tirto.id - Sejak menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada akhir Juli 2016, Muhadjir Effendy rajin mengeluarkan kebijakan kontroversial. Setidaknya ada lima gagasannya yang menuai polemik mulai dari “Full day school,” program resonansi finansial sebagai pengganti sertifikasi guru, perombakan kurikulum 2013, moratorium ujian nasional, hingga yang terakhir revitalisasi komite sekolah.
Muhadjir telah menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah pada 30 Desember lalu. Namun, regulasi ini lagi-lagi menuai protes karena dinilai memberikan lampu hijau bagi pihak sekolah untuk melakukan pungutan liar, serta melemahkan posisi komite sekolah.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) mengkritik regulasi tersebut. Koordinator KMSTP, Febri Hendri mengatakan revitalisasi komite sekolah tidak akan terjadi, karena dalam Permendikbud yang baru, kewenangan komite sekolah justru berkurang jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya.
Sebagai perbandingan, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini mengkomparasikan dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 44 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang selama ini menjadi landasan yuridis keberadaan komite sekolah. Berdasarkan aturan itu, komite sekolah diberikan kewenangan untuk terlibat dalam perencanaan dan penganggaran sekolah, serta pengawasan keuangan.
Pada Permendikbud yang baru, justru wewenang tersebut dihilangkan. “Kami melihat revitalisasi komite sekolah oleh Mendikbud tidak terjadi karena banyak kewenangan komite sekolah justru berkurang pada Permendikbud No. 75/2016,” katanya kepada Tirto.
Merujuk pada Kepmen No. 44 tahun 2002, salah satu tujuan komite sekolah adalah untuk menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Namun, soal transparansi tidak menjadi prioritas dalam Permendikbud yang baru tersebut.
Padahal, persoalan utama dalam tata kelola pendidikan adalah buruknya transparansi dan partisipasi yang masih jauh dari harapan. Permendikbud seharusnya lebih mengedepankan peningkatan peran dan fungsi komite sekolah yang selama ini kurang efektif.
“Kepmen No. 44/2002 ada kewenangan komite sekolah untuk terlibat dalam perencanaan dan penganggaran sekolah serta pengawasan keuangan. Namun dalam Permendikbud ini justru dihilangkan,” kata Febri.
Pada Pasal 7 Permendikbud itu misalnya ada penegasan bahwa anggota komite sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Hal ini dinilai akan membuat anggota komite sekolah kurang independen. Seharusnya, pengurus komite sekolah dipilih orang tua murid, diangkat dewan pendidikan dan kepala sekolah cukup mengetahuinya.
Penggalangan Dana oleh Komite Sekolah
Polemik lain pada Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 melebar ke persoalan yang paling sensitif yaitu soal penggalangan dana oleh komite sekolah. Komite ini diperbolehkan melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Namun, di sisi lain komite sekolah tidak lagi diperbolehkan melakukan pungutan.
“Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan,” demikian bunyi Pasal 10 ayat (2) Permendikbud tersebut.
Dengan adanya komite sekolah melakukan penggalangan dana. Artinya, komite sekolah di semua jenjang pendidikan dilarang menarik pungutan dari orang tua murid. Namun, menugaskan komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana dari publik, dengan catatan membuat proposal yang diketahui oleh sekolah dan hasil penggalangan dana tersebut harus dibukukan pada rekening bersama antara komite sekolah dan sekolah.
Bagaimana dengan pungutan yang biasa ditarik komite sekolah di jenjang menengah seperti SMA/SMK selama ini?
Persoalan ini yang dikhawatirkan memicu sekolah untuk menarik pungutan liar. Selama ini, sekolah terutama pada jenjang menengah mengandalkan dana pungutan komite sekolah untuk membiayai berbagai program dan kegiatannya.
Jika komite sekolah dilarang menarik pungutan, maka pihak sekolah yang kemungkinan besar akan menarik pungutan tersebut dari peserta didik atau orang tua murid. Artinya, Permendikbud ini akan menggeser pelaku pungutan dari komite sekolah ke pihak sekolah, baik oleh kepala sekolah maupun bendahara sekolah.
Selama ini penarikan pungutan oleh komite sekolah masih terkontrol karena ketika komite sekolah ingin menarik pungutan dari siswa, karena terlebih dahulu harus mendapat persetujuan kepala sekolah. “Kalau sekolah SMA/SMK menarik pungutan tidak perlu meminta persetujuan komite sekolah. Komite sekolah hanya memberi pertimbangan. Menurut Permendikbud ini,” kata Febri.
Hal ini dimungkinkan karena pungutan pada jenjang pendidikan menengah diatur dalam PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Dalam hal ini, belum ada aturan perundang-undangan yang melarang pihak sekolah pada jenjang pendidikan menengah menarik pungutan dari orang tua murid.
Aturan pelarangan pungutan hanya ada bagi jenjang pendidikan dasar, seperti SD dan SMP, di mana pihak sekolah dan komite sekolah dilarang melakukan pungutan. Permendikbud ini dianggap justru memberikan lampu hijau bagi sekolah untuk menarik pungutan tak resmi.
Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan, Chatarina Girsang ada perbedaan utama dalam penggalangan dana, terutama pada sumbangan, bantuan dan pungutan pendidikan. Dalam Permendikbud tersebut dibatasi bahwa komite sekolah hanya boleh memungut bantuan dan sumbangan.
"Jadi tidak ada yang namanya pungutan pendidikan. Permendikbud ini bertujuan bukan untuk membebani masyarakat tetapi memberi batasan yang jelas mengenai tugas komite sekolah,” ujar Chatarina.
Menurutnya pengawas dari sekolah ini akan melakukan pengawasan secara langsung di sekolah-sekolah di Jakarta. Namun hal tersebut belum menjadi jaminan regulasi yang ditandatangani Mendikbud Muhadjir Effendy tidak disalahgunakan di lapangan. Tentu, ini perlu proses yang tak mudah di lapangan untuk benar-benar diawasi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti