Menuju konten utama

Operasi Sapu Jagat & Kegagalan Indonesia Tertibkan Senjata Api Liar

Aksi-aksi dengan senjata api terus meresahkan masyarakat. Pemerintah belum bisa mengamankan 100 persen.

Operasi Sapu Jagat & Kegagalan Indonesia Tertibkan Senjata Api Liar
Ilustrasi orang bersenjata api. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Awal April 2021, sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan pengemudi mobil Toyota Fortuner berinisial MFA mengeluarkan pistol setelah berbenturan dengan sepeda motor di jalan.

Belakangan, MFA sudah dinyatakan sebagai tersangka karena diduga melanggar Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata. Kendati senjata tersebut merupakan airsoft gun, tetap saja tidak boleh diacungkan sembarangan. MFA juga diketahui punya kartu anggota Persatuan Penembak Indonesia (Perbakin) yang dikeluarkan Basis Shooting Club (BSC). Perbakin sendiri menuding BSC ilegal.

Ancaman senjata airsoft gun bukan hanya baru-baru ini. Sebelumnya, ada juga pemuda berinisial F yang mengacungkan senjata ke pengendara yang melintas di Jalan Daan Mogot. Kendati hanya untuk main-main, polisi sempat menahan pemuda tersebut.

Penggunaan dan pembelian airsoft gun, air gun, dan senjata api tidak bisa sembarangan. Masing-masing punya aturan yang berbeda-beda. Satu yang sama: semuanya harus memiliki perizinan dari Perbakin. Masalah di Indonesia tak hanya nampak pada mereka yang punya senjata tidak punya izin Perbakin dan menodong sembarangan, tapi juga mereka yang memiliki izin dan seringkali mudah tersulut emosinya.

Akhir 2019, misalnya, seorang pengemudi Lamborghini tipe Gallardo bernama Abdul Malik meletuskan pistol sebanyak tiga kali kepada dua pelajar di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Alasannya, Abdul Malik tengah berada dalam pengaruh ganja. Dua pelajar itu hanya melontarkan kalimat kagum kepada mobil tersebut, tapi Abdul tidak senang sehingga mengancam mereka dengan senjata api.

Selama pengembangan penyelidikan, polisi tidak hanya menemukan pistol, tapi juga empat pucuk senjata laras panjang dan satu buah granat. Meski kepemilikan senjata api itu tanpa izin, Abdul terdaftar sebagai anggota Perbakin.

Perbakin melarang anggotanya membawa pulang senjata api yang digunakan sebagai alat olahraga. Tapi nyatanya, aksi-aksi koboi semacam Abdul ini membuktikan sebaliknya.

Ada lagi senjata api yang dimiliki sipil dan dipakai sembarangan, misalnya yang dimiliki anak buah preman John Kei saat penangkapannya pada Juni 2020. Polisi menangkap John Kei di Perumahan Titian Indah, Medan Satria, Kota Bekasi hari Minggu (21/6/2020). Penangkapan itu tidak berjalan mulus karena anak buah John Kei melawan dengan menggunakan satu pucuk senjata api.

Polisi belum bisa memastikan dari mana senjata api itu berasal. Akses ke senjata api di Indonesia nampaknya tidak terlampau sulit mengingat banyaknya warga sipil yang bisa memiliki dan menggunakannya secara sembarangan.

Masih Marak Setelah Orba

Orde Baru pernah menggelar Operasi Sapu Jagat untuk menghalau kepemilikan senjata api oleh sipil. Tentara disiagakan di berbagai tempat untuk melakukan razia senjata api. Tempo memantau salah satu operasi ini di kawasan Bypass Jakarta .

Menurut catatan Tempo pada edisi 20 September 1980, Sapu Jagat digelar di kawasan DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan. Operasi ini dipimpin perwira sekelas jenderal TNI bintang tiga, Pangkowilhan I Letjen Widjojo Soejono dan wakilnya, Pangkowilhan II Letjen Wiyogo.

Operasi Sapu Jagat juga dilatari oleh banyaknya kejahatan bersenjata di Jakarta. Pada saat bersamaan, kejuaraan menembak SEASA IX tengah digelar. Para pemegang senjata berkeliaran di ibukota.

Sejak 1978, jumlah kasus dengan senjata api mencapai 176 kasus. Pada 1979, jumlahnya meningkat menjadi 183 kasus. Rata-rata dalam dua hari ada satu orang yang terbunuh di Jakarta pada 1980. Akses ke senjata api memang tidak sulit. Laksamana Sudomo kala itu menyatakan ada orang-orang yang menyewakan senjata api dengan harga Rp25 ribu sampai Rp100 ribu per malam. Toko senjata api juga bisa menjajakan dagangannya secara terbuka.

Ketakutan akan peredaran bebas senjata api ini memuncak pada 7 September 1980. Serma (Marinir) Suyono tiba-tiba ditembak oleh seorang pemuda di depan rumahnya di kawasan Bogor. Motif kejadian itu tidak jelas, tapi yang pasti, Suyono tewas di tempat malam itu juga dengan dua buah peluru bersarang di tubuhnya.

Menurut salah satu versi cerita yang digali Tempo, Suyono suka memergoki anak-anak muda yang suka memalak pedagang di dekat rumahnya. Pada malam nahas itu, Suyono berpakaian sipil dan memperingatkan pemuda yang tengah memeras pedagang rokok. Sang pemuda berbadan kecil itu justru mengeluarkan pistol dari jaket.

Suyono tenang-tenang saja dan menggertak si pemuda untuk menembak. Pistol pun meletus. Si pemuda itu benar-benar menembak Suyono dan tidak tertangkap. Pedagang setempat juga tutup mulut. Siapa yang mau bernasib sama seperti Suyono karena uang Rp100?

Hasil operasi Sapu Jagat ini mungkin tidak mampu menghalau atau bahkan mengurangi kejahatan, karena ada juga yang beralih ke senjata tajam. Namun, yang jelas, orang mulai enggan membeli senjata api.

“Jangankan senapan beneran, senapan angin pun tak ada yang membeli” aku Abdul Hasan, seorang pemilik tokok senjata di kawasan Duta Merlin, Jakarta, setelah operasi digelar.

Namun akses senjata masih bisa dijangkau, apalagi sepanjang transisi politik pada 1998 yang diawali oleh protes dan kerusuhan di berbagai daerah. Banyak orang yang memborong senjata dengan alasan demi keamanan diri. Ini alasan yang masuk akal. Namun, 23 tahun berselang setelah kerusuhan, alasan kepemilikan senjata tidak ditinjau ulang.

Infografik Senjata Api ilegal

Infografik Senjata Api ilegal

Senjata bekas Orde Baru dan selundupan hanya salah dua sumber senjata api ilegal. Penelitian Anggie Setio Rachmanto yang terbit di Jurnal Kriminologi Indonesia menyebut sepanjang 2006-2008 terjadi peningkatan permintaan senjata api yang menjadi pemicu penyelundupan senjata ke Indonesia.

Militer hanya membutuhkan senjata sebanyak 250-300 ribu dan itu berhasil dipenuhi oleh PT Pindad. Tapi, waktu itu impor senjata juga dilakukan dari Finlandia, Jerman, dan Belgia, termasuk Amerika dan Cina sehingga banyak yang berlebih dan bisa diperjualbelikan di pasar gelap.

“Pada kenyataannya, aparat militer dan Kepolisian Indonesia mendatangkan atau menerima senjata api dari beberapa negara produsen,” tulis Anggie seperti dikutip dari Jurnal Kriminologi Indonesia, vol.V, no. II, Agustus 2009.

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) bahkan mengakui hal yang sama. Mereka tidak hanya mendapat senjata sisa-sisa operasi militer di Papua, tapi juga membeli dari anggota Polri atau TNI.

Ribuan senjata di berbagai daerah Indonesia bekas Operasi Sapu Jagat sudah dimusnahkan kepolisian. Sebanyak 1.007 di Bali dan 1.657 di Riau. Namun tidak ada yang bisa memastikan berapa tepatnya jumlah senjata dalam Operasi Sapu Jagat yang terjaring pemerintah dan mesti dimusnahkan.

Perhatian pada senjata api dan aksi-aksi koboi ini sebenarnya sudah sempat ramai pada tahun 2016. Waktu itu Gatot Brajamusti akrab disapa Aa Gatot digerebek sedang pesta narkoba usai terpilih menjadi Ketua Persatuan Artis Perfilman Indonesia (Parfi). Di rumahnya, polisi juga menemukan dua senjata api ilegal yaitu jenis Glock 26 dan Walther PPK tipe 22. Keduanya berasal dari Amerika dan Austria.

“Harus ada keseriusan negara untuk menertibkan. Operasi sapu jagat harus dilakukan berkala.” Mungkin Operasi Sapu Jagat adalah satu-satunya, jika bukan salah satu, operasi keamanan dari rezim Orde Baru yang masih perlu dilakukan sekarang," tegas Peneliti IPW, Neta S. Pane.

Baca juga artikel terkait OPERASI MILITER atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf