Menuju konten utama

Kuasa Hukum Keberatan Tuntutan Pencabutan Hak Politik Eni Saragih

Pahrozi menjelaskan, mencabut hak politik seseorang sama saja membatasi hak warga negara Indonesia untuk memilih calon yang diinginkannya.

Kuasa Hukum Keberatan Tuntutan Pencabutan Hak Politik Eni Saragih
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/1/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Tim kuasa hukum terdakwa perkara suap kerja sama PLTU Riau-1 dan penerimaan gratifikasi, Eni Maulani Saragih mengaku keberatan atas tuntutan pencabutan hak politik politikus Golkar tersebut.

Hal itu disampaikan dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pleidoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (19/2/2019).

"Sehubungan dengan tuntutan pencabutan hak politik tersebut terdakwa sangatlah keberatan," kata kuasa hukum Eni, Pahrozi saat membacakam nota pembelaan.

Pahrozi menjelaskan, mencabut hak politik seseorang sama saja membatasi hak warga negara Indonesia untuk memilih calon yang diinginkannya.

Menurutnya, semestinya masyarakat itu sendiri yang pada akhirnya memutuskan memilih atau tidak memilih mantan terpidana kasus korupsi.

Pahrozi mengaku memahami pencabutan hak politik merupakan upaya agar proses demokrasi berjalan demokratis.

Namun, ia pun mengatakan, demokrasi mensyaratkan penghargaan kepada hak asasi manusia, termasuk hak politik.

"Pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan pengingkaran konstitusi sehingga terhadap pelanggarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban," kata Pahrozi.

Dalam sidang sebelumnya Jaksa KPK menuntut Eni Maulani Saragih dengan hukuman delapan tahun penjara.

Jaksa menilai politikus Golkar itu telah bersalah menerima suap terkait pembangunan PLTU Riau-1 serta menerima gratifikasi.

Selain itu, Jaksa juga menuntut Eni membayar denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp10,35 miliar serta 40 ribu dollar Singapura. Uang itu merupakan akumulasi dari jumlah suap dan gratifikasi yang Eni terima.

"Diperhitungkan dengan uang yang telah disetorkan oleh terdakwa ke rekening penampungan KPK dan telah disita dalam perkara ini," kata Jaksa.

Sebagai catatan, Sejauh ini politikus Golkar itu telah menyerahkan Rp4,05 miliar dan 10 ribu dollar Singapura ke KPK.

Selain itu, jaksa juga meminta hakim agar mencabut hak Eni untuk dipilih dalam posisi jabatan publik selama lima tahun usai Eni menjalani pidana pokok.

Jaksa menilai, Eni Saragih telah terbukti bersalah karena menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Uang itu diduga diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Proyek itu rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa oleh Kotjo.

Selain itu, Eni juga dikatakan telah menerima gratifikasi senilai Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah Direktur Perusahaan di bidang minyak dan gas.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Nur Hidayah Perwitasari