Menuju konten utama

Menyigi Klaim Kesehatan Spa Bayi dan Keamanan Pelampung Leher

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) baru saja melarang penggunaan pelampung leher dan meragukan klaim kesehatan spa bayi.

Menyigi Klaim Kesehatan Spa Bayi dan Keamanan Pelampung Leher
Ilustrasi berenang Bayi memakai pelampung leher. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Orang tua dengan anak balita pasti populer atau justru pernah menjajal spa bayi. Terapi air dengan menggunakan pelampung leher ini diklaim dapat meningkatkan nafsu makan, melatih kekuatan otot, bahkan membuat tidur menjadi pulas. Baru-baru ini, United States Food and Drug Administration (FDA) meragukan klaim kesehatan tersebut.

Pelampung leher merupakan alat bantu apung berbentuk seperti ban yang dikenakan pada leher bayi. Tujuannya agar kepala bayi tetap mengapung, sementara badannya bergerak di dalam air. Beberapa pelampung leher bahkan dipasarkan untuk bayi berusia dua minggu atau untuk bayi prematur.

Sayangnya, manfaat spa bayi selama ini terlalu sering digembar-geborkan karena dianggap dapat mengasah perkembangan motorik, termasuk menguatkan otot anak, meningkatkan kapasitas paru-paru, membuat kualitas tidur lebih baik, dan menstimulasi otak dan sistem saraf. Padahal, semua klaim tersebut belum terbukti secara ilmiah.

Setidaknya, begitulah pandangan FDA yang dipublikasikan pada akhir Juni 2022 lalu. FDA belum mengevaluasi keamanan dan manfaat terapi air dengan alat bantu renang berupa pelampung leher, apalagi digunakan oleh bayi yang memiliki perkembangan atau kebutuhan khusus seperti spina bifida, atrofi otot tulang belakang, down syndrome, atau cerebral palsy.

“Penggunaan pelampung leher pada aktivitas di dalam air dapat menyebabkan kematian atau cedera serius,” tulis FDA.

Risiko lain dari penggunaan pelampung leher bayi di antaranya kematian akibat tenggelam, lemas, tegang, atau cedera leher. Bayi dengan keadaan fisik khusus seperti spina bifida (kegagalan tumbuh sumsum tulang belakang) atau sejenisnya berisiko lebih tinggi mengalami cedera serius.

Anda mungkin berpikir pelampung leher akan memudahkan bayi mengapung. Kesalahpahaman inilah yang dimanfaatkan produsen untuk berpromosi. Alat ini memberi orang tua rasa aman yang salah: menganggap anak terbebas dari risiko tenggelam.

Sebelum FDA melarang penggunaan pelampung leher, American Academy of Pediatrics (AAP) telah lebih dulu memberi tip pencegahan tenggelam dengan melarang semua alat bantu renang tiup. Pelampung berisi udara termasuk pelampung leher, ban lengan, dan jaket dapat bocor, kempis, dan tidak dirancang untuk menjaga perenang tetap aman.

Sebuah contoh ketidakamanan produk terlihat pada penarikan pelampung leher di Amerika pada 2015. Salah satu produsen, misalnya, mendapat 54 laporan kebocoran lalu menebalkan pelampung dan menjual kembali produknya seharga $35 atau sekitar Rp450 ribu.

Risiko Tenggelam dan Cedera Jangka Panjang

Larangan FDA terkait pelampung leher merupakan buntut dari kasus tenggelamnya dua bayi di Amerika. Bayi pertama mengalami cedera parah, sementara bayi kedua meninggal. Keduanya lolos dari pelampung leher akibat kelalaian pengasuh mereka.

Di Amerika, lebih banyak anak usia 1-4 tahun meninggal karena tenggelam daripada penyebab kematian lain. Sementara itu, pada anak di rentang usia 1–14 tahun, tenggelam merupakan peringkat kedua penyebab kematian akibat cedera yang tidak disengaja—peringkat pertamanya adalah kecelakaan kendaraan bermotor.

Menurut data yang dirilis Centers for Disease Control and Prevention (CDC), “Setiap satu anak yang meninggal karena tenggelam, ada delapan anak lain yang menerima perawatan gawat darurat akibat tenggelam.”

Lain itu Badan Kesehaan Dunia (WHO) menyebut negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menyumbang lebih dari 90 persen kematian akibat tenggelam secara global. Meski statistik menyebut lebih banyak anak yang berhasil selamat, tapi cedera akibat tenggelam dapat menyebabkan kerusakan otak dan dampak serius lain, termasuk efek disabilitas jangka panjang.

Anak-anak yang selamat dari tenggelam dapat mengalami cedera otak hipoksik-iskemik (cedera otak akibat kekurangan oksigen). Kondisi ini mengakibatkan disabilitas jangka panjang, mulai dari masalah memori, ketidakmampuan belajar, hingga kehilangan total fungsi dasar tubuh (berada dalam keadaan vegetatif persisten).

Kondisi ini pernah dialami oleh seorang anak bernama Jewel dari Queensland. Saat berumur dua tahun, Jewel pernah tenggelam dalam sebuah kolam renang. Dia selamat, tapi harus menempuh jalan panjang untuk pulih. Sebelum tenggelam, Jewel sudah mampu berceloteh tentang banyak hal. Namun saat dia sadar setelah tenggelam, Ibunya, Michelle Ostler mendapati sang anak mengalami kemunduran bahasa.

“Dia cuma bisa bilang ‘Mama’ dan ‘Tidak’. Jewel menderita kelelahan kronis selama 12 bulan. Dia harus istirahat berjam-jam setelah melakukan aktivitas sederhana,” ungkap Ostler.

Saat pertama kali diselamatkan, dokter memprediksi Jewel tak akan selamat karena otaknya mengalami kerusakan hingga lebih dari 90 persen. Sel-sel otak memang sangat sensitif jika kekurangan oksigen. Sel-sel ini mulai mati dalam beberapa menit setelah suplai oksigen ke otak terputus. Ketika hipoksia berlangsung untuk jangka waktu yang lama, efeknya membikin seseorang mengalami koma, kejang, dan bahkan mati otak.

Jewel tenggelam hampir 15 menit di dalam air, tapi kondisi air yang dingin ternyata memperlambat kerusakan otak yang dialaminya. Meski begitu, dia punya masalah berkelanjutan dengan fungsi otaknya hingga kini. Jewel masih belum bisa berbicara lancar dan tak bisa menerima dua instruksi sekaligus.

Baca juga artikel terkait TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi