Menuju konten utama

Manifesto Politik Sukarno Awal Sejarah Terbentuknya GBHN

Sejarah terbentuknya GBHN berawal dari Manifesto Politik RI yang dirumuskan oleh Presiden Sukarno.

Manifesto Politik Sukarno Awal Sejarah Terbentuknya GBHN
Presiden Soekarno. FOTO/LIFE

tirto.id - Wacana menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengemuka meskipun masih menjadi perdebatan. Sejarah GBHN terlanjur lekat dengan Orde Baru, namun sejatinya sudah terbentuk di rezim sebelumnya dengan wujud Manifesto Politik Republik Indonesia yang merupakan pemikiran Presiden Sukarno.

Riset Imam Subkhan berjudul “GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia” dalam Jurnal DPR (22 Desember 2014) menyebutkan, sebelum Indonesia merdeka, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah menerapkan perencanaan pembangunan yang merupakan implementasi kebijakan politik etis sejak 1901.

Jauh beberapa dekade berselang, dalam situasi yang sebenarnya kurang kondusif seiring kembalinya Belanda ke Indonesia setelah proklamasi, dibentuk Badan Perancang Ekonomi pada 19 Januari 1947. Badan ini diusulkan oleh Menteri Kemakmuran RI kala itu, Adnan Kapau (A.K.) Gani.

Badan Perancang Ekonomi bertugas membuat rencana pembangunan perekonomian untuk jangka waktu 2-3 tahun yang kemudian diperluas menjadi rencana pembangunan 10 tahun. Selain itu, badan ini juga berupaya menasionalisasi aset-aset yang sebelumnya dikuasai Belanda.

Namun, sebelum sempat bekerja dengan optimal, Badan Perancang Ekonomi dibubarkan dan diganti dengan Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Panitia Pemikir Siasat Ekonomi menghasilkan beberapa rancangan penting, salah satunya adalah “Dasar Pokok Daripada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia” yang merupakan perencanaan pembangunan komprehensif pertama di Republik Indonesia.

Pada 1948, I.J. Kasimo selaku Menteri Urusan Bahan Makanan menyusun “Plan Produksi Tiga Tahun RI” yang merupakan upaya untuk mencapai swasembada pangan.

Beberapa rancangan inilah di sektor ekonomi dan perencanaan pembangunan inilah yang menjadi cikal-bakal munculnya GBHN.

GBHN Orde Lama = Bung Karno

Pasal 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dijelaskan juga bahwa sebelum melakukan amandemen, MPR harus merumuskan dan menetapkan GBHN terlebih dulu.

Dalam pasal tersebut diterangkan pula bahwa GBHN merupakan ketetapan MPR. Akan tetapi, hingga 1960, GBHN tidak pernah dibuat karena MPR belum terbentuk pada masa itu.

Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1984) oleh Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, pada 15 Agustus 1959 dibentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) di bawah pimpinan Mohammad Yamin.

Selain sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu isinya adalah Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dibentuknya Depernas juga bertujuan untuk menyusun rencana pembangunan nasional ke depan.

MPRS mengeluarkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional. Salah satunya adalah penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN.

Depernas kemudian membuat Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Delapan Tahun, yakni untuk periode 1961-1969. Rancangan ini diterima menjadi Ketetapan MPRS sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama.

Presiden Sukarno mengubah Depernas menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1963. Selama fase ini, banyak kebijakan pembangunan yang berpusat kepada pandangan politik Bung Karno selaku pusat kekuasaan pada era Demokrasi Terpimpin kala itu.

Di tahun yang sama, MPRS mengeluarkan ketetapan tentang “Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan”. Ini mengacu pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1961 serta 17 Agustus 1962 yang dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.

Pidato Presiden Sukarno dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961 berjudul “Resopim “ atau “Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional”.

Dikutip dari Tinjauan Pancasila: Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (1981), dengan pidato ini, Bung Karno menegaskan perlunya penggalangan semua kekuatan untuk memajukan negara. Termasuk dalam perencanaan pembangunan –dalam bahasa Bung Karno: pertumbuhan revolusi– ke depan.

Semua kekuatan yang dimaksud Bung Karno tentu saja mencakup tiga pilar utama yang selalu dikampanyekan saat itu yakni Nasionals, Agama, dan Komunis alias Nasakom.

Adapun pidato Presiden Sukarno dalam peringatan serupa tepat setahun kemudian pada 17 Agustus 1962 diberi tajuk “Tahun Kemenangan”. Presiden memberikan pedoman dalam menghadapi masalah-masalah di tahun-tahun yang akan datang.

Kewajiban rakyat Indonesia, kata Bung Karno, adalah terus bersatu padu dan bergotong royong sambil memegang teguh Manipol/Usdek (Manifestasi Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) serta Resopim.

Manipol/Usdek dan Resopim –bersama Pancasila– oleh Bung Karno dijadikan sebagai Haluan Negara Republik Indonesia. Namun, ini adalah rumusan GBHN terakhir di rezim Orde Lama sebelum terjadinya pergantian kekuasaan sebagai dampak Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Rachma Dania

tirto.id - Politik
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Abdul Aziz