berjalan kaki. Namun tak memungkinkan karena harus melewati beberapa rawa yang ramai dengan buaya.

"Pantai Sampah" itu, kata Guntur, ada sejak 15 tahun yang lalu. Dia memprediksi tinggi tumpukan sampah itu, sekitar tiga meter dari permukaan laut.

Sedangkan luasnya, kata Guntur, sekitar dua kilometer. Posisi persisnya sekitar 6,5 kilometer dari Pantai Tanjung Pasir dan 25 kilometer dari Mangrove Pantai Indah Kapuk Muara Angke. Ini dekat Pulau Bokor, Untung Jawa, dan Rambut yang berada di Kepulauan Seribu.

Ia menduga sampah-sampah plastik itu ditimang ombak dan terbawa Sungai Cisadane ke lautan lepas. Usai bertahan selama bertahun-tahun, akhirnya menepi ke pesisir Tanjung Burung.

"Dari Sungai Cisadane bertahun-tahun bisa ke laut, ke Muara Angke, dari Muara Angke bisa ke sini. Namanya juga laut. Tapi 90 persen dari Sungai Cisadane pasti ke sini [Tanjung Burung]," kata Guntur, Kamis (21/11/2019).

Perlu beberapa dekade untuk kemasan plastik itu warnanya akan memucat dirusak air asin dan diterjang sinar matahari. Pada akhirnya sampah itu menjadi debu plastik. Racun debu plastik yang meresap ke air laut mematikan bagi burung, ikan, dan hewan laut. Mikroplastik itu menjadi penyusup ke rantai makanan kita.

Salah satu dampaknya, para ilmuwan mendapati, hujan yang mengandung potongan plastik rontok dari langit. Di antaranya berada di pegunungan tinggi Pyrenees di Prancis dan Rocky di Amerika Serikat. Di Indonesia belum ada penelitian serupa, namun tak menutup kemungkinan potensi serupa telah ada.

Rumitnya Melacak Asal Sampah

Menurut Muhammad Guntur, sampah-sampah yang berada di pesisir itu adalah bawaan dari Sungai Cisadane. Aliranya dari dari Bogor hingga Tangerang, melintasi dua provinsi: Jawa Barat dan Banten. Sebab pulau-pulau lain di sekitar "Pantai Sampah" ini minim penduduk.

"Memang Sungai Cisadane itu dari Bogor, tapi kalaupun dari Bogor kayanya enggak sampai [sini], terlalu jauh. Paling enggak [sampah dari] Kota Tangerang deh ke sini," kata Guntur.

Guntur dan para pemuda di Desa Tanjung Burung, menginisiasi wisata komunitas Tanjung Burung (Tabur) Mangrove beberapa tahun lalu. Dia mengaku, setiap ada sekolah-sekolah yang datang untuk mengadakan tur edukasi mangrove, Guntur kerap melalukan kritik kepada guru-gurunya.

"Ini contoh pendidikan telah gagal. Makanya kami di sini lakukan edukasi. Sekolah di sini. Jangan di gedung-gedung lagi. Buka mata. Sudah kelamaan [durasi] sekolah di gedung-gedung. Lihat di sini ada realitanya. Sentuh murid-murid dengan keadaan real," katanya sembari wajahnya menatap ke arah laut.

SAMPAH TANJUNG BURUNG

Seorang pemulung mencari sampah plastik di tengah hamparan sampah di Pantai Tanjung Burung, Tangerang, Banten, Kamis (21/11/2019). tirto.id/Andrey Gromico

Setidaknya perkiraan Guntur dibenarkan oleh Muhammad Reza Cordova, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jika mengacu dengan banyaknya penelitian mengenai sumber sampah di laut Indonesia, kata Reza, rata-rata sampah datang dari sungai terdekat.

"Kalau di situ, ya, dari Sungai Cisadane," kata Reza saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).

Kemungkinan lainnya, kata Reza, sampah-sampah itu datang dari: Sungai-sungai yang dekat dengan Teluk Jakarta, perairan Laut Jawa, atau bahkan dari perairan Sumatera dan Kalimantan. Kebanyakan berasal dari sampah yang dibuang di sepanjang aliran Sungai Cisadane.

Sepengetahuan Reza yang telah meneliti banyak sungai, sepanjang Sungai Cisadane tak memiliki jaring untuk menahan sampah. Ini artinya preseden buruk, mengingat sungai ini melintasi dua provinsi.

"Sepengetahuan kami, di sepanjang Sungai Cisadane itu enggak ada jaring sampah seperti di sungai-sungai di Jakarta. Jadi memang kemungkinan banyak sampah masuk. Andai terlihat, itu sampah yang dari hulu justru adanya di kolam air [tengah dan bawah]. Bukan di atas permukaan. Apalagi Sungai Cisadane lumayan lebar dan dalam," katanya.

Direktur Environment Community Union Benny Kaukus, punya analisis lain. Ia menilai pembentukan "pantai sampah" tersebut bisa terjadi akibat pengendapan sampah plastik, lumpur dan tanah yang terbawa sungai, dan bercampur dengan pasir air laut, sehingga akhirnya membentuk sebuah daratan.

"Ada juga sendimentasi yang muncul juga karena lumpur yang terbawa oleh sungai sehingga sampah itu tertahan dengan lumpur, sehingga sampah itu terkumpul. Jadi ada pengerasan bercampur pasir sehingga menjadi pantai. Itu yang saya lihat kenapa menjadi pantai," kata Benny kepada reporter Tirto, Kamis (21/11/2019).

Bahaya Mikro Plastik Mengepung Kota

Muhammad Reza Cordova menjelaskan, timbunan plastik "Pantai sampah" mengandung senyawa polimer yang sintesis. Sehingga membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai.

"Tergantung jenis polimernya. Kalau plastiknya relatif tipis, itu bisa dua bulan. Kantong kresek ada yang sekarang itu dua bulan sudah terurai. Tapi sedangkan plastik lebih tebal, contoh bungkus minyak goreng, bisa puluhan bahkan ratusan tahun malah," kata Reza.

"Botol plastik lebih lama lagi," lanjutnya. "Bisa 500 tahun."

Sifat senyawa polimer yang terurai, kata Reza, membentuk debu plastik atau mikroplastik. Maka dari itu mudah masuk ke tubuh biota laut dan manusia.

"Jadi oleh insting ikan, kepiting, dan kerang, itu menyangka itu adalah makanannya. Ketika sudah disangka makanannya, mereka makan, plastik akan masuk ke dalam tubuh. Sedangkan binatang-binatang itu siapa yang makan? Ya, predator, yaitu kita. Berarti secara tidak langsung kita juga konsumsi plastik," jelasnya.

Oleh karena itu, kata Reza, produksi barang berbentuk plastik memang sedari awal diciptakan untuk didaur ulang (recycle). Bukan untuk dibuang begitu saja dan berimbas menimbun kerusakan lingkungan.

Tumpang Tindih Siapa Urusi Sampah

Pantai Sampah ini tanggung jawab siapa? Benny Kaukus menjawabnya dengan rumit.

Menurutnya, penataan sungai memang kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun untuk sampah, menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ditambah satu lapis lagi yakni, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebab sampah itu berada di wilayah laut.

Meski begitu, kata Benny, pemerintah daerah tak bisa lepas tangan. Apalagi Sungai Cisadane melintasi dua provinsi: Jawa Barat dan Banten.

"Semua wali kota, bupati, dan gubernur jangan melihat ego sektoral saja. Artinya perlu ketanggapan pemerintah daerah dari hulu. Dari awal harus saling berkoordinasi secara cepat," kata Benny.

Benny menuturkan, ada konflik kepentingan penataan sungai di Indonesia. Akan ada kerentanan saling lempar tanggung jawab.

"Belum lagi antar daerah jadi satu lintasan. Contohnya Sungai Cisadane ini aja, dari Jawa Barat ke Banten," tuturnya.

Benny mendesak pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, Jokowi harus melakukan koordinasi lintas sektoral, untuk menyelesaikan sengkarut permasalahan sampah di Sungai Cisadane dan Laut Jawa yang telah menjadi "Pantai Sampah".

"Penyelamatan laut Indonesia bukan berarti ikannya saja, tapi juga masalah dari bibir laut sampai ke tengah laut itu jadi satu kesatuan. Sungai itu bukan hanya jadi aset lokal, tapi juga aset nasional," tegasnya.

Naskah Current Issue ini merupakan laporan yang disajikan secara berantai. Berikut serial laporan "Pantai Sampah" di Teluknaga ini: "Pantai Sampah" Teluknaga & Pemerintah yang Saling Menyalahkahkan (klik ini untuk membacanya).

Baca juga artikel terkait MIKROPLASTIK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana