Menuju konten utama

Nottingham Forest Si Jawara Inggris yang Baru Kembali dari Neraka

Dalam persepakbolaan Inggris, Nottingham Forest punya sejarah panjang nan mentereng. Kini, mereka kembali ke liga tertinggi setelah bertahun tenggelam.

Nottingham Forest Si Jawara Inggris yang Baru Kembali dari Neraka
John Robertson dari Nottingham Forest, kiri, Ian Bowyer, tengah, dan Kenny Burns, kanan, membawa Piala Eropa dalam kemenangan setelah menang 1-0 melawan Malmo FF di Munich, Jerman, 30 Mei 1979. FOTO/AP

tirto.id - Satu gol bunuh diri dari bek Levi Colwill sudah cukup untuk membuat Nottingham Forest mengalahkan Huddersfield Town. Satu-satunya gol dalam pertandingan finalplay-off promosi yang kontroversial itu sudah cukup untuk mengantarkan The Reds kembali ke “habitatnya”.

Begitu peluit akhir berbunyi, para pemain berseragam merah berlarian untuk merayakan kemenangan bersejarah itu, bersama para staf klubjuga suporter. Setelah 23 tahun berkubang di divisi bawah, Forestakhirnya kembali ke pentas tertinggi sepak bola Inggris, Premier League.

Sejak milenium berganti, ini kali pertama Forest tampak lebih dekat dengan harumnya nama klub ini pada masa lampau. Maklum saja, mendengar nama Nottingham Forest tak ubahnya mengenang sejarah sepak bola profesional berkat statusnya sebagai salah satu klub tertuadi Inggris dan dunia bersama klub sekota Notts County. Bukan sekadar tertua, ia juga pastinya berprestasi.

Para penggemar sepak bola tentu familier dengan nama-nama yang pernah memperkuat klub ini seperti Peter Shilton, Stuart Pearce, Roy Keane, hingga Stan Collymore. Publik sepak bola Indonesia bahkan mungkin ingat salah satu eks pemain Forest bernama Peter Withe yang sempat melatih Timnas Indonesia dan dua kali menjuarai AFF Cup bersama Thailand.

Nottingham Forest dianggap sebagai salah satu klub tersukses Inggris berkat dua gelar European Cup (kini UEFA Champions League) yang mereka menangi berturut-turut pada musim 1978/79 dan 1979/80. Dan jika mengingat masa kejayaan singkat Forest itu, tentu tak lepas dari andil salah satu manajer paling brilian di tanah Inggris, Brian Clough.

Dua Kali Memuncaki Eropa

Hanya 44 hari masa kepelatihan Brian Clough di Leeds United. Periode singkat itu tak lain berkat kebijakannya mengasingkan para pemain bintang Leeds, di samping rekor buruk (bahkan salah satu yang terburuk dalam sejarah klub) dengan hanya memenangkan satu dari enam pertandingan. Kisah itu kelak didramatisasi dalam film yang dibintangi Michael Sheen dan disutradarai Tom Hooper berjudul The Damned United (2009).

Namun, rekam jejak buruk itu tak menyurutkan minat Forest terhadap Clough. Bagaimana pun sebelum melatih Leeds, dia pernah membawa Derby County yang biasa-biasa saja menjuarai First Division (kini Premier League) untuk pertama kalinya pada 1971/72.

Pada 1975, Clough lantas didapuk untuk melatih Nottingham Forest. Sebelum kedatangannya, Forest hanya punya dua trofi Piala FA dan pernah satu kali finis di peringkat dua liga teratas Inggris.

Pada musim pertamanya bersama Forest, Clough hanya mampu membawa klub finis di peringkat 16. Setahun kemudian, Peter Taylor, asisten manajer yang membantu Clough memenangi liga bersama Derby, bergabung dengan klub. Kejelian Taylor dalam menemukan bakat-bakat tepat untuk gaya bermain sang pelatih segera menunjukkan hasil. Posisi Forest di liga pun mulai terkatrol naik.

Taylor mengontrak Peter Withe seharga £43,000 pada 1976 dan menjualnya dua tahun kemudian dengan harga nyaris enam kali lipatnya. Kendati kehilangan Withe, dia mengganti sang striker dengan Garry Birtles yang tadinya hanya bermain di klub nonliga Long Eaton United. Birtles kelak menjadi sumber gol utama Forest di kancah Eropa.

Setelah itu, Peter Shilton direkrut dengan rekor transfer kiper saat itu senilai £325,000. Taylor punya alasan sederhana di balik perekrutan mahal itu, "Shilton bikin kamu menang.". Sementara itu, striker Trevor Francis direkrut dari Birmingham City dan menjadi pemain Britania Raya pertama yang nilai transfernya menembus £1 juta.

Di bawah kendali Clough dan Taylor, Forest meraih tiket promosi ke First Division dan merebut trofi Anglo-Scottish Cup pada 1976/77. Saat klub-klub Inggris dan Skotlandia lainnya memandang sepele turnamen ini, Clough malah menjadikannya target utama. Dan benar saja, trofi "remeh-temeh" itu menjadi batu loncatan bagi keberhasilan Forest di tahun-tahun mendatang.

Pada musim 1977/78, Forest melaju kencang di divisi teratas dan mencatatkan rekor tak terkalahkan dalam 42 pertandingan. Rekor itu bertahan lama dan baru bisa dipecahkan oleh Arsenal pada 2004. Mereka sukses menggulingkan Liverpool yang saat itu tengah mendominasi Inggris dan Eropa. Di liga domestik, Forest berhasil memuncaki klasemen dengan selisih tujuh poin dengan The Reds satunya, sekaligus menasbihkan diri sebagai satu dari sedikit tim yang berhasil menjuarai First Division langsung sehabis promosi dari divisi kedua.

Musim berikutnya, Liverpool lagi-lagi disingkirkan. Kali ini, di babak 32 besar berkat penampilan heroik kiper legendaris Inggris Peter Shilton.

Adapun pemain termahal Forest, Trevor Francis, yang baru ditransfer pada Februrari 1979 sebetulnya terhalang tampil di Eropa selama tiga bulan, mengacu peraturan UEFA. Namun, The Reds rupanya terus melaju hingga pertandingan final pada 30 Mei, di mana Francis akhirnya memenuhi syarat untuk tampil. Dan seolah telah ditakdirkan, satu-satunya gol di laga kontra wakil Swedia Malmö FF datang dari sang Manusia 1 Juta Paun Trevor Francis. Forest juara Eropa.

Setelah itu, di kancah domestik, Liverpool kembali mengambilalih dominasinya dan dan menjadikan gelar musim 1977/78 sebagai satu-satunya pencapaian tertinggi Forest di liga. Namun di Eropa, kedigdayaan Forest bertahan. Sang juara bertahan kembali mencapai final musim 1979/80 untuk bertemu dengan Hamburg SV dan lagi-lagi menjuarai European Cup dengan skor 1-0 berkat gol pemain yang dijuluki Clough Little Fat Guy, John Robertson.

Kejatuhan Forest dimulai pada musim berikutnya. Pemain-pemain kunci seperti Francis, Robertson, dan Shilton dijual demi memanfaatkan harga mereka yang sedang tinggi-tingginya. Tak hanya skuad Forest yang digembosi, Taylor sang asisten manajer juga cabut untuk melatih Derby County.

Tanpa skuad dan staf yang mumpuni, Clough “hanya” bisa membawa The Reds menjuarai trofi-trofi kurang bergengsi, macam Piala Liga dan Full Members Cup. Hingga akhirnya, seiring masalah-masalah pribadi sang manajer yang kian membelit, Forest harus puas menjadi juru kunci klasemen dan terdegradasi pada 1992—ketika divisi teratas Liga Inggris dinamai Premier League.

Bangkit dari Neraka

"Berada di sana rasanya seperti neraka," ujar Matt Forde, komedian dan presenter radio kepada Copa90, menyoal klub kesayangannya yang lama berjibaku di divisi bawah Liga Inggris.

Klub yang baru naik daun dan mulai terbiasa dengan trofi itu harus kembali menjauh dari sorotan utama sepak bola Inggris. Dekade 1990-an pun diwarnai dengan naik-turunnya Forest ke Premier League hingga pada 1999 mereka kembali terlempar ke EFL Championship atau divisi kedua Liga Inggris.

Kendati nirprestasi, bahkan naik-turun kasta, tak membuat Stadion City Ground di tepi sungai Trent disuruti penggemar. Kultur sepak bola membuat 30.000 orang tetap hadir pada tiap akhir pekan, sekalian menjaga identitas mereka sebagai "klub tradisional Inggris".

Segala gairah dan budaya sepak bola seakan tiada artinya jika klub sarat tradisi itu tak disokong pemilik yang punya visi dan sumber daya kuat. Pada 2003, Forest sempat lolos ke babak play-off promosi, tapi disingkirkan Sheffield United dengan skor agregat 5-4. Bukannya membaik, Forest bahkan menjadi tim juara Eropa pertama yang terdegradasi ke kasta ketiga di liga lokalnya pada 2005.

Semenjak 2008, The Reds kembali ke Championship Division dan mendekam di sana hingga belasan tahun. Keluarga Al-Hasawi dari Kuwait yang mengambil alih klub juga tak mampu mengatrol posisi Nottingham di persepakbolaan Inggris. Sembilan pelatih masuk-keluar dalam lima musim, peringkat yang terus merosot, dan klub tak punya struktur yang jelas jadi bahan tertawaan belaka.

Baru di bawah rezim Evangelos Marinakis (juga pemilik klub Yunani Olympiacos FC), Forest menemukan kembali jalannya. Fans menganggap klub kini diperkuat "pemain-pemain yang peduli". Selain veteran seperti Jack Colback dan kapten Lewis Grabban, Forest nyaris sepenuhnya bergantung pada skuad berisikan para pemain muda. Anak-anak muda dibiarkan menimba pengalaman dengan bermain sebanyak-banyaknya dan membiasakan diri di Championship, seperti top skorer klub musim 2021/22 Brennan Johnson yang baru berusia 21 tahun.

Hasilnya, selain lolos ke Premier League melalui babak play-off menemani Fulham dan Bournemouth, pasukan arahan manajer Steve Cooper tampak punya fondasi yang cukup kokoh.

Tentu masih terlalu muluk mengharap Forest segera menjuarai liga atau menjadi penantang serius Manchester City dan Liverpool. Malahan, skuad mereka mungkin perlu banyak perombakan hanya untuk sekadar bertahan di level teratas ini. Yang jelas, skuad Forest musti bekerja keras. Untuk saat ini, The Reds, sang Jawara Eropa dua kali itu telah kembali dari neraka.

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Olahraga
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi