tirto.id - Tim juara dalam ajang MotoGP tak hanya punya kebanggaan. Posisi merek motor dari tim pemenang juga ikut terangkat. Namun, kemenangan bergengsi ini tak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan urusan jualan.
Sekilas, bila mengkomparasikan data penjualan motor di Indonesia dan pemenang MotoGP dalam kurun 2006-2015, prestasi ciamik di MotoGP memang sejalan dengan kenaikan penjualan motor.
Ketika pembalap Yamaha, Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo menjadi juara musim 2008-2010, rerata penjualan Yamaha pada tiga tahun itu cenderung naik 13,5 persen per tahun, semula 2,4 juta unit pada 2008, naik jadi 2,6 juta unit pada 2009 dan pada 2010 melonjak tajam jadi 3,3 juta unit.
Hal sama juga dialami oleh Honda. Ketika Marc Marquez juara dua musim berturut-turut, pada 2013 dan 2014, rerata penjualan motor Honda di Indonesia terkerek naik sekitar 10 persen. Yang semula 4 juta unit saat Honda tak juara di musim 2012, naik jadi 4,6 juta unit pada 2013 dan 5 juta unit pada 2014. Ketika Casey Stoner membantu Honda juara 2011, penjualan Honda di Indonesia naik 20 persen.
Ibarat dua sisi mata uang, ketika gagal juara maka penurunan penjualan pun akan dirasakan, khususnya oleh produsen Honda. Saat gelar juara diraih Ducati 2007, penjualan Honda anjlok sampai minus 9 persen.
Hal sama juga terjadi ketika Yamaha juara, tepatnya pada 2009, penjualan Honda minus hingga 6 persen, kemudian turun lagi 4 persen pada 2012. Penurunan penjualan pada tahun 2015 mencatat angka terbesar dalam satu dekade mencapai minus 13 persen. Kondisi yang sama juga dialami Yamaha yang mengalaminya pada 2011 (-6 persen) dan 2014 (-5 persen).
Namun, jika ditilik lebih dalam, data-data di atas tidak sepenuhnya benar. Ada juga banyak anomali yang terjadi jika mengaitkan data penjualan motor dan status juara MotoGP.
Saat Yamaha juara musim lalu misalnya, meski dua pembalap Yamaha, Lorenzo dan Rossi mencuri perhatian orang dengan memperebutkan juara satu dan dua, penjualan Yamaha tetap saja anjlok, bahkan drop lebih parah ketimbang Honda dan minus 32 persen. Masalah ini sebenarnya pengulangan dari tren pada 2012. Penampilan ciamik Lorenzo di arena balap kala itu malah diganjar penjualan yang minus hingga 29 persen. Bagi Yamaha, teori ini tak berpengaruh signifikan bagi penjualan mereka.
Berbeda dengan pengalaman Honda. Data dari 2006 mencatat setiap Honda juara, penjualan mereka selalu meningkat, tidak pernah anjlok seperti Yamaha. Namun saat gagal, penjualan Honda relatif stabil dan tetap naik. Turunnya penjualan itu hanya terjadi pada 2007.
Musim ini, Honda kembali juara. Marc Marquez bahkan sudah dinobatkan menjuarai MotoGP sebelum seri terakhir digelar. Dikutip dari SWA, Marketing Planning & Analysis Division AHM, Agustinus Indraputra mengakui, sama seperti tahun-tahun sebelumnya kemenangan Marquez akan membawa dampak positif terhadap bisnis Honda.
“Kemenangan Marquez di MotoGP tahun ini tentu berpengaruh besar terhadap brand image Honda. Begitu Marquez menang, brandimage Honda naik,” ujarnya.
Meski begitu, terkait dengan penjualan, Agustinus mengakui ada hasil positif dari MotoGP terhadap penjualan secara keseluruhan, terutama penjualan motor sport saja yang ikut terkerek naik. “Penjualan naik, terutama di racing namun hal ini juga membawa pengaruh ke seluruh brand,” katanya.
Lantas apa yang menyebabkan perbedaan antara Honda dan Yamaha ini? Persoalan siapa yang paling laku menjual motor itu tidak ada kaitannya dengan siapa pemenang MotoGP.
Banyak hal-hal penting menentukan jumlah penjualan motor, mulai dari hal eksternal yakni kondisi perekonomian Indonesia terutama daya beli, hingga hal internal seperti kapasitas produksi pabrik, strategi marketing, produk baru, dan besarnya biaya operasional untuk promosi masing-masing merek.
Dalam konteks eksternal, wajar saja jika momentum Yamaha juara MotoGP 2012 dan 2015 tak bisa dimanfaatkan karena kondisi perekonomian Indonesia kala itu memang melemah, yang menyebabkan angka penjualan motor seluruh merek anjlok hingga minus 12 persen dan 21 persen dalam setahun. Faktor berlakunya peraturan Bank Indonesia (BI) tentang pembatasan minimal uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 20-25 persen per 15 Juni 2012 juga punya andil.
Penjualan motor juga dipengaruhi dengan kapasitas produksi produsen. Honda misalnya, membuat pabrik baru di Kawasan Industri Indotaisei Kota Bukit Indah, Karawang, Jawa Barat pada 2014. Alhasil Honda kini bisa memproduksi 5,3 juta sepeda motor per tahun, sebagai produsen terbesar di Indonesia. Dengan kapasitas produksi yang meningkat, otomatis target penjualan dan biaya promosi pun tentu akan naik. Jadi hal wajar jika meskipun Honda tidak jadi juara MotoGP pun penjualan mereka tetap cenderung naik.
Jika membandingkan persentase rata-rata angka pertumbuhan penjualan Yamaha dan Honda dalam kurun waktu 2006-2015, pemenangnya adalah Honda dengan rerata pertumbuhan per tahun berkisar 6 persen, sedang Yamaha cenderung stagnan tidak pertumbuhan sama sekali alias 0 persen, padahal pada satu dasawarsa, Yamaha paling banyak meraih gelar juara: lima berbanding empat dibandingkan Honda.
Jadi, penentu utama penjualan motor tergantung tenaga penjualan di lapangan, bukan Valentino Rossi, Jorge Lorenzo, Marc Marquez, atau Casey Stoner. Cerita MotoGP dan dampaknya pada penjualan hanya mitos belaka.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Suhendra