tirto.id - Penerapan trias politica dalam pemerintahan membuat kekuasaan penyelenggara negara tidak absolut karena terpilah menjadi beberapa lembaga yang saling mengawasi.
Konsep trias politika dicetuskan oleh Montesquieu. Teori pemisahan kekuasaan ini menyebutkan, kekuasaan negara mesti dipisahkan menjadi beberapa bagian.
Dengan pemisahan orang dan fungsinya, menjadikan kekuasaan tidak mutlak dan memungkinkan di antara bagian saling bekerja sama.
Kekuasaan yang diberikan absolut pada seseorang atau lembaga, berpotensi terjadi penyalahgunaan dalam praktiknya.
Lord Acton pernah mengatakan, “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti menyalahgunakannya”. Hal ini bisa dicegah dengan membagi kekuasaan.
Trias politika sering ditemukan pada negara yang menganut demokrasi. Namun pada perjalanannya, teori ini mengalami pengembangan dalam praktiknya. Pembagian kekuasaan tidak terbatas pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Trias politika di Indonesia sebelum amandemen
Indonesia salah satu negara yang menerapkan trias politika tidak murni. Baik sebelum atau sesudah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, jumlah lembaga penyelenggara negara tidak terbatas pada MPR, DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Masih ada lembaga lain yang turut berperan.
Sebelum amandemen, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, Presiden, MA, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). DPA memegang kekuasan konsultatif dan BPK mengampu kekuasan eksaminatif.
- MPR dan DPR selaku legislatif memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang.
- Presiden sebagai eksekutif memegang kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
- Mahkamah Agung bertugas dalam mempertahankan undang-undang dan sekaligus berkuasa untuk mengadili apabila terjadi pelangaran terhadap undang-undang.
- Kekuasaan konsultatif yang dipegang DPA, memberikan kewenangan untuk memberi nasihat dan pertimbangan kepada eksekutif.
- BPK menjadi pemangku kekuasaan eksaminatif yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keuangan negara.
Trias politika di Indonesia setelah amandemen
Ada perubahan pemegang kekuasan di Indonesia setelah dilakukan amandemen UUD 1945. Jumlah lembaga negara ditambah sehingga proses pelaksanaan kekuasan dan pengawasannya lebih kuat.
Ada 8 lembaga negara dalam sistem pemerintahan yaitu MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, MA, BPK, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
- Pemegang fungsi legislatif adalah MPR, DPR, dan DPD. Anggota DPD dipilih dalam pemilu dan merupakan perwakilan dari setiap provinsi di Indonesia. DPD berhak ikut duduk dalam pembahasan dan penetapan undang-undang.
- Pengampu fungsi eksekutif tetap berada di tangan Presiden. Jika sebelum amandemen Presiden dipilih oleh anggota MPR lewat suara terbanyak, maka setelah amandemen Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden dapat mengangkat menteri-menteri untuk membantu kerja Presiden dalam kabinet.
- Fungsi yudikatif ditangani oleh MA, MK, dan KY. Komisi Yudisial memiliki peranan dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung sekaligus menjaga marwah kehakiman, termasuk perilaku para hakim. Sementara Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang sebelumnya tugas ini ditangani MPR.
- Fungsi eksaminatif berada di tangan BPK. Lembaga ini akan selalu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab terhadap keuangan negara.
Trias politika menjadi sebuah langkah baik menjalankan sistem pemerintahan yang efektif. Ketiadaan kekuasaan absolut dapat mencegah penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara dan rakyatnya. Meski demikian, rakyat juga perlu mengawasi jalannya lembaga-lembaga negara saat ditemukan indikasi saling bekerja sama dalam menetapkan kebijakan yang merugikan.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yandri Daniel Damaledo