Menuju konten utama

Obesitas Mengancam Anak Indonesia

Ada hantu yang kini menghantui anak-anak Indonesia. Dan hantu itu bernama obesitas. Kasus obesitas dialami semua kelas sosial, tak peduli dia kaya atau miskin, obesitas bisa terjadi pada anak siapa saja.

Obesitas Mengancam Anak Indonesia
Sejumlah tim dokter membawa Arya Permana (10), anak dengan 'Severe Obesity' atau kegemukan yang amat sangat untuk dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat. [ Antara Foto/Novrian Arbi ]

tirto.id - Sosok Arya Permana sedang mendunia. Bocah berusia 10 tahun asal Desa Cipurwasari Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang itu disebut media-media asing sebagai "The Biggest kid in the world". Arya memang mengalami obesitas ekstrem. Idealnya anak seusia Arya memiliki berat badan kurang lebih 50 kg, tetapi berat Arya saat malah mencapai 192 kg.

Lemak menggumpal menutupi tubuh Arya, membuatnya kesulitan untuk bergerak. Alhasil, bocah ini harus berhenti sekolah karena tak mampu berjalan kaki ratusan meter menuju sekolah. Jangankan jalan ratusan meter, melangkah 10 meter pun dia tak sanggup. Aktifitasnya lebih banyak diam di rumah. Orang tua Arya, Ade Somantri mengaku heran dengan anaknya ini.

Setelah ramai dibicarakan orang bulan Mei lalu, Pemkab Karawang dan Pemrov Jawa Barat akhirnya turun tangan. Senin lalu (11/7/) Arya diantar Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana dan Kepala Dinas Kesehatan Jabar, Alma Lucyati ke Rumah Sakit Hasan Sadikini (RSHS) di Bandung. Tak tanggung dia mendapat penanganan langsung oleh 10 dokter.

Arya langsung mengikuti program penurunan berat badan dari rumah sakit tersebut. Baru sehari mengikuti program, berat badan Arya susut hingga 1,5 kilogram. Orang tua Arya sangat berharap program tersebut bisa memulihkan berat badan anaknya sehingga bisa beraktivitas normal seperti anak-anak lainnya.

Tren Obesitas

Kasus Arya adalah gambaran obesitas terjadi akut pada anak-anak Indonesia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada 2013, persentase obesitas anak di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Hampir 12 persen anak Indonesia mengalami obesitas. Jika dirinci lagi, dari 17 juta anak yang mengalami obesitas di ASEAN, hampir 7 jutanya berasal dari Indonesia. Angka ini hanya mencakup balita. Jika ditambah lagi dengan kisaran anak-anak berumur 5-10 tahun, angkanya mungkin semakin bertambah.

Angka 12 persen ini cukup mengejutkan karena naik berkali-kali lipat pada dekade 2000-an saja. Pada survei yang dilakukan tahun 2001, persentase obesitas pada anak Indonesia hanya 2 persen saja, kemudian naik 5 persen pada 2004 dan melonjak tajam jadi 11 persen pada 2007.

Kenaikan obesitas anak ini tak lepas dari kemudahan akses makanan oleh berbagai kelas masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik jadi sebabnya. Konklusi ini akan didapat jika kita membandingkan data pertumbuhan ekonomi dan akses terhadap makanan milik Organisasi Buruh International (ILO) dan angka obesitas anak milik WHO.

Selain UNICEF, Departemen Gizi Universitas Gajah Mada sempat melakukan penelitian yang sama. Namun, untuk membaca tren dan pola obesitas anak di Indonesia secara lebih detail kita bisa merujuk penelitian yang baru-baru ini dilakukan Cut Novianti Rachmi.

Penyebab Obesitas

Dalam penelitiannya untuk mendapatkan gelar PhD di Univesitas Sidney, Novianti menganalisa obesitas anak dari sudut padang statistik. Komponen angka yang dpakai tak semata dari data si anak, melainkan juga data, umur, antropometri, ekonomi, pendidikan, dan lokasi tempat tinggal si orang tua.

Analisa ini muncul setelah dia mengolah data sekunder dari Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI). Survei ini adalah survei longitudinal rumah tangga yang paling komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia.

Survei ini adalah sebuah studi panel rumah tangga, individu, dan survei masyarakat terintegrasi yang berlangsung selama lima gelombang sejak 1993. Data yang dipakai analisa oleh Novianti terbagi jadi empat gelombang: tahun 1993, 1997, 2000, dan 2007.

Dari hasil pengolahan angka-angka itu didapat kesimpulan, obesitas anak di Indonesia berhubungan erat dengan kegemukan dan pendidikan orang tua. Jika orang tuanya gemuk, kans anaknya untuk gemuk semakin besar. “Penelitian saya membuktikan bahwa berat badan orang tua akan berpengaruh terhadap anak. Untuk kans persentasenya saya enggak ada. Namun, data di lapangan membuktikan hal itu,” jelasnya kepada Tirto.id.

“Coba saja perhatikan setiap anak gemuk, satu di antara ayah atau ibunya pasti gemuk,” tambahnya.

Memang betul ada faktor gen gemuk yang akan ditularkan dari orang tua ke anak, dan banyak penelitian biometrik dengan analisa sampel darah yang membuktikan itu. Namun, faktor pola hiduplah yang jadi penular cepat itu.

Dalam penelitian itu juga ditemukan bahwa faktor berat badan orang tua berpengaruh terhadap pola makan yang diajarkan kepada anak. Pola hidup dan makan orang tua gemuk selalu ditularkan kepada anak-anaknya.

Lantas ada satu sesat pikir yang melanda para orang tua di Indonesia saat ini : bayi gemuk adalah bayi sehat, makin dia gemuk makin dia sehat. “Paper saya bilang, anak gemuk punya konsekuensi di masa yang akan datang."

"Anak yang gemuk di usia 2-5 tahun, kemungkinannya akan lebih besar gemuk di usia remaja. Dan remaja yang gemuk, kemungkinannya tetap gemuk ketika dia dewasa. Dan kalau gemuk dewasa, kemungkinannya akan melahirkan anak yang gemuk lagi. Terus saja berentetan."

Probabilitas kegemukan sama muncul terkait dengan tinggi tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh otomatis, semakin besar pula kesempatan mendapat hidup yang layak. Otomatis semakin besar pula akses terhadap makanan.

Angka obesitas ini tidak hanya terjadi pada keluarga kelas menengah atas saja. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2013 memaparkan, tren kenaikan obesitas anak di Indonesia terjadi hampir di semua kelas sosial. Selisih persentase obesitas antara keluarga kaya dan miskin hanya berselisih 3 persen saja, 15 persen berbanding 12 persen.

Ini adalah penegas bahwa obesitas itu tak hanya terjadi pada siapa saja. Arya adalah contohnya. Orang tua Arya adalah petani dengan pendapatan yang tak seberapa. Mereka tidak sanggup membawa Arya ke rumah sakit untuk menurunkan berat badannya itu.

Terkait hal ini, Novianti memaparkan bahwa penyebab tingginya angka itu disebabkan asupan makanan tak sehat yang dikonsumsi.

“Orang miskin memang tak mampu membeli daging, ayam atau ikan. Namun, berarti mereka berhenti makan bukan? Mereka akan mencari makanan apapun agar bisa menghilangkan rasa lapar termasuk mengkonsumsi makanan tidak sehat seperti gorengan atau snack. Yang penting bikin kenyang aja,” jelasnya.

“Mereka memberikan makanan banyak konsumsi tinggi energi tapi kurang zat mikronutrien. Akhirnya jadi tertimbun dan mampet di tubuh sang anak,” imbuh Novianti.

Dalam kasus Arya, dari pengakuan sang Ayah, Ade Somantri, terungkap bahwa Arya dibiasakan mengkonsumsi makanan tidak sehat. Sejak kecil dia dibiasakan tiap hari mengkonsumsi mi instan, sekali makan dua bungkus sekaligus. Arya pun lebih akrab dengan minuman kemasan ketimbang air putih. Ade mengaku minuman manis yang dikonsumsi mencapai 20 bungkus per hari.

Lepas dari kejanggalan hormon Arya, orang tua pun turut andil jadi penyebab masalah karena lalai dalam mengatur asupan sehat ke anak. Mereka selalu berdalih jika tak diberikan apa yang di mau, Arya selalu menangis. Dalam konteks mengatur asupan anak, ketegasan tanpa kompromi memang diperlukan betul. Toh, ujungnya demi kebaikan si anak juga.

Obesitas yang melanda anak-anak otomatis membuat angka harapan hidup menipis. Wajar jika seorang ahli kesehatan dari Meksiko, Dr. Francisco Gallegos mengatakan: “Generasi anak-anak saat ini banyak yang akan mati sebelum orang tua mereka akibat komplikasi obesitas.”

“Penelitian saya ini jadi penting, karena kemungkinan besar 12 persen anak di Indonesia berisiko untuk terkena penyakit jantung, hipertensi, stroke dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kardiovaskular di masa depan,” ucap Novianti lagi.

Masalah obesitas ini harusnya jadi perhatian khusus sama seperti kekurangan gizi yang menimpa anak-anak lainnya. Pemerintah dinilai belum peka akan hal ini. Informasi bahaya obesitas pada anak belum tersebar secara luas pada para orang tua.

Untungnya, penanganan obesitas ini tak terkait dengan faktor ekonomi seperti kekurangan gizi yang berkaitan langsung dengan kemiskinan. Penanganan obesitas harus dimulai dari pengawasan asupan makanan di lingkungan keluarga. “Harus disampaikan kepada orang tua, bagaimana caranya agar beri makan supaya gak kurang gizi tapi jangan terlalu banyak beri makan agar tak jadi gemuk,” kata Novianti.

Satu langkah termudah mencegah anak mengalami obesitas adalah mengatur asupan konsumsi anak, dan memaksanya untuk bermain di luar, ketimbang aktivitas pasif menonton TV atau bermain game di dalam rumah.

Baca juga artikel terkait OBESITAS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti