Menuju konten utama

Mencoret Gender dari Dunia Fesyen

Akankah ajang dan jenama besar fesyen dunia tahun ini memudahkan penerimaan fesyen tanpa gender?

Mencoret Gender dari Dunia Fesyen
Seorang model memperlihatkan suatu karya di acara catwalk University of Westminster MA Menswear di London Fashion Week di London, Inggris, Minggu (12/6/2022). (ANTARA FOTO/REUTERS/Henry Nicholls/foc/FLI)

tirto.id - Gaya pakaian yang ditampilkan di ajang New York Fashion Week 2022, menjadi bukti makin maraknya fesyen tanpa gender yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Koleksi pakaian musim gugur dari beberapa jenama ternama seperti Hermes, Ralph Lauren, Fendi, Chloe, Prada, juga meneguhkan fesyen tanpa gender sebagai tren pakaian tahun 2022. Akankah ajang dan jenama besar fesyen dunia tahun ini semakin memudahkan penerimaan gaya pakaian tanpa gender?

Pro dan Kontra Fesyen Tanpa Gender

Sebelumnya, di dunia fesyen, hadir istilah uniseks untuk mengkategorikan suatu pakaian yang bisa dipakai laki-laki dan perempuan. Fesyen tanpa gender, yang marak beberapa tahun belakangan ini memiliki definisi yang lebih luas. Yaitu, bukan hanya bebas untuk dipakai oleh laki-laki dan perempuan, pakaian juga bisa dikenakan oleh mereka yang memiliki identitas gender di antaranya, maupun non biner.

Beberapa pendapat mendukung perluasan dan penerapan fesyen tanpa gender ini. Salah satunya pendapat Willow Defebaugh, co-founder Atmos, media yang mengangkat tentang iklim dan budaya yang mengatakan, “Pakaian tidak memiliki jenis kelamin. Tidak ada satu cara atau pakem khusus untuk 'berpakaian non-biner', sama seperti tidak ada satu cara untuk berpakaian feminin atau maskulin.”

Christopher John Rogers, yang pernah mendandani Michelle Obama dan Lizzo, berpendapat “Fesyen tanpa gender bukan tentang seorang perempuan yang mengenakan jas atau seorang pria yang mengenakan sepatu hak. Ini tentang bagaimana Anda mengenali diri, merasakan fantasi, dan tampilan diri Anda.”

Pendekatan fesyen tanpa gender saat ini diartikan sebagai pakaian yang lebih menarik, bersemangat, fleksibel, dan ekspresif. Keterbukaan Generasi Z juga mengubah norma budaya menjadi lebih menerima fluiditas gender daripada generasi sebelumnya. Batasan gender, yang tadinya terbatas, biner, yakni feminin atau maskulin, perempuan atau laki-laki, kini semakin mencair. Selebriti seperti Harry Styles, Jaden Smith, Billie Eilish, Young Thug, sampai Sam Smith tentunya mempermudah pengenalan dan penerimaan tren pakaian ini pada generasi Z.

Peran media sosial juga mempermudah penyebaran fesyen tanpa gender di seluruh dunia. Seperti yang dilakukan influencer Pinterest yang non-biner, Rain Dove di Instagram (@raindovemodel). Lahir di New York dan dibesarkan di Vermont, sejak kecil ia tahu bahwa tidak ada definisi gender. Model ini telah melakukan banyak pekerjaan yang merepresentasikan laki-laki dan perempuan. Ada pula Vittorio Franco (@lavickybeauty), seorang transgender yang dengan bangga berbicara tentang keragaman. Di Indonesia, hadir Jovi Adhiguna (@joviadhiguna). Ia memadukan kemeja dengan rok, serta tas tangan, dan sepatu berhak tinggi.

Sayangnya, meskipun telah banyak yang telah menerapkan fesyen tanpa gender, pujian dan komentar positif tidak melulu diterima, seperti pujian pada gaya Harry Styles saat tampil sebagai laki-laki pertama yang menjadi model sampul Vogue, pada Desember 2020. Gender non-conforming atau para non biner sampai saat ini masih mendapat cercaan dan hinaan. Di banyak bagian dunia, mereka masih menghadapi permusuhan dan kekerasan.

Untuk mendukung kesetaraan gender, Gucci melakukan kampanye global bertajuk Gucci Chime for Change. Salah satu program kampanye ini adalah merilis film pendek The Future is Fluid, yang ditayangkan perdana selama Sundance Film Festival 2019, sebagai pendamping The Irregular Report, laporan dua tahunan tentang dan oleh Gen Z.

Suara-suara dalam film tersebut mewakili kegigihan, rasa ingin tahu, empati, optimisme, dan harapan generasi ini, mendefinisikan ulang, dan mewakili dunia. Gen Zer menyatakan, “Saya bertanggung jawab untuk terus mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak pemuda trans dan non-biner, karena saya memiliki hak istimewa untuk itu. Jika kita memulai melihat pendekatan dengan cara yang cair seperti ini, kita dapat mulai melihat peluang terbukanya hambatan yang ada,” tambah advokat Gen Z lainnya.

Peran gender yang dikonstruksi secara sosial; cara perempuan harus bertindak dan berpakaian, serta bagaimana laki-laki harus berperilaku, telah ditetapkan sejak lama. ”Fashion dapat membantu kita untuk mengekspresikan identitas kita, tetapi pakaian bukanlah identitas kita. Tampilan seseorang yang ditangkap orang lain sebagai “kode” feminin, bisa saja sebenarnya merupakan gaya dari seorang non-biner. Itulah mengapa penting bagi kita untuk tidak pernah membuat asumsi tentang identitas seseorang berdasarkan apa yang mereka kenakan,” Defebaugh menambahkan.

Definisi yang telah ditetapkan sebelumnya, tentang bagaimana laki-laki atau perempuan seharusnya berperilaku dan berpakaian, makin memudar. Estetika, termasuk fesyen di masa depan berkaitan dengan cara memperlakukan pakaian secara netral, dan tentang kebebasan memilih dan menjadi diri sendiri.

Fesyen Tanpa Gender Dari Waktu ke Waktu

Pakaian netral gender memiliki sejarah panjang. Di seluruh dunia dan selama ribuan tahun, barang-barang seperti tunik dan toga, kimono dan sarung, telah dikenakan tidak hanya satu, tapi oleh kedua jenis kelamin.

Momo Amjad dari The Future Laboratory, konsultan strategis yang berbasis di London memberikan contoh beberapa budaya yang telah mengekspresikan fesyen tanpa gender adalah budaya orang Māhū tradisional dalam budaya asli Hawaii dan Tahiti, peran pan-gender orang Nádleehi di Navajo Nation, dan Hijra - kasim, orang interseks, orang aseksual atau transgender di seluruh Asia Selatan.

"Pakaian tidak selalu dibagi menurut garis gender. Di Inggris feodal, mode mengikuti status kelas dan kepemilikan tanah. Pakaian laki-laki dan perempuan lintas stratifikasi kelas sangat mirip," jelas Caroline Stevenson, Kepala Studi Budaya dan Sejarah di London College of Fashion, seperti diberitakan BBC.

Ketika laki-laki mulai mendominasi angkatan kerja, busana diposisikan ke dalam kategori laki-laki dan perempuan. Mode laki-laki berkisar pada pergeseran gagasan tentang setelan jas, sementara pakaian perempuan tetap aspiratif dan flamboyan; penanda kesuksesan suaminya.

Infografik Mencoret Gender dari Fesyen

Infografik Mencoret Gender dari Fesyen. tirto.id/Quita

Awal abad ke-20 menjadi kelahiran kembali perdebatan seputar kesetaraan gender dan inklusi perempuan di dunia kerja. Saat itu, desainer perempuan seperti Coco Chanel mulai menggunakan potongan-potongan dari pakaian pria dalam penampilan mereka atas nama feminisme.

Sejak tahun 1960-an, dunia musik juga banyak memiliki perwakilan gaya fesyen tanpa gender, seperti David Bowie ataupun Mick Jagger “The Stones”. Di masa saat masyarakat masih belum terbuka seperti masa Harry Styles saat ini, penolakan gaya feminin dengan blus renda rockstar ini banyak terjadi. Sekarang adalah normal untuk melihat perempuan dalam setelan jas dan ataupun blus sutera untuk laki-laki pada jenama seperti Yves Saint Laurent dan Gucci.

Namun, perhatian baru-baru ini pada gaya non biner lebih dari eksperimen fesyen.

"Gelombang baru non-biner terkait erat dengan perubahan signifikan dalam harapan masyarakat seputar peran gender, dan pemahaman kita tentang kesetaraan gender. Yaitu bahwa masyarakat tidak lagi diatur di sekitar biner gender," kata Stevenson.

Industri fesyen perlahan merangkul gerakan tersebut di momen yang berbeda. Contoh netralisasi gender dalam busana adalah ketika model Andrej Pejic mulai melenggang di atas catwalk untuk koleksi mode laki-laki dan perempuan.

Dalam fesyen netral gender, Asia tidak ketinggalan. Di negara-negara seperti Jepang dan Tiongkok, mode tanpa gender lebih dari sekadar tren. Jenama seperti Comme des Garçons dan Yohji Yamamoto mempelopori di bidang ini. Seperti yang dinyatakan oleh Fashion United, gerakan pemuda di Tokyo telah menentang definisi fesyen yang dilekatkan dengan identitas seks sejak 2016.

Melalui riasan, pakaian, dan bahkan filter Instagram, para fashionista mengomunikasikan gagasan untuk menghapus kategori biner dan memberi orang kebebasan penuh untuk memilih. Didukung oleh standar kecantikan yang cair ala anime, mereka telah mendorong batas dan menjelajahi mode tanpa gender sebagai master.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Ros Aruna

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Ros Aruna
Penulis: Ros Aruna
Editor: Lilin Rosa Santi