Menuju konten utama

Ombudsman Desak Bank Indonesia Kaji Ulang Kebijakan MDR

Alvin Lie mengatakan bahwa kebijakan itu tidak adil karena pihak perbankan telah menikmati dana nasabah.

Ombudsman Desak Bank Indonesia Kaji Ulang Kebijakan MDR
(Ilustrasi Ombudsman) Ketua Ombudsman Amzulian Rifai (kedua kanan) didampingi Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty (kanan), Anggota Ombudsman Ninik Rahayu (kedua kiri) dan Ahmad Suaedy (kiri). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/17.

tirto.id - Ombudsman RI menilai kebijakan baru Bank Indonesia yang mengenakan biaya Merchant Discount Rate (MDR) dengan menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) untuk transaksi sesama bank (on us) tidak adil bagi nasabah. Pasalnya, transaksi yang semulanya gratis itu dinaikkan menjadi 0,15 persen.

Anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengungkapkan ketidakadilan itu karena pihak perbankan secara berkala telah menikmati dana nasabah yang dikeluarkan secara rutin melalui pungutan administrasi maupun biaya pelayanan kartu debit untuk di Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Ia menampik jika biaya MDR itu akan menjadi tanggung jawab pengusaha/pedagang (merchant) 100 persen. Pasalnya, merchant akan tetap mencari untung dan mencari celah agar beban biaya MDR itu bisa beralih ke konsumen. Meski menurutnya beban itu tidak dipungut secara langsung.

"Dan ujung-ujungnya akan mendorong kenaikan biaya entah itu 0,5 persen atau satu persen," ujar Alvin kepada Tirto pada Jumat (8/12/2017).

Ia bahkan menyamakan hal itu dengan praktik biaya penggunaan kartu kredit dari merchant kepada nasabah ketika bertransaksi (surcharge), yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Model manipulasinya, kata dia, dengan cara memberikan diskon barang kepada konsumen yang membayar secara tunai, namun tidak berlaku bagi konsumen yang membayar dengan kartu kredit.

"Itu kan sebetulnya sama saja kan, praktik surcharge," ucapnya.

Untuk itu, Ombudsman akan mendesak BI agar mau mengkaji ulang kebijakan itu. Namun, kata Alvin, Ombudsman akan menghimpun pendapat dari berbagai pihak terlebih dahulu mengenai dampak kebijakan itu.

"Kalau pengusaha dan konsumen merasa itu beban tentunya kami berkewajiban menyampaikan hal tersebut kepada BI agar ditinjau kembali," ungkapnya.

Suara konsumen/nasabah, kata dia, akan dihimpun melalui saluran layanan konsumen di website atau media sosial Ombudsman, dan juga melibatkan lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Alvin mengungkapkan telah menjalin komunikasi dengan Ketua YLKI Tulus Abadi.

Selain dari konsumen, Alvin menyatakan bahwa pihaknya juga akan meminta pendapat dari para mercant yang akan melibatkan berbagai asosiasi sektoral, seperti Asosiai Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan lainnya. Tentunya, Ombudsman ingin mendengar suara dari semua anggota asosiasi, tidak hanya pengurus saja.

"Pekan depan masih akan kami pertimbangkan jadwal kapan kami mengundang mereka. Kami sebisa mungkin dalam bulan ini agar tidak berlarut-larut," ucapnya.

Sikap Bank Indonesia Soal Kebijakan Baru MDR

Menanggapi hal itu, Bank Indonesia mengaku akan memperhatikan kesiapan perbankan dalam mengimplementasikan kebijakan baru MDR untuk transaksi on us (sesama bank) 0,15 persen dan off us (berbeda bank) 1 persen yang semula 2-3 persen dibayarkan merchant.

Bank Indonesia juga akan memberlakukan sanksi terhadap bank yang tidak dapat mengelola MDR sesuai dengan ketentuan.

Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Andi Wiana menyebutkan ada beberapa jenis sanksi yang dapat diberlakukan, mulai dari denda uang hingga suspend perluasan jaringan.

"Bukan cuma pelanggaran terhadap besaran fee-nya (MDR), kalau mereka (perbankan) juga tidak melakukan pengawasan terhadap merchant-nya kita juga melakukan sanksi, dengan banyak sekali metode sanksi di situ," terangnya kepada Tirto pada Jumat (8/12/2017).

Menurutnya, tidak sulit untuk melakukan pengawasan terhadap bank karena dapat dilihat dari jumlah persentase yang didapat setiap transaksi melalui setelan program di mesin EDC-nya. Berbeda dengan pengawasan surcharge di kartu kredit yang sulit dipastikan pelanggarannya.

"Kalau surcharge kan terjadinya di luar bank, ngawasinnya memang susah. Banyak yang miss, banyak yang menyamakan praktik MDR dengan surcharge," ungkapnya.

Ia mengatakan, setiap penggesekan kartu debit ada rumus elektronik untuk mengalokasikan transaksinya ke bank sesuai kebijakan. Diklaimnya, pengawasan tersebut bisa lebih efektif dilakukan BI.

"Kalau melanggar lebih dari satu persen dan 0,15 persen langsung ketahuan. Jadi, rasanya bank enggak akan melanggar. Enggak worth it bank ambil-ambil untung dari situ juga," ucapnya.

Mulai Berlaku pada 1 Januari 2018

Kebijakan MDR melalui transaksi EDC ini efektif berjalan per 1 Januari 2018, yang sejalan dengan pengawasannya.

Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan lembaga switching dan merchant-merchant sudah siap melaksanakan kebijakan tersebut. Adanya kebijakan baru ini diungkapkannya akan dapat meringankan beban merchant untuk transaksi off us yang semulai 2-3 persen, yang mungkin tidak diketahui oleh konsumen/nasabah kartu debit.

"Kalau nanti efektif di kisaran satu persen, jadi para merchant itu marginnya (keuntungannya) akan lebih baik. Dan itu bagus untuk pengembangan ekonomi ke depan," ujar Agus di kantor Bank Indonesia Jakarta.

Kebijakan MDR melalui EDC keluar bersaman dengan adanya Peraturan Bank Indonesia No 19/8/PBI/2017 perihal Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), untuk menggiatkan transaksi non-tunai di dalam negeri (cashless).

Baca juga artikel terkait OMBUDSMAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto