tirto.id - Benarkah rasa kantuk di siang hari merupakan efek dari berpuasa? Apakah hanya karena perubahan kebiasaan pola tidur?
Bagaimana dengan mood seseorang saat berpuasa yang cenderung labil?
Segala pertanyaan ini sering sampai ke telinga kita, tapi tak ada penjelasan yang memuaskan. Beberapa orang menyimpulkannya sehingga bisa salah kaprah. Soal kantuk misalnya, penelitian bisa menjelaskannya secara ilmiah.
Penelitian yang dilakukan oleh Shaden O. Qasrawi, Seithikurippu R. Pandi-Perumal dan Ahmed S. Bahammam dalam “The effect of intermittent fasting during Ramadan on sleep, sleepiness, cognitive function, and circadian rhythm” (2017) memberikan catatan bahwa tidak ada gangguan yang signifikan dalam pola tidur selama Ramadan.
Namun, ada pengurangan proporsi tidur REM (Rapid Eye Movement) atau tidur yang pulas. Kurangnya proporsi tidur REM ini tentu membuat perubahan kebiasaan, termasuk soal rasa kantuk.
Lalu bagaimana dengan mood? Dalam kondisi tubuh yang tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman di siang hari, maka bila tak memiliki self-control dengan baik, kondisi mood seringkali muda berubah (mood swing) dan terkadang mengganggu.
Sejumlah penelitian berusaha untuk memahami efek pada mood seseorang selama puasa. Hasilnya, beberapa fungsi kognitif pada tubuh memang telah terbukti menurun selama puasa berlangsung (Ali & Amir, 1989), sekalipun hal tersebut bukanlah temuan yang universal (Roky et al, 2000). Dalam studi lainnya, sejumlah penurunan terkait dengan perasaan subjektif kewaspadaan, dan peningkatan kelesuan dan iritabilitas pada siang hari terlihat lebih cepat (Afifi, 1997; Kadri et al, 2000; Roky et al, 2000).
Selain rasa kantuk dan mood, puasa juga identik dengan soal badan lemas dan membuat orang untuk malas berolahraga. Aktivitas olahraga seringkali dianggap mempercepat kelelahan serta membuat orang tidak kuat menjalankan puasa. Benarkah?
Beberapa penelitian menunjukkan sedikit penurunan, atau bahkan tidak ada efek signifikan seperti yang dilakukan Kirkendall DT, Leiper JB, Bartagi Z, Dvorak J, Zerguini Y tentang “The influence of Ramadan on physical performance measures in young Muslim footballers” (2008). Kasus yang mengambil sampel dari pemain sepakbola tersebut mencoba menilai kinerja para pemain untuk kecepatan, kekuatan, kelincahan, daya tahan, dan kemampuan passing dan dribbling. Hasilnya tidak ada variabel yang terpengaruh secara negatif karena proses puasa.
Namun, ada penelitian yang menunjukkan bahwa kinerja menurun secara signifikan (p <0,05) dan sebagian besar tetap rendah setelah akhir Ramadan. Hampir 70 persen pemain berpikir bahwa latihan dan kinerja sangat terpengaruh selama puasa, seperti dalam penelitian Zerguini Y, Kirkendall D, Junge A, Dvorak J berjudul “Impact of Ramadan on physical performance in professional soccer players” (2007).
Masih terkait dengan aktivitas fisik, puasa seringkali dikaitkan kehausan yang akut. Ada anggapan minuman dingin saat buka puasa cepat membuat segar badan? Ada juga yang mempercayainya dengan air panas. Bagaimana sebenarnya?
Pada 2012 Dr. Ollie Jay, seorang dosen senior di bidang olah raga dan sains olahraga dari University of Sydney bersama rekan-rekannya, menerbitkan temuan ilmiah untuk melihat apakah mengkonsumsi minuman hangat benar-benar dapat menurunkan jumlah panas yang disimpan oleh tubuh dibandingkan dengan mengkonsumsi minuman dingin.
Hasilnya, secara konsisten ditemukan fakta bahwa mengkonsumsi minuman bersuhu 50 derajat C menyebabkan kehilangan keringat seluruh tubuh yang lebih tinggi (sekitar 570 ml dibandingkan dengan sekitar 465 ml untuk minuman bersuhu 1,5 derajat C).
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti